Intelektualitas (Mestinya) Mendahului Elektabilitas

Oleh Ady Amar *)

BALIHO "Kepak Sayap Kebhinekaan" dengan foto Puan Maharani, menyebar di banyak kota/kabupaten seluruh Indonesia. Tema itu sepertinya sulit dipahami banyak orang. Semacam sekadar menggelorakan semangat. Maka, tidak perlulah bertanya lebih jauh lagi, sulit bisa mendapat jawaban memuaskan.

Ada lagi baliho yang lebih rasional menghiasi pelosok negeri. Tema disesuaikan dengan kondisi yang ada, "Jaga Iman, Jaga Imun" dengan tetap foto Puan Maharani menyembul, tapi dibuat lebih Islami. Puan tampil dengan kerudung. Meski temanya lebih jelas, tentu lebih untuk menyemangati rakyat yang tengah menghadapi pandemi Covid-19, yang melumpuhkan sendi perekonomian, khususnya masyarakat kecil.

Meski kritik muncul, betapa uang begitu banyak dibuang untuk sekadar memaksa orang menengok senyum simpul wajahnya pada baliho. Seolah berharap berbalas senyum rakyat. Harapan yang pastinya sulit didapat. Mana mungkin perut melilit dan pikiran kusut, diharap untuk membalas senyum. Jika masih bisa tersenyum, itu manusia istimewa. Atau justru menemui manusia yang senyum di sana-sini tanpa sebab, cengegesan tersebab hilang akal.

Evaluasi atas penyebaran baliho pastilah dibuat. Jika efektif, maka gerakan semarak baliho akan diteruskan dengan tema-tema disesuaikan. Jika tidak, maka dicari cara lain untuk mengundang simpati guna merebut hati rakyat. Tentu ini bukan pekerjaan mudah dan murah.

Ini semacam membuat konten yang bisa dinikmati banyak pihak, dan itu kerja kreatif. Tidak mudah menundukkan hati rakyat, maka semua cara dilakukan. Terkadang perlu bantuan konsultan kreatif untuk meng- create ide sesuai yang diinginkan rakyat. Semua untuk elektabilitas, agar bisa terkerek tinggi.

Membidik hati rakyat bukanlah perkara mudah. Tapi juga bisa tampak mudah, seperti yang dilakukan Joko Widodo (Jokowi), saat mencalonkan diri jadi Gubernur DKI Jakarta, cuma cukup masuk gorong-gorong, dan itu jadi berita menjual. Itu tampak hal mudah dan murah, yang berbuntut elektabilitas jadi tinggi.

Jokowi dapat momen tepat. Rakyat melihat ia pemimpin merakyat, tentu itu kerja konsultan politiknya. Laku manusia ingin jadi pemimpin, di tingkat apa pun, itu harus sampai memutus urat malu segala. Ia akan membuat atraksi tidak biasa. Sebuah upaya mengaduk hati rakyat.

Memakai Pola Lama

Puan Maharani, lagi-lagi menimbulkan tanggapan kurang sedap dari berbagai pihak. Itu saat ia berhujan-hujanan dengan dua petani perempuan sedang menanam padi. Atraksinya itu memang tidak biasa. Tidak ada petani yang menanam padi sambil berhujan-hujanan. Reaksi kritik menertawakan pun bermunculan.

Tampaknya tim kreatifnya tidak sedikit pun punya pengetahuan dasar kapan waktu tepat bercocok tanam di sawah itu. Sehingga dengan berhujan-hujan, itu seolah bisa dilihat sebagai laku heroik membela nasib petani. Tidak jelas membela itu pada hal apa.

Puan dihadirkan seperti gambar yang ditempel tanpa punya makna, justru terlihat sebagai karya pencitraan yang "kasar", seolah ingin mengulang gaya Joko Widodo masa lalu. Gorong-gorong versi baru itu dengan menanam padi di sawah sambil hujan-hujanan.

Padahal mestinya sebagai Ketua DPR RI, Puan Maharani bisa membela petani dengan kebijakan yang berpihak. Memastikan ketersediaan pupuk yang acap langka dan harga yang terus dimainkan, dan menjaga agar tidak terjadi impor beras saat memasuki masa panen, dan seterusnya. Banyak cara lebih elegan mendulang elektabilitas.

Kebijakan berpihak, justru itu yang dibutuhkan petani. Bukan cuma dialog di sawah dengan pertanyaan seadanya, dan berharap diberitakan. Puan memilih ke sawah, itu seolah ia ingin mengulang kisah Sang Kakek, Soekarno, yang turun dari delman saat melihat petani mencangkul di sawah padahal hari menuju senja. Terjadi dialog dengan petani bernama Marhaen, yang lalu jadi inspirasi sebagai ajarannya, Marhaenisme.

Laku Soekarno itu tentu bukan pencitraan. Tidak ada orang yang menguntitnya dengan kamera segala. Laku dan momennya pun tidak dipaksa untuk mengikutinya. Mengalir sewajarnya dan tercatat, dikenang dalam sejarah panjang. Puan ingin mengulang peruntungan kisah kakeknya, seolah waktu bisa diputar kembali untuk membantu menaikkan elektabilitasnya.

Pilihan model turun ke sawah ini juga dibarengi dengan baliho ucapan selamat datang pada Puan Maharani di beberapa kota yang disinggahi, yang berpose memakai capil ala petani dengan pemandangan sawah membentang luas.

Berbagai Pola Mendekati Rakyat

Pola yang dilakukan Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan tentu dengan caranya masing-masing. Semua berharap dan bermuara pada elektabilitas, dan itu yang diharapkan. Maka pola yang diyakininya terus diasah, dan akan bisa terlihat dengan jelas.

Pola yang dibangun Prabowo, itu lebih pada namanya yang masyhur, karena beberapa kali mengadu peruntungan menjadi presiden, meski takdir tidak berpihak. Tapi namanya kadung terkenal, dan menjadikan elektabilitasnya tinggi. Ditambah jabatan selaku Menhankam RI, jabatan yang makin melambungkan namanya.

Sedang Ganjar, lebih digadang-gadang sebagai kelanjutan dari Presiden Jokowi, itu jika rencana tiga periode Jokowi sulit bisa terlaksana. Ganjar lalu jadi alternatif pilihan para penyokong Jokowi. Ganjar juga dianggap Wong Jowo asli, dan karenanya tingkat elektabilitasnya tinggi. Ganjar pun disebut sebagai simbol nasionalis, meski penyebutan itu mengada-ada dan mudah dipatahkan.

Maka, rakyat seantero negeri pun bisa melihat apa yang dikerjakan Ganjar selama dua periode selaku Gubernur Jawa Tengah. Terlihat apa yang dikerjakannya, dan bisa dinilai dengan obyektif. Jika gaya merakyatnya jadi unggulan seorang Ganjar, maka juga perlu disingkap apakah kebijakan pemerintahannya juga berpihak pada rakyat kecil. Provinsi Jawa Tengah masih tidak beranjak sebagai provinsi paling miskin kedua di Pulau Jawa, setelah Provinsi Banten. Realitanya demikian.

Sedang Anies Baswedan, bisa pula dilihat dari kerja-kerja nyatanya selaku Gubernur DKI Jakarta. Penyebutan namanya sebagai Gubernur Indonesia, itu seolah ia mampu melewati batas teritorialnya. Pembangunan Jakarta di tangan Anies tampak berbinar dan sulit bisa dibantah mereka yang bekerja dengan modal nyinyir pada apa saja yang dihadirkannya.

Berbagai penghargaan dalam negeri dan internasional di dapat Anies dan Provinsi DKI Jakarta susul menyusul, seolah sudah tidak lagi menjadi berita yang perlu diangkat. Maka, melihat Anies Baswedan dengan segala prestasi yang diukir itu tidak bisa dilihat ujug-ujug, tapi melihatnya pada pemenuhan janji-janji kampanyenya, yang dipenuhinya satu per satu. Dan itu untuk kesejahteraan warganya.

Meski tanpa rekayasa segala, elektabilitas Anies Baswedan selalu ada di tiga besar. Dan itu atas kerja-kerja terukurnya. Maka bisa dikatakan, intelektualitas seorang Anies itu mendahului elektabilitasnya. Kerja Anies itu lalu diikuti elektabilitas. Itu kesan yang ditimbulkan, dan yang setidaknya sampai pada masyarakat seantero negeri... Wallahu a'lam. (*)

*) Kolumnis

439

Related Post