Habib Rizieq Shihab, Pencarian Keadilan yang Belum Selesai
Oleh Ady Amar *)
MUNGKIN dikhususkan hanya pada Habib Rizieq Shihab seorang saja, yang dipenjarakan dengan tuduhan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) Covid-19. Tampaknya itu tidak berlaku pada orang lain, yang juga sama-sama melanggarnya.
Mengapa hukum menjadi tidak adil dikenakan padanya. Hukum, sekali lagi, seolah diada-adakan pada kasus prokes untuknya, tidak pada yang lain dalam kasus yang sama. Setidaknya itu yang tampak.
Hanya mengucap kalimat pendek, "baik-baik saja", saat ditanya tentang kesehatan dirinya, dan itu sebelum hasil tes PCR atasnya didapat. Tentu ia tidak bermaksud berbohong. Salahnya di mana ucapannya itu.
Habib Rizieq merasa tidak sakit, tubuhnya merasakan baik-baik saja, lalu kesalahannya di mana atas jawaban yang ditanyakan para juru warta di RS Ummi, Bogor. Setelah hasil tes PCR keluar, dinyatakan positif, maka ia memilih tinggal di rumah untuk pemulihan (karantina).
Alasan yang dikemukakan jaksa penuntut umum (JPU) di pengadilan tingkat pertama, bahwa karena ucapan "baik-baik saja" itu menimbulkan keonaran, meski JPU tidak mampu menunjukkan bukti keonaran yang ditimbulkannya. Tapi justru itu yang dipakai majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur memutus hukumannya menjadi 4 tahun, dari tuntutan JPU 6 tahun.
Lalu, upaya banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dilakukan. Dan seperti PN Jakarta Timur, hukuman atasnya tetap menjadi 4 tahun, tanpa ada pertimbangan meringankan lainnya. Seolah PT Jakarta hanya "mengangguk" mengiyakan saja atas putusan pengadilan tingkat pertama.
Lanjut, kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dipilih Habib Rizieq dalam mencari keadilan. Dan, MA, Senin (15/11) memutus dengan meringankan 2 tahun dari sebelumnya 4 tahun. Argumen meringankan MA, bahwa keonaran yang ditimbulkan itu hanya sebatas atau ada di media sosial.
Putusan MA, yang meringankan 2 tahun, itu pun sulit bisa dijelaskan. Sedahsyat apa keonaran yang ditimbulkan oleh pernyataan "baik-baik saja" di media sosial itu, yang sampai ia harus dipenjarakan 2 tahun. Di media sosial adalah hal biasa jika perdebatan dua pihak yang berseberangan, itu sampai tingkat ketidak patutan. Itu biasa saja.
Tidaklah salah jika lalu orang menyebut, itu semacam suka-suka hukum dikenakan pada Habib Rizieq Shihab, meski tanpa pijakan hukum yang semestinya. Seperti orang satu ini memang ditarget, dan mesti dipenjarakan. Kasus prokes yang tidak semestinya, itu pun dipakai jalan memenjarakannya. Di penjara sehari pun ia tidak pantas, itu setidaknya yang disampaikan salah satu pengacaranya, Aziz Yanuar.
Gas pol dengan putusan MA itu, dengan tanpa perlu pikir-pikir atas putusan itu, Habib Rizieq lewat pengacaranya memilih mengajukan peninjauan kembali (PK) pada MA. Ini akhir pencarian keadilan yang dipunyai, dan itu yang dipilihnya. Semoga keadilan dunia bisa ia dapatkan, dan itu dari kasus yang menurut pakar hukum tata negara, Refly Harun, jangankan dihukum sehari, dihadirkan di pengadilan saja Habib Rizieq itu tidak pantas.
Kasat mata keadilan tampak tidak berpihak padanya, kata dizalimi pantas disandingkan pada Habib Rizieq Shihab. Pencarian keadilan hukum di dunia memang akan berhenti pada hasil putusan PK nya nanti. Setelah itu keadilan Tuhan yang ia harapkan, dan itu pasti akan didapatkan: keadilan seadil-adilnya. (*)
*) Kolumnis tetap FNN