Gemoy yang Tak Sekadar Goyang: Prabowo (Sepertinya) Tengah Belajar dari Bongbong Marcos
Oleh Ady Amar - Kolumnis
Tiba-tiba Goyang Gemoy dimunculkan. Tampil bak penyihir mampu melenakan nalar. Tidak sekadar goyang lucu keriangan. Ada kekuatan di baliknya menyasar kalangan tertentu, yang melihat politik cuma dengan sebelah mata.
Goyang gemoy tidak sekadar goyang layaknya penari dangdut bergoyang. Goyang gemoy menyimpan kekuatan dahsyat, berharap melenakan kaum milineal dan Generasi Gen Z. Tidak semua memang asyik dengan keriangan sebagai sesuatu mengasyikkan.
Bersamaan pula dengan itu dimunculkan narasi tak berdiri sendiri, bahwa Pilpres 2024 itu layak sebagai ajang pesta riang gembira. Dan, goyang gemoy jadi andalan dalam berhadapan dengan gagasan dan narasi calon pemimpin bangsa, yang coba diketepikan. Yang itu dikesankan tidaklah sebegitu penting dibanding keriangan goyang gemoy.
Adalah Prabowo Subianto salah satu kandidat capres, yang diidentikkan dengan gemoy, yang bermakna menggemaskan. Maka, ia tampil kapan saja dengan goyang gemoynya, bahkan di sembarang tempat. Tak perduli di tempat tak biasa sekalipun, ia tak merasa risih memainkan peran yang tak seharusnya.
Pada acara serius sekalipun, dan itu saat pengundian nomor urut pasangan calon (paslon), yang diselenggarakan KPU, Prabowo tak segan menunjukkan bakat barunya sebagai penghibur. Tak merasa jengah, meski jadi tertawaan, ia bergoyang gemoy di depan tokoh politik lainnya, setelah beri sambutan sekadarnya.
Prabowo muncul sebagai sang penghibur yang menggelikan. Serasa biasa saja saat berganti peran dari yang biasa kita lihat: seorang yang acap dengan sikap temperamental menjadi gemoy. Semua dibuat mafhum, bahwa ia sedang berperan jadi-jadian, peran yang berharap dapat "menyihir" kalangan milenial dan Gen Z.
Goyang gemoy jelas ingin menyasar kelompok itu, yang memang diperebutkan. Lebih dari 50% elektoral pemilih ada pada kelompok ini, yang melihat politik tidak sebagai hal prinsip. Padahal kebijakan politiklah, yang menentukan masa depan.
Tidak bermaksud mengecilkan kelompok yang jadi rebutan ini, tapi zaman memang menciptakan generasi muda yang cuek pada hal yang semestinya lebih disikapi dengan serius. Karenanya, goyang gemoy bisa menyihir kelompok "rentan" ini, yang asyik dengan hiburan lucu keriangan.
Menjadi pantas seorang Prabowo tak segan menjadikan diri "gemoy", meski kita sulit melihat sikap gemoy itu ada pada dirinya. Tapi satu hal memang, tak sembarang orang bisa memutar peran jadi sebalik perangainya, seperti peran yang diperankannya. Peran menantang yang sampai memutus urat malunya.
Prabowo hanya melakukan peran yang disodorkan. Peran utama goyang gemoy. Siapa yang menyodorkan peran itu, atau siapa pengatur skenario dan sutradaranya, tentu tidaklah dirangkap Prabowo.
Mengubah peran dari tidak mengasyikkan menjadi mengasyikkan, itu mengingatkan pada Ferdinand Marcos, Jr., atau akrab dipanggil Bongbong Marcos, Presiden Filipina saat ini. Generasi milenial dan Gen Z di Filipina memang tidak mengalami era kediktatoran Presiden Ferdinand Marcos, ayah Bongbong. Meski generasi ini melek iptek, tapi jauh dari pemahaman sejarah politik negerinya.
Maka, sang diktator itu dipelintir mereka yang bekerja untuk Bongbong, seolah masa keemasan Filipina itu terjadi saat dijabat sang ayah. Padahal pada era itu pengadilan dinjak-injak, pun sektor bisnis, sampai mengontrol media massa.
Rezim Marcos pun sampai saat ini tidak mampu mempertanggungjawabkan dana korupsi sebesar USD 10 miliar (Rp 114 triliun). Bongbong pun sebenarnya pernah dijatuhi hukuman sebagai pengemplang pajak (1995).
Semua jejak kebusukan rezim ini dan keluarga dikaburkan. Milenial dan Gen Z dikenalkan dari yang sebaliknya. Bongbong yang semula punya perangai tak asyik, dibuat menjadi pribadi mengasyikkan. Itulah kerja konsultan politik, yang meski tak sampai meminta Bongbong untuk bergoyang gemoy seperti saat ini dipertunjukkan Prabowo. Bongbong diminta agar ia tak menghadiri forum perdebatan di muka publik. Agaknya itu kelemahan Bongbong, yang tak ingin ditampakkan.
Adalah Brittany Kaiser, mantan karyawan perusahaan konsultan politik Inggris, membocorkan bahwa Bongbong mendatangi perusahaan itu untuk menyulap keluarganya menjadi berkebalikan. Artinya, merombak citra keluarganya. Meski bocoran Kaiser itu ditepis tim kampanyenya.
Bongbong tahu persis, konsumsi media sosial di Filipina di atas rata-rata. Bermacam platform yang muncul tak mampu membendung disinformasi yang diciptakan, ini yang dimanfaatkan tim kampanyenya.
Pendukung Bongbong tidak sekadar memanipulasi narasi. Mereka pun menernakkan akun-akun anonim, guna menyerang siapa saja yang coba mengungkap kebenaran. Ditambah pula kerja lembaga survei yang memposisikan Bongbong selalu di peringkat atas. Upaya menggiring opini keterpilihan. Persis fenomena yang muncul di negeri ini.
Ditambah lagi, kekuatan Bongbong untuk memenangi kontestasi pilpres menjadi lebih perkasa, itu saat ia "melamar" Sara Duterte Carpio, perempuan berusia 43 tahun. Sara putri dari presiden petahana, Rodrigo Duterte. Karenanya, tanpa diminta pun sang ayah akan ikut _cawe-cawe_ memenangkan sang putri sebagai wakil presiden. Satu hal, Sara tidak perlu sampai meminta bantuan MK "mengerek" umurnya, seperti yang dilakukan Gibran Rakabuming Raka.
Bongbong di Filipina--akhirnya menjadi presiden--dan Prabowo di Indonesia yang juga menggandeng Gibran, putra sulung Presiden Jokowi, sedang berupaya membangun citra mengasyikkan, khususnya di kalangan milenial dan Gen Z. Kelompok yang mesti dijauhkan dari informasi "dosa" masa lalu yang menempel, dan berusaha dihapusnya dengan manipulasi narasi, yang dibuat serba berkebalikan.
Tidak persis tahu apakah Prabowo memakai jasa konsultan politik yang sama, sebagaimana yang pernah dipakai Bongbong untuk memenangkan pilpres di Filipina. Tidak ada yang tahu, atau setidaknya belum ada yang membocorkannya ke publik. Jika pun memakainya, itu tidaklah mengapa. Tidak ada aturan hukum yang ditabraknya.
Maka, tidak masalah pula jika muncul analisa melihat fenomena Bongbong Marcos di Filipina, itu seperti melihat cermin, dan yang muncul wajah Prabowo Subianto. Ada kemiripan yang tak berdiri sendiri.
Milineal dan Gen Z mesti disadarkan untuk bisa melihat fenomena yang muncul, yang tidak cukup cuma disikapi dengan keriangan. Itulah yang sepertinya sedang diupayakan kandidat lain saat mendekati kalangan itu, mengajak memilih dengan kritis dengan melihat gagasan dan rekam jejak kebaikan dari kandidat capres yang ada. Dan, memang itu yang mestinya jadi konsen untuk dipilih.
Satu hal lagi, negeri ini sudah surplus penghibur, justru darurat munculnya pemimpin berintegtitas, yang akan membawa perubahan negeri ke arah lebih baik.**