Ikut Mengantar Jenazah Gembong Warsono, Masih Pantaskah Anies Diserang dengan Ayat dan Mayat?

Oleh Yarifai Mappeaty | Pemerhati Sosial Politik

GEMBONG Warsono, politisi senior PDIP DKI Jakarta, dikhabarkan telah menutup mata untuk selamanya, pada Sabu dini hari, 14 Oktober 2023, di RSPP Pertamina, Jakarta Selatan. Mendengar kabar itu pada ba’da subuh, Anies sontak membatalkan semua agendanya pada siang hari itu, yang telah dijadwalkan beberapa pekan sebelumnya.

Sepenting itukah Gembong bagi Anies, layaknya dua orang sahabat? Sehingga waktunya hari itu hendak dicurahkan sepenuhnya hanya untuk seorang Gembong. Padahal semua tahu kalau almarhum dianggap salah satu yang paling keras mengeritik dan menyerang Anies semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta. 

Gembong bersama dua rekannya yang lain, yaitu, Prasetyo Edi Marsudi dan Gilbert Simanjuntak, melihat Anies seolah tidak ada baik dan benarnya sama sekali.  Anies selalu tampak buruk dan salah melulu. Sangking “bawelnya”, mereka kerap dijuluki oleh simpatisan Anies sebagai ‘trio kwek-kwek’ dari Kebon Sirih.

Tengkok, misalnya, bagaimana gigihnya mereka berupaya membuat Anies bersalah pada kasus Formula E dan penanganan banjir Jakarta. Begitu bernafsunya, mereka tampak baru akan merasa puas, jika Anies sudah dipakaikan rompi orange KPK.

Publik pun kaget, seolah tak percaya Anies tampak di antara para pelayat di rumah duka. Bahkan, tak hanya melayat, tapi juga ikut mengantar Gembong ke tempat peristirahatan terakhirnya di Tanah Kusir. Bahkan memberi testimoni kalau almarhum orang baik, hingga memanjatkan do’a terbaik untuknya. 

Demikian pula di antara kolega Gembong, tentu tidak ada seorang pun membayangkan kalau Anies akan datang. Jangankan melayat, menyampaikan ucapan duka cita pun, mungkin juga tidak. Sebab mengingat sikap Gembong selama ini, membuat mereka tak melihat alasan bagi Anies untuk datang. Sehingga kedatangan Anies, benar-benar surprise.  

Tetapi cara pandang Anies berbeda. Boleh jadi ia menganggap Gembong adalah penolongnya. Seperti kata pameo, ‘Musuhmu adalah sahabat terbaikmu.’  Justru karena sikap kritis Gembong membuat dirinya sangat berhati-hati selama memimpin Jakarta, agar tak membuat kesalahan.

Sebab bayangkan, jika saja Gembong tak sekeras itu, bukan tak mungkin Anies lena dengan kekuasan yang ada di tangannya, sehingga pada akhirnya ia pun menjadi tersandera. Bagaimana tidak? Bagi orang yang memiliki integritas, menjadi orang nomor satu di DKI tentu tidak gampang, terlalu besar godaan. Setiap tahun mengelola APBD lebih dari 70 trilyun, sungguh menggoda. 

Selain itu, hubungan Anies dengan Gembong menurut kapasitas masing-masing di DKI Jakarta, harus dilihat dalam perspektif kolaborasi. Dalam konteks ini, Anies tak pernah menggunakan diksi “musuh”, tetapi lebih sebagai “lawan” yang menyerupai sparring partner dalam permainan bulu tangkis, seperti kerap ia ungkapkan. 

Apakah Anies sekadar bermain kata-kata, seperti yang sering dituduhkan oleh para pembencinya? Tidak. Kedatangannya melayat dan mengantar jenazah hingga di pemakaman, selain sebagai bentuk penghormatan terakhirnya pada Gembong, juga adalah bukti konsistensi pada ucapannya, bahwa Gembong baginya benar-benar bukan musuh, tetapi sebagai sparring partner.

Itu sebabnya Anies tak tampak canggung saat berada ditengah orang-orang yang tak bersahabat dengannya. Mengapa? Karena ia memang tulus melakukannya.  

Lagi pula bukan kali pertama Anies menunjukkan sikap semacam itu.  Masih ingat Remmy Silado dan Iwet Ramadhan? Saat keduanya terbaring di Rumah sakit, Anies tak hanya datang menjenguk, tapi juga membantu ringankan biaya rumah sakit. Padahal, sebagai pendukung Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017, mereka tak jarang menunjukkan ketaksukaannya pada Anies.

Apa yang ditunjukkan Anies pada hari itu, mengingatkan kita pada sosok Buya Hamka yang tak mendendam pada Bung Karno. Tatkala mendengar Sang Proklamator itu menghembuskan nafas terakhirnya, Buya Hamka gegas datang untuk men-salatinya, sesuai wasiat Bung Karno sendiri.

Sebaliknya, Buya Hamka malah berterima kasih pada Bung Karno yang telah memenjarakannya. Sebab jika tidak, Tafsir Al-Azhar, karya besarnya yang ia tulis di dalam penjara, mungkin tak pernah lahir.

Datang melayat, mengantar jenazah Gembong hingga di peristirahatan terakhirnya, lalu memanjatkan do’a terbaik untuknya agar diampuni dosanya dan dilapangkan kuburnya, apakah masih pantas Anies diserang dengan ‘ayat dan Mayat’? [ym]

Makassar, 16 Oktober 2023.

366

Related Post