Memberikan Golok Kepada Orang Gila
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN
PARA pelanggan dan pengunjung pasar itu berhamburan. Lari menyelamatkan diri. Mencari perlindungan di balik meja-meja barang dagangan.
Semua terancam golok panjang dan tajam. Golok itu baru beberapa hari diserahkan kepada seseorang yang diangkat sebagai petugas keamanan untuk pasar becek itu.
Pada awalnya, orang tersebut biasa-biasa saja. Dia bersahaja. Selalu tersenyum. Tak canggung hilir mudik di gang-gang pasar itu. Semua terkagum-kagum melihat dia blusukan memunguti sampah kotor.
Tiap pagi dia menyapa para pebelanja. Sambil mengatakan “Apa kabar, Pak” atau “Apa kabar, Bu”.
Dia rajin melakukan patroli pasar. Semua orang merasa nyaman. Senang dengan cara dia melaksanakan tugas.
Tapi, pelan-pelan tingkah laku orang yang memegang golok itu berubah. Tiba-tiba saja di suatu pagi dia membacokkan golok itu ke sebatang tiang kayu di pasar.
Golok itu tertancap. Orang yang diberi golok itu berteriak-teriak dengan kata-kata kotor. Baju yang dipakainya dia lepas. Dia terus merepet tapi tak jelas ujung-pangkalnya.
Tak sampai 10 hari kemudian, orang bergolok yang tadinya dirasakan memberi kenyamanan, berbalik menjadi pengacau pasar. Para pelanggan rutin ke pasar itu ketakutan.
Si pemegang golok kelihatan semakin kehilangan akal sehat. Mirip seperti orang gila.
Sekarang, semua orang terintimidasi. Dia menghunus dan mengibas-ngibaskan golok ke segala arah. Seram dan mengerikan. Sejumlah orang luka-luka. Ada yang parah, banyak yang luka ringan.
Dalam sekejap, si orang bergolok membuat aturan sendiri. Semua aturan yang berlaku di pasar becek itu dia jadikan satu aturan saja. Dia buat semacam “ominibus law” di pasar itu. Termasuk aturan pungutan parkir, pungutan meja pedagang, pungutan keamanan, dan pungutan-pungutan lain.
Dia tidak boleh dibantah. Semua yang diinginkannya harus terlaksana.
Si manusia golok semakian liar. Dan tak terkendali. Dia meneriakkan ancaman verbal. Suasana semakin mencekam di pasar. Sampai akhirnya salah seorang pengunjung pasar becek itu berhasil menjinakkan orang kuat itu.
Setelah situasi reda, diketahui bahwa orang yang menjinakkan manusia bergolok itu hanya orang biasa saja. Dia bukan intelektual seperti kebanyakan pelanggan dan pengunjung pasar.
Setelah para intelektual itu berdiskusi, ternyata yang menjadi masalah di kerumunan pasar itu adalah nyali. Ratusan orang di situ bisa diintimidasi oleh manusia bergolok karena tidak punya nyali untuk melawan. Mereka takut luka. Takut mati.
Itu terbukti setelah manusia bergolok bisa dilumpuhkan. Dia minta-minta ampun. Minta agar tidak dihajar oleh kerumunan.
Manusia yang diberi golok oleh kerumunan itu sendiri, ternyata tidak ada apa-apanya. Preman-preman pasar yang semula bersekongkol dengan dia, akhirnya kabur. Tak berani lagi muncul.
Begitulah kalau kekuasaan diberikan kepada orang yang tak berakal sehat. Dia kelihatan kuat sekali dengan goloknya itu. Tetapi, sesungguhnya dia seorang yang lemah. Dia karena dikelilingi oleh para preman.
Kekuatan si pemegang golok akhirnya sirna setelah nyali warga pasar bangkit.[]