Isu Pergantian Kapolri di Tengah Kasus Sambo Menembak Mati Joshua
Jakarta, FNN - Kasus Jenderal menembak mati ajudan terus bergulir. Tiap hari ada saja temuan dan tuntutan baru dari masyarakat. Teranyar, publik meminta presiden mengganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Kalau kemudian sekarang istana berupaya untuk kasih sinyal bahwa akan ada semacam pergantian, tentu evaluasinya bukan pada Pak Tito lagi, tapi pada Pak Sigit," kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Senin, 15 Agustus 2022.
Rocky menduga kedudukan Pak Sigit terlalu lemah berhadapan dengan senior-seniornya. Oleh karena itu reformasi di dalam kepolisian memungkinkan kita membayangkan satu sistem politik yang bersih bahkan pemilu yang adil nanti.
Seperti apa analisisnya, ikuti wawancara lengkapnya berikut ini:
Halo Bung Rocky, ketemu lagi kita dan ini awal pekan, masih persamboan.
Ya, itu, peristiwa Sambo akhirnya terus-menerus masuk dalam upaya untuk memperlihatkan konflik di antara petinggi-petinggi Polri. Begitu itu dalilnya yang orang akhirnya lihat, sudah makin terbuka antar geng sebetulnya kalau pakai istilah para pengamat instan. Dan terlihat di situ bahwa soal Satgas Merah Putih itu tetap diincar. Dan kita tahu bahwa Pak Tito yang menginisiasi itu.
Tentu kita ingat dulu Pak Tito itu perwira yang pinter dan dia mau melampaui semua birokrasi yang ada di kepolisian. Karena dia anggap bahwa ini yang tua-tua kadangkala maksud awalnya bagus tapi kemudian susah diterobos kalau melalui jalur-jalur formal. Itu kemudian Tito bikin Satgas itu.
Kita paham perilaku itu, karena bagaimanapun dia musti bawa divisi dia sendiri kan. Maka orang-orang Densus pasti direkrut pertama yang memang orang-orang pinter itu di awal-awal itu. Karena kita tahu kan Densus dilatih di Amerika, Australi segala macam.
Jadi dari awal kita lihat ada semacam persaingan dan kecemburuan pada Tito. Tapi kemudian itu melebar jadi seolah-olah Densus atau Satgas Merah Putih beroperasi ke mana-mana. Itu yang sering kali musti kita periksa, karena itu beberapa waktu yang lalu kita minta ini diterangkan itu fungsinya apa sebetulnya.
Dulu fungsinya bagus untuk melakukan reformasi internal birokrasi di kepolisian yang udah tak berurat berakar pada beberapa Jenderal senior dan yang muda ini tentu akan mengalami hambatan atau mengganggu kenikmatan para senior.
Tapi sekali lagi, itu di masa lalu dan kemudian dia berlangsung. Ketika Pak Tito nggak ada di situ Satgas ini masih berlangsung dan masuk pada Pak Sigit yang orang anggap oke, ada Pak Sigit tapi kelihatannya kedudukan Pak Sigit terlalu lemah berhadapan dengan senior-seniornya.
Itu saya kira awalnya begitu tuh. Kalau kemudian sekarang istana berupaya untuk kasih sinyal bahwa akan ada semacam pergantian, tentu evaluasinya bukan pada Pak Tito lagi, tapi pada Pak Sigit.
Nah, di situ saya kira taruhan kita sekarang siapa yang potensial untuk menggantikan Pak Sigit, walaupun Pak Sigit tetap memegang kendali dalam kasus Sambo.
Ini memang sudah arahnya ke situ. Kita sudah mulai bisik-bisik kemarin. Saya baca begini “ Jubir Pak Luhut membantah bahwa Pak Luhut memerintahkan Kabareskrim untuk membereskan kasus Brigadir J.”
Oke dan ini katanya ini beritanya hoaks, dipotong-potong. Tetapi, ketika sudah masuk nyebut nama figur Pak Luhut, kita nggak bisa menafikan bahwa ini sudah mulai ada permainan gitu.
Ada apa di balik itu? Kenapa? Karena kita tahu bahwa Pak Luhut ini kan walaupun jabatannya sebagai Menkomarves tapi kan kita tahu dia diberi tugas yang macem-macem yang di luar jabatan itu oleh Pak Jokowi sendiri.
Jadi nggak salah kalau orang kemudian melihat ini figur yang paling powerfull dan ketika masuk wilayah Polri, apalagi kalau tidak urusannya dengan soal Kapolri.
Ya, tentu saja secara formal Pak Luhut tidak terlibat dalam soal rekuritmen, tapi secara material hanya Pak Luhut yang mengerti secara lengkap peristiwa-peristiwa politik dan peristiwa ekonomi negeri ini. Itu nggak tidak bisa dipungkiri. Itu orang anggap kalau Pak Luhut perdana menteri. Ya memang faktanya begitu, karena menteri-menteri yang lain nggak bisa deliver sesuatu.
Jadi itu hal yang biasa saja secara personal, Pak Luhut kemudian dipercaya oleh Pak Jokowi. Tetapi, yang jadi soal kalau juru bicara Pak Luhut membantah kelihatannya terlalu berlebihan. Itu juga susah nanti kan? Jadi proporsional saja kasih keterangan bahwa memang dengan sendirinya presiden pasti meminta peasihat seniornya, yaitu Pak Luhut.
Kan itu fakta materialnya begitu dan itu melampaui jalur birokrasi. Itu biasa kan? Kan Presiden berhak untuk tetap tahu keadaan nggak harus lewat sidang kabinet. Ya orang yang dia paling deket saja kan. Dan Pak Luhut adalah orang yang setiap hari pasti courtesy call dengan Presiden. Itu standar.
Orang berpikir ya ini pasti Pak Luhut lagi yang diturunkan. Ya sudah, ya mau diapain lagi kan, karena itu memang faktanya. Jadi, sekali lagi dilepas dari semua kasak-kusuk ini kita masih ingin melihat satu reformasi di dalam kepolisian yang basisnya adalah profesionalitas. Itu saja intinya.
Supaya partai-partai politik juga dapat sinyal bahwa nggak usah lagi ngaco-ngaco kepolisian, biarkan kepolisian itu tumbuh sendiri dengan seluruh slogan Pak Sigit dengan presisi; Pak Tito dulu dengan percepatan reformasi internal, karena itu dibuat Satgas khusus semacam ini. Jadi semua peristiwa ini dalam upaya justru untuk reformasi kepolisian.
Demikian juga kemarin KNPI mengajukan judicial review. Semua begitu dan pers juga begitu. Jadi ini adalah upaya untuk beres-beres dari dalam. Dan itu pentingnya yang dari luar itu sudah, amati saja, jangan terlalu banyak direcoki juga.
Nanti kepolisian bingung juga nih apa yang mau dibenahi di dalam kalau masih ada yang ribut di luar. Tapi kita percayakan bahwa teman-teman di kepolisian mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Punya temen-temen muda yang bahkan otaknya IQ-nya berlebih itu.
Oke. Dan kita tahulah, biasa dalam situasi seperti ini ada orang memancing di air keruh atau kalau tidak memancing air keruh, memancing di air bening pun juga biasa, karena persoalan bagaimanapun dengan posisi Pak Listyo Sigit yang angkatan muda ‘91 sementara di atasnya masih ada ’89 dan ’90 yang juga kalau pensiunnya masih lama banget kalau dihitung-hitung, kalau nggak salah tahun 2026 atau 2027.
Jadi kan mau nggak mau mereka mentok. Jadi ketika ada situasi semacam ini wajar kalau mereka kemudian berusaha memanfaatkan situasi.
Yang nggak wajar kan ketika mereka kasak-kusuk, lobi sana-sini, terutama dengan kekuatan politik dan kekuatan istana. Itu yang jadi masalah.
Ya, itu pentingnya. Jadi kita pisahkan antara keinginan reformasi internal polisi dan keinginan dari luar yang justru ingin memanfaatkan situasi perubahan ini.
Kan banyak yang ngincer, ini mustinya bagian gue ini di yang diajukan sebagai Kabareskrim baru, misalnya, atau Kapolri baru. Itu nggak boleh terjadi.
Sementara itu, kita tetap ingin agar supaya Densus bekerja secara profesional, yang disebut teroris harus didefinisikan secara benar, soal pelanggaran hak asasi manusia harus diantisipasi segala macam.
Demikian juga BNN segala macam itu. Jangan lagi jadi masuk dalam kasak-kusuk narkotik tapi sebetulnya orang merasa wadah yang pat gulipat di situ. Kan semua sinyal itu diketahui oleh publik dan publik sekarang berupaya oke, kita selesaikan semua karena ada momentum.
Jadi momentum ini harus betul-betul jadi semacam refleksi batin yang radikal kepada semua lembaga yang ada di kepolisian.
Jadi suatu waktu nanti, mungkin menjelang pemilu 2024, orang merasa oke pemilunya akan bersih karena kepolisian sudah direformasi berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi, prinsip profesional dan segala macam.
Saya akhirnya jadi optimis Pemilu kalau polisinya direformasi. Kalau nggak bisa, sya udah kita balik lagi pada percepatan Pemilu, 2024 nggak usah ditunggu lama karena kesempatan juga untuk reformasi politik bersamaan dengan mereformasi kepolisian. Kan begitu kira-kira.
Saya kira satu, kalau kasus pembunuhan ini makin on the track lah. Kita sudah mulai lihat sudah ditentukan siapa tersangkanya, tinggal soal siapa pelaku penembakan utamanya. Saya kira nanti pelan-pelan akan terbuka.
Kalau agenda kita sebenar ada dua, seperti yang Anda sebut, soal Satgasus itu harus diotopsi ulang karena kita lihat ini orang sudah mengait-ngaitkan dengan dana non-budgeter yang digunakan oleh lembaga ini.
Ada soal perjudian, soal narkoba, dan sebagainya. Bahkan, kemudian kita jadi aneh lo kenapa tiba-tiba begitu habis Ferdy Sambo ditetapkan jadi tersangka kok di beberapa Polda dilakukan penggerebekan judi online. Kan gitu. Apakah ada kaitanya dengan soal ini. Itu satu.
Yang kedua, saya kira yang fokus yang justru strategis ya tadi itu reformasi dari institusi Polri. Saya kira agenda itu sekarang yang jauh lebih serius dibanding persoalan pembunuhan. Karena soal pembunuhannya sudah ada yang menangani.
Ya, itu yang harus kita pisahkan sekarang. Soal peristiwa Pak Sambo, oke. Itu sudah lengkap kira-kira berkasnya, jadi itu sudah selesai.
Tetapi, soal organisasi kepolisian ini masih ditunggu keterangan yang lebih resmi bahwa ada timeline, ada agenda, ada proposal baru dari kepolisian, dan perumusan itu tentu publik menginginkan ada autopsi terhadap yang lama dulu gitu.
Dan nggak usah khawatir sebetulnya. Kan ini untuk betul-betul menginginkan perubahan dahsyat dalam kepolisian. Bagian-bagian yang buruk dihilangkan, bagian yang baik diperkuat. Kan tidak semua kerjaan Satgas merah putih itu buruk, justru banyak yang bagus sebetulnya. Tapi kemudian ada hal-hal yang bikin orang curiga justru.
Demikian juga BNN. Oknum-oknum pasti ada yang bermain di situ dan dulu banyak pengakuan dari tersangka narkoba yang merasa sudah nyetor kok masih dibui. Dulu Haris Azhar buka semua itu habis-habisan. Dan data semacam ini di LSM banyak. Kan LSM juga punya kemampuan investigasi yang bahkan melampaui kepolisian karena ada raport lama antara LSM dengan pejabat-pejabat tertentu.
Jadi ini satu paket yang betul-betul lengkap, reformasi di dalam kepolisian memungkinkan kita membayangkan satu sistem politik yang bersih bahkan pemilu yang adil nanti. Itu intinya.
Jadi, beri kesempatan pada perwira-perwira yang sedang menanjak bintangnya untuk mengajukan naskah akademis kira-kira reformasi, dan pengetahuan-pengetahuan semacam itu datang dari mereka yang oke mereka mengerti politik, tapi nggak mau terlibat dalam politik, mengambil jarak dari partai-partai. Itu bagusnya beberapa perwira yang ada di situ.
Saya mengucapkan ini karena saya pernah mengajar di Sespimti Polri; saya pernah mengajar di PTIK; saya pernah memberi sesion di Direktorat Intel Mabes Polri.
Jadi saya cukup tahu keadaan di situ. Tentu nggak sedetail yang diketahui oleh mereka yang jadi staf khusus. (ida, sof)