Indonesia Seperti Negara Bagian China (Bag. Kedua)
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum
Jakarta FNN – Rabu (05/08). Presiden Ping memang punya record-record intelektual dan menejerial top, berkelas dan mengagumkan. Itu memang satu soal. Namun soal lainnya adalah China, seperti pandangan PM Wen Jiabao, berhasrat kuat mengontrol masa depan didunia internasional. Hasrat yang hanya bisa ditopang oleh pemimpin atau Presiden yang top, lincah berkelas dunia.
China tahu meraka tidak dapat memksakan negara-negara lain untuk mengikuti pandangan politik dan ekonomi mereka. Tetapi tahu bukan di situ masalah besarnya. China hanya perlu berada front terdepan dalam semua aspek, dan negara-negara lain akan menyesuaikan diri.
Dalam kasus vaksin corona, China terlihat mendefenisikan pandemi Corona sebagai pasar sedang terbuka. Pasar ini harus direbut. Itulah kira-kira yang ada dibenak pemerintahan China. China tahu tabiat Amerika, negara terhebat dalam permainan kartu proteksi.
Untuk terhindar dari tembakan senjata proteksi Amerika, China tentu harus bergerak selangkah mendahului Amerika. Temuan dini atas vaksin akan membawa mereka menjadi pendefenisi utama pasar vaksin dunia. Paling tidak China akan jadi raja vaksin untuk Indonesia, yang sejauh ini terlihat tak memiliki kebijakan terukur dalam penyediaan vaksin sendiri.
Itulah China sekarang. Fokus dan bekerja dengan haluan mereka sendiri. Selebihnya akan datang dengan sendirinya. China cukup tahu bahwa kalau anda tidak ingin dimakan oleh negara besar, maka anda harus besar dalam semua aspek. Kalau anda ingin dihormati, termasuk menguasai dunia, anda harus besar. Itulah ilham dari Amerika.
Apapun itu, kini China telah menyediakan kandidat vaksin untuk diuji coba bukan oleh kepada kelinci, tetapi pada kepala manusia. Tragisnya lagi, manusia yang dijadikan kelinci percobaan untuk tahap ketiga itu, bukan orang China, tetapi orang Indonesia. Indonesia terlalu payah dalam urusan seperti ini.
Indonesia Terperangkap
Kecemasan Indonesia bakal menemukan diri layaknya negara bagian atau provinsi kesekian darai China atau konfederasi China, mungkin saja akan ditertawakan. Para politisi kacangan dan tengik, yang telah mengambil jarak terlalu jauh dari perintah hebat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, mungkin saja menertawakan kecemasan ini.
Pembaca FNN yang budiman. Sulit meminta politisi kacangan dan tengik untuk membangun kecemasan atas postur relasi Indonesia-China sejauh ini. Indonesia yang telah berada sedemikian jauh di belakang China, terlihat tidak cukup menggetarkan para politisi negeri ini. Tidak seperti China yang tahu tidak ada hubungan internasional, terutama di bidang ekonomi yang saling menguntungkan. Para politisi Indonesia justru asyik dengan kesetaraan dunia yang penuh dengan penipuan.
Tidak seperti Indonesia, China tahu bahwa relasi dunia internasional, selalu khas leviathan. Yang besar menerkam, mencabik-cabik negara-negara yang kapasitas ekonomi dan militernya kecil. Negara-negara besar itu mengangkangi negara-negara kecil dengan utang dalam berbagai bentuk. Bisa berupa bantuan, pinjaman, dan bahkan sumbangan recehan diberikan.
China terus memompa habis kapastitas ekonomi dan militernya. Perusahaan negara mereka dipompa memasuki banyak sektor. Darimana uangnya? Ada utang memang. Selain utang, China memompa kemampuan keuangannya dengan mengandalkan tabungan masyarakat. Dalam urusan itu, China mengontrol secara ketat warga negara mereka untuk tidak membawa uang mereka keluar China sesuka hati mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Keluar susah, masuk juga lebih susah.
Komunisme mereka, jelas bersifat pseudo pada aspek tertentu. China mengenakan bunga rendah pada penabung domestik. Lalu bank, kata Chu, diguyur kredit dengan bunga murah. Perusahaan China jadinya mengisap rakyat mereka sendiri. Itulah komunisme mereka.
Korporasi China lalu merambah dunia dengan berbagai proyek. Di Afrika (Etiopia, Tanzania dan Zambia) misalnya pada tahun 2005-2006 saja China memiliki proyek sebanyak 900 unit. Dan negara-negara itu segera menemukan dirinya terlilit dengan utang. Hebatnya China telah menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Liberia.
China terus mengamankan masa depannya, dengan ambisi menyediakan keunggulan lain. Pembuatan baterei litium untuk mobil listrik misalnya adalah salah satu cara mereka mengamankan masa depannya. Cerdas mereka dalam menggapai ambisi besarnya, karena mempunyai pemimpin yang hebat, top, berkelas dan mengagumkan.
Tidak memiliki raw material, tetapi tetap memelihara ambisi itu. Bagaimana memenuhi ambisi itu? Negara lain, khususnya Indonesia yang tak pernah bisa bergerak maju dalam bidang manufaktur dapat diajak. Bahkan dikadalin untuk menyediakannya. Indonesia pun membentangkan karpet merah, layaknya negara bagian, konfederasi atau provinsi dari China.
Toh Indonesia telah terlatih dengan nanyian klasik investasi mendatangkan keuntungan terendiri. Keuntungan itu, salah satunya adalah penyerapan dan penyediaan tenaga kerja dan nilai tambah, karena korporasi itu memproduksinya di Indonesia. Hebat anggapan ini. Padahal korporasinya punya orang China, bukan punya Indonesia. Indonesia cuma dapat pajak alakadarnya. Titik.
Tidak terlihat sejauh ini sebagai provinsi kesekian China dalam arti tata negara, itu betul. Tetapi postur politik Indonesia telah tak berdaya dalam banyak hal. Persis China, Indonesia saat ini sedang mati-matian menancapkan lagi kebijakan desentralisasi sejumlah izin. Dalihnya untuk percepatan investasi. Lag-lagi ini anggapan yang konyol dan bahlul, kata orang istilah arab .
Hasrat itu diskemakan secara sadar dalam RUU Omnibus Cipta Kerja, yang sejak awal hingga sekarang teridentifikasi bakal menyengsarakan rakyat. Akibatnya, menuai protes terus-terusan. Persis seperti propaganda khas Wall Street dalam menggolkan RUU The Fed. Setiap kali protes muncul, segera direspon dengan argumen tandingan yang mengecohkan.
RUU ini, begitu argumen tandingan itu, akan menjadi kunci pembangunan ekonomi Indonesia, dan menyejahterakan pekerja Indonesia. Padahal resentralisasi izin dan syarat pekerja, sekedar sebagai contoh, tak pernah logis sebagai basis pikiran menyejahterakan rakyat. China tentu tak memedulikan friksi ini ini. China terlatih dengan sistem politik dan pemerintahan sentralistik.
China tak bakal memedulikan adanya kecemasan Indonesia, yang mulai terlihat seperti provinsi kesekian China. Kasus Afrika membuat China dapat mengatakan kecemasan itu tak beralasan. Tetapi apapun itu, politik pemerintahan yang sedang bekerja sejauh ini, memungkinkan Indonesia benar-benar terlihat seperti konfederasi China. (habis).
Penulis adalah Pengajar HTN Univeristas Khairun Ternate.