Gugatan PT 20 Persen Kembali Ditolak, Mahkamah Konstitusi Penjaga Tirani?
Jakarta, FNN - Dalam Sidang borongan pada hari Senin (20/42022) Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan sebanyak 12 perkara yang berbeda dalam satu hari. Untuk perkara Presidential Treshold, ambang batas pencalonan Capres 20%, MK tetap menolak gugatan dari 7 warga Bandung dengan dasar penggugat tidak punya legal standing, sehingga pokok perkara tidak dilanjutkan.
Menurut Syafril Sjofyan, 1 dari 7 warga Bandung yang mengajukan gugatan mengatakan walaupun semua dalil yang kami ajukan dengan argumen yang kokoh dan kuat serta sangat berbeda dengan dalil-dalil dari 16 perkara gugatan yang sama yang pernah ditolak oleh MK sebelumnya, tetapi tak mengubah pendirian MK.
“Dalil-dalil tersebut tidak sepenuhnya dibahas secara konperhensif oleh hakim MK. Memang ada beberapa hakim yang menerima bahwa kami sebagai warga negara biasa punya legal standing, namun tentunya mereka kalah suara dalam memutuskan,” kata Syafril kepada FNN, Kamis, 21 April 2022.
Syafril menegaskan bahwa UUD 1945 telah memberikan peranan strategis kepada partai politik untuk mengajukan calon yang akan dipilih oleh rakyat. Peran strategis partai politik ini harus diartikan dalam rangka kedaulatan rakyat, dalam rangka pelaksanaan hak pilih rakyat. Karena itu keberadaan partai politik tidak boleh justru menghambat hak pilih rakyat.
“Yang lebih menguntungkan bagi warga negara sebagai pemilih, atau yang lebih memungkinkan terakomodirnya aspirasi pemilih, adalah tersedianya lebih banyak alternatif calon Presiden dan Wakil Presiden. Kami sangat kecewa dengan putusan Hakim MK,” papar Syafril kepada wartawan setelah mengikuti sidang MK secara Daring.
Sebenarnya, lanjut Syafril jika dikupas lebih teliti Undang Undang Dasar 1945 tidak menghendaki adanya Presidential Treshold, beberapa ketentuan di dalam pasal-pasal UUD 1945 tentang Pemilu dan hal tersebut bisa dibahas dan akan menang jika sampai kepada pembahasan pokok perkara.
Namun, kata Syafril dalil pokok perkara yang ia ajukan tidak bisa diteruskan, begitu juga untuk menghadirkan saksi ahli karena pihaknya terganjal dengan keputusan penolakan legal standing.
Menurut Syafril, mahkamah di berbagai negara maju sudah menganut legal standing test dalam arti yang lebih luas, yaitu memperluas test dari direct interest menjadi public interest (kepentingan publik), di mana kedudukan hukum pemohon dianggap relevan mewakilkan kepentingan publik (kepentingan umum) yang dirugikan akibat berlakunya sebuah UU.
“Alasannya, konstitusi adalah hukum publik yang dibuat untuk melindungi kepentingan publik, bukan untuk kepentingan individu semata. Pendapat bahwa hanya mereka yang memiliki “kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji material sepenuhnya salah memahami fungsi konstitusional Mahkamah. Demikian penjelasan Syafril Sjofyan lebih lanjut, yang juga sebagai aktivis 77-78 dan sekjen FKP2B,” tegasnya.
Syafril menilai, MK RI menganut kriteria yang sangat ketat (bisa juga dianggap ketinggalan zaman) artinya, masyarakat “biasa” dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai legal standing. Yang jadi pertanyaan, di manakah letak kedaulatan rakyat seperti tercantum dalam UUD 45. Menghalangi atau terhalangnya permasalahan uji materi ke pembahasan lanjut ke pokok perkara karena kriteria ketat menurut Syafril melumpuhkan tugas Mahkamah sebagai penegak supremasi hukum.
“Saya sependapat dengan pengamat politik dan ekonomi Anthony Budiawan bahwa terkesan MK RI sebagai penjaga Tirani, bukan lagi penjaga kedaulatan rakyat dan the Guardian of the Constitution,” papar Syafril.
Syafril menegaskan bahwa banyaknya permohonan ke hadapan Mahkamah Konstitusi untuk meniadakan ketentuan tentang presidential treshold 20%, menunjukkan sebagian warga negara tidak menghendaki dan merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya ketentuan tersebut.
Syafril berharap Mahkamah Konstitusi dapat meninjau kembali syarat adanya kepentingan spesifik atau khusus dan aktual dari Pemohon guna dikabulkannya suatu permohonan pengujian Undang Undang, ternyata sia-sia.
Belum lagi menuntut dan berharap agar peradilan seharusnya berimbang, bukan hanya para pemohon saja yang harus membuktikan bahwa PT 20% merugikan secara konstitusional, akan tetapi seharusnya hakim konstitusi juga menunjukan keunggulan dan keuntungan apa dengan adanya Preshold 20% secara spesifik, dipandang dari sisi penguatan Kedaulatan Rakyat.
Negara-negara yang menjalankan sistem presidential dan memiliki multi partai, kata Syafril tidak memiliki persyaratan Presidential Treshold baik 1% ataupun 20% bagi kandidat Presiden, termasuk di Amerika Serikat. Menjadi pertanyaan kenapa “keukeuh” di Indonesia dibatasi dengan Presidential Treshold 20% apakah kepentingan tirani?
Syafril mengaku banyak kenalan sewaktu mengajukan gugatan menyatakan “hopeless”, karena beberapa penolakan MK terhadap gugatan yang sama. Mereka malah mendesak dengan unjuk rasa ke MK.
“Tentu akan menyebabkan gejolak yang sifatnya bisa mengarah yang tidak bisa terukur. Namun kembali dengan harapan dengan dalil baru dan argumen yang kokoh kami ajukan sekarang, Hakim MK menolak menerima gugatan kami. Jika demikian halnya kami pulangkan kepada publik saja,” pungkasnya. (ida, sws)