Gaya Mewah Keluarga Ferdy Sambo Bikin Melongo, Bukan Soal Iri, Ini Soal Etika.
Jakarta, FNN - Gaya hidup mewah keluarga Irjen Ferdy Sambo kini menjadi sorotan publik pasca penetapan tersangka mantan Kadiv Propam itu pada Selasa, 9 Agustus 2022 malam waktu Indonesia.
Dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Kamis (11/8/22) di Jakarta, pengamat politik dan akademisi Rocky Gerung dan wartawan senior FNN Hersubeno Arief angkat bicara mengenai persoalaan tersebut.
Mereka menegaskan bahwa gaya hidup keluarga Ferdy Sambo harus dibongkar kepada publik karena dianggap telah menimbulkan kecurigaan. Berikut petikannya :
Selamat pagi Bung Rocky. Apa kabar? Senang sekali kita ketemu lagi di hari Kamis ini.
Iya, setiap pagi semua head line itu menunggu perkembangan berita Sambo dan seolah-olah orang tetap juga ada sesuatu yang tidak sekadar menyangkut kriminal, tetapi soal permainan uang, soal kehidupan yang mewah atau berlebih paling tidak.
Kan semua sudah terekspos ke rakyat. Jadi ada satu cara baru sebetulnya untuk menguji peristiwa ini, sekaligus menguji gaya hidup para Jenderal. Itu intinya.
Nah, ini menarik karena Anda menguji gaya para Jenderal dan saya kira ini fokus pada angle kita selama ini soal etika ya. Karena sebenarnya muaranya nanti semua pada soal itu. Mulai dari etika pribadi sampai etika kehidupan bernegara.
Nah, sejak kemarin sudah mulai bocor video-video rekaman CCTV. Saya tidak tahu bagaimana bisa hasil ini penyidikan ini muncul ke media. Ini pasti ada operasi-operasi dan dengan target tertentu kita tidak tahu apakah ini dibocorkan oleh keluarga Ferdy Sambo sendiri, atau tim Pak Sambo sendiri, atau oleh penyidik yang sekarang bersaing dengan Ferdy Sambo.
Itu ada juga faktor-faktor seperti itu, faktor office politicking yang selalu kita sebut di Mabes Polri. Tapi nanti kita bahas soal itu juga. Terus ada soal staf ahli yang mulai saling hajar juga di antara mereka sendiri, karena mereka menggunakan istilah Fahmi Alamsyah ini dianggap menyesatkan sebagai kurang ajar, ada seorang ahli yang menyebut kurang ajar. Juga Pak Benny Mamoto yang masih terus disorot oleh publik.
Tetapi dia membela diri “kan saya cuma menyampaikan apa yang dikatakan oleh Kapolres Jakarta Selatan”.
Mari kita mulai dari CCTV itu. Kan saya kemarin ngomong salah fokus dengan gaya hidup dari Ferdy Sambo. Ternyata ketika pulang dari Magelang kelihatan sekali bagaimana istri seorang Irjen dikawal moge dan mobil Patwal.
Apa urgensinya ada seorang istri jenderal sampai diperlakukan seperti itu. Belum lagi kalau kita lihat kita juga bertanya-tanya, kok bisa Ferdy Sambo sampai punya delapan orang ajudan dan pengawal dan sopir yang semua dari kepolisian. Itu kan biaya negara semua. Ini Bung Rocky, nanti kita ngomongin dari sisi berapa sih sebenarnya gaji polisi dan sebagainya.
Ya, itu juga yang memang kita nggak jelas itu fasilitas itu untuk apa. Kalau misalnya kepala Densus 88 yang di jalan itu pasti musti dikawal dengan lengkap karena beliau punya kegentingan khusus.
Jadi sebut kegentingan khusus itu melekat pada seseorang yang jabatannya memang setiap saat rawan. Kadensus, misalnya, atau kepala badan penanggulangan teroris (BNPT).
Semua pejabat ini memang harus dikawal ketat itu karena sedikit saja lengah, dia diincar oleh teroris, diincar oleh macam-macam jebakan. Tapi Pak Ferdy Sambo kan kedudukannya hanya ingin orang melihat beliau tampil bila ada kasus, lalu kasih keterangan etis. Gitu kan.
Jadi ya nggak ada orang yang merasa bahwa Pak Sambo itu punya kegentingan. Bahkan, orang menganggap Pak Sambo sebagai Propam itu justru yang ke paling dekat dengan masyarakat. Jadi berbaur saja kan? Mustinya begitu cara berpikirnya.
Tetapi, sekali lagi, saya perhatikan memang ada kelompok perwira yang hidupnya berlebih dan terlihat secara kasat mata. Padahal, saya kenal beberapa Jenderal yang justru hidupnya mengejar pengetahuan. Jadi ikut sekolah lagi, masuk sekolah, sudah jadi Doctor masih mencari pelajaran yang lain, ilmu yang lain, dengan cara yang betul-betul dari awal itu. Jadi ada yang menumpuk pengetahuan, ada yang menumpuk kekayaan. Itu bedanya.
Tetapi, sekali lagi, publik sekarang mulai merasa bahwa yang beginian ini memang harus dibongkar supaya jelas apa fungsi dari seseorang sehingga harus menyembunyikan kekayaan, misalnya. Tidak melaporkan secara lengkap artinya menyembunyikan. Jadi, ini intinya. Jadi, kalau kita balik pada public ethic, kita ingin supaya kepejabatan publik itu betul-betul transparan karena dia hidup dalam upaya untuk memberi harapan pada publik tentang keadilan.
Kalau sendiri berbuat tidak adil itu artinya ada sesuatu yang aneh dalam reputasi dia sebagai pejabat. Dia hidup untuk memberi contoh kesederhanaan. Kalau dia sendiri bermewah-mewah itu artinya ada hal yang dicurigai oleh rakyat. Jadi jarak antara pemimpin dan rakyat itu makin lama makin jauh. Kalau kita protes bahwa disparitas ekonomi antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia, misalnya bisa diperlihatkan dengan genre ratio itu betul-betul timpang.
Kita juga bisa melihat jarak etis antara pemimpin dengan rakyat makin jauh. Jadi hal-hal semacam ini menimbun kecurigaan sekaligus ya sebut saja dendam sosial. Nah, karena itu polisi kemudian terus menerus menjadi sasaran tembak, sasaran sinisme, sasaran satire, karena memang terlihat kemewahan-kemewahan itu seolah-olah nggak bisa lagi ditutup-tutupi.
Jadi itu intinya kenapa kita selalu ingin selalu dalam forum FNN public ethic itu nomor satu, terutama untuk para pejabat publik. Kan itu masalah kita.
Ya, oke. Nah, kan tadi kita singgung soal laporan kekayaan. Memang betul disebutkan ini bahwa kekayaan Ferdy Sambo ketika dicari oleh wartawan ternyata tidak tercantum di laporan harta kekayaan. Dan ketika ditanyakan ke KPK, katanya pada tahun 2001 itu memang Ferdy Sambo membuat laporan harta kekayaan, tapi tidak lengkap sehingga tidak bisa dipublikasikan.
Jadi kalau tidak kenapa? Mari kita intip berapa besar gaji para Jenderal polisi ini. Ini saya baca di artikel disebutkan bahwa Jenderal polisi (Jenderal bintang 4), gajinya 5,23 juta hingga 5,93 juta; Komisaris Jenderal Polisi 5,07 juta hingga 5,97 juta; Inspektur Jenderal polisi. ini pangkatnya Ferdy Sambo 5,29 juta hingga 5,57 juta. Brigadir Jenderal Polisi 3,29 juta hingga 5,4 juta.
Saya sih jujur melihat memang semacam ini nggak pantas untuk seorang Jenderal Bintang Empat, terlalu rendah. Tapi saya tahu gaji pokok, kemudian ada tunjangan-tunjangan.
Katakanlah gaji mereka itu kita bulatkan saja misalnya sampai 50 juta, tetap saja tidak bisa menunjang gaya hidup mewah seperti seorang Ferdy Sambo. Ada dua mobil Lexus, ada Alphard, macem-macem.
Itu kan sebenarnya tidak ada urusan juga dengan jabatan tersebut. Bisa ada seorang perwira pertama, misalnya, di kantongnya bisa bawa dollar yang puluhan ribu. Lalu orang curiga. Ya enggak.
Dia memang lagi bertugas, karena perlu uang untuk ngintip bandar narkoba, untuk aktivitas spionase, jadi dia diberi uang oleh negara untuk melakukan aktivitasnya.
Dia terlihat mewah itu masuk keluar hotel, duduk seolah ya dia lagi nyamar saja, karena itu tugas dari seorang yang memang lagi mengintai kejahatan. Jadi dia musti diperlengkapi senjata, termasuk uang untuk kamuflase dan macam-macam itu.
Tapi kalau kedudukannya seperti Pak Sambo yang adalah Kepala Divisi Propam, itu kelihatannya kurang pantas. Kan tidak ada kegiatan spionase di situ. Itu kegiatan yang betul-betul keperluan internal polisi, tidak ada urusan dengan soal-soal BNPT atau teroris segala macam.
Jadi, memang orang mencurigai kok yang dipamerkan itu adalah wilayah yang menyangkut kehidupan mewah. Itu intinya. Jadi, sekali lagi, kita mau sebetulnya polisi ya digaji saja 10 kali lipat, tidak ada soal.
Tetapi, di dalam upaya itu juga kita tuntut satu kepastian bahwa perilaku polisi itu betul-betul perilaku hidup sederhana. Karena dia pelayan publik. Kan nggak bisa orang yang melayani publik itu terlihat justru berjarak dengan publik. Itu intinya.
Saya ingin betul etik itu ditegakkan, dan sambil berterima kasih pada polisi yang benar-benar ingin etikanya atau kehidupan profesionalnya itu dihargai oleh rakyat. Jadi sebaiknya tambah ilmu pengetahuan, bukan tambah kekayaan.
Karena toh nanti setelah pensiun orang akan nilai lagi itu. Kok jadi lain sesudah pensiun kayaknya bertambah kekayaannya. Padahal sebetulnya di awal tidak ada pelaporan. Kan itu masalahnya.
Ya. Jadi jangan salah memahami ya. Kita juga ingin para aparat keamanan kita yang menjaga keamanan kita, itu juga menjalankan negara ini digaji secara pantas.
Tetapi, kita juga tidak ingin kalau pejabat dengan alasan tidak digaji secara pantas kemudian mereka melakukan korupsi. Kan ini bukan sebuah aksioma.
Ya. Itu kan tetap ada perimbangan antara penugasan, fungsi, dan pendapatan. Itu masuk akal. Semakin berbahaya tugas seseorang, imbalan upahnya juga harus makin bagus. Itu intinya.
Misalnya, Departemen Pajak pegawai-pegawai mudah atau rentan untuk melakukan korupsi di situ.
Oleh karena itu, gajinya musti dinaikkan supaya kehidupan nyata dia itu tidak lagi tergiur oleh uang orang lain. Kan itu soalnya. Jadi meritokrasi juga diperlukan dalam kerangka ini, yaitu keseimbangan antar fungsi dan gaji atau pendapatan.
Kalau itu bisa dibuat semacam aturannya, lalu orang merasa oke, sudah, jangan lagi nambah-nambah. Tapi itu juga berlaku di tempat yang lain. Dan juga dipamerkan bukan sekedar oleh pejabat kepolisian, tapi juga pejabat –pejabat lain di kampus, misalnya.
Kasus yang lalu kan juga di kampus UI, misalnya. Rektor UI, sudah digaji besar, masih juga mencari sambilan di BUMN. Itu sama masalahnya. Dan lebih berbahaya sebetulnya di wilayah Universitas.
Jadi dia rakus sebetulnya. Padahal universitas sebetulnya musti rakus ilmu, bukan rakus gaji. Itu intinya. Dan sampai sekarang kita belum dapat keterangan juga itu Rektor UI yang digaji dua kali, digaji oleh negara sebagai Rektor, digaji juga dia cari pendapatan sebagai komisaris. Lalu dia mengundurkan diri.
Kita tidak tau apa ada di tempat lain yang bersangkutan dapat tambahan keuangan juga. Jadi, sekali lagi ini soal besar bagi negara ini. Semua institusi itu harus terbuka dan tidak boleh ada rangkap jabatan dengan motif rangkap gaji. Itu bahayanya dan itu buruknya secara etis.