Gerindra Dan Prilaku Nepotisme
by M Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Rabu (05/08). Banyak yang menggeleng-geleng kepala melihat perkembangan Gerindra sekarang ini. Awalnya banyak yang melihat prospek ke depan yang cerah bagi partai ini. Karena pandangan Partai Gerindra politik yang kritis dan korektif.
Tapi lama-kelamaan pengagum atau pengharap mulai kehilangan respek. Terasa sia-sia dahulu mendukung Ketua Umum Partai Gerindra untuk menjadi Presiden. Ketua Umum dan partai semakin loyo saja terhadap berbagai permasalahan rakyat dan bangs belakangan ini.
Untung saja tidak terpilih menjadi Presiden. Bahkank ada yang menyatakan syukur, karena Prabowo tidak terpilih menjadi Presiden. Jangan-jangan kalau menjadi Presiden, bisa lebih parah dari yang sekarang. Rakyat yang tadinya bersemangat berharap adanya perubahan ke arah yang lebih baik, ternyata tak bisa menggantungkan harapan itu.
Di Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) Gerindra senyap suara. Tragisnya, di Badan Legislasi DPR, Gerindra malah menyetujui usulan RUU gila ini untuk dibahas bersama-sama dengan pemerintah. Belakangan setelah umat Islam melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah beserta 200 lebih Ormas Islam menyatakan penolakan, barulah Gerindra ikut-ikutan menyatakan penolakan.
Partai Gerindra tidak ada pembelaan kepada rakyat yang gelisah oleh permainan acak ideologi oleh partai pengusung RUU HIP. Umat berteriak keras akan bahaya dan ancaman terhadap dasar dan ideologi negara Pancasila. Gerindra seperti diam dan nyaman-nyaman saja.
Yang lebih menyakitkan umat Islam adalah sang Ketua Umum ikut-ikutan mengantar lembaran busuk RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai pengganti RUU HIP. Konyol memang karena seperti tidak membaca konstelasi keumatan. Padahal Kongres Umat Islam telah menyatakan sikap, agar lembaga BPIP dibubarkan saja. Habis-habiskan anggaran, namun tidak jelas apa kerjanya BPIP.
Pada Pilkada Desember 2020 nanti, lagi lagi Gerindra berperilaku aneh. Kasarnya menjilat yang tidak perlu dijilat. Anak Presiden didukung untuk menjadi calon Walikota Solo. Menantu Presiden juga didukung untuk menjadi Calon Walikota Medan. Besan Presiden didukung untuk menjadi Bupati Tapanuli Selatan (Tampsel). Anak Wakil Presiden didukung untuk menjadi calon Walikota Tengerang Selatan. Anak Sekretaris Kabinet didukung maju di Pilkada.
Sebagai hak politik, hal demikian adalah sah-sah saja. Tetapi ini merupakan dukungan menuju pengabsahan nepotisme. Kultur yang diwanti-wanti oleh Tap MPR No. XI/MPR/ 1998 dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 sebagai perbuatan yang harus dihindari. Bahkan harus diberantas. Bukan malah mendukung, atau menjadi penyokong prilaku politik nepotisme.
Pendukung benih nepotisme tentu bukan hanya Gerindra. Tetapi Gerindra patut disorot mengingat Ketua Umumnya adalah Calon Presiden yang mendapat dukungan jutaan suara, yang berharap memiliki pemimpin yang berintegritas dan mandiri. Pemimpin yang membasti nepotisme dalam segala aspek kehidupan berbagngsa dan bernegara.
Sayangnya Geridra kini sangat pragmatisme. Kalkulasi politik, mungkin juga apologi demi strategi, maka para pemeran sandiwara politik lebih suka mempermainkan perasaan hati rakyat. Sekedar untuk mendapatkan sejumput keuntungan bagi kelompok atau partai. Lagi pula Pemilu waktunya masih lama. Bukankah Parpol itu membutuhkan dukungan rakyat hanya di saat Pemilu?
Nepotisme harus diberantas, jika negara ingin kuat dan bersih. Nepotisme ada dalam satu nafas dengan Kolusi dan Korupsi (KKN). Penyelenggara negara mesti memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan KKN. Jika komitmen itu sudah hilang, maka baiknya Ketetapan MPR atau peraturan perundang-undangan yang ada dibuang saja ke bak dan tong sampah.
Rakyat sudah semakin muak pada karakter pemerintahan yang didukung partai-partai politik yang sudah tidak menperdulikan aturan aturan hukum. Silahkan ber-KKN dengan bebas dan leluasa sesuka hati. Tidak peduli pada pandangan luar selain dari diri, kelompok, dan partainya. Mengelola negara seperti miliknya sendiri. Kekuasaan adalah aku--l'etat cest moi.
Sebaiknya Gerindra introspeksi dan evaluasi atas langkah yang menenggelamkan diri itu. Hukum politik selalu ada "reward" dan "punishment". Jangan abaikan dan persetankan suara rakyat. Kekuasaan dan jabatan itu tidak abadi. Pada akhirnya akan berakhir juga. Tentu semua sudah sangat tahu akan hal itu.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.