Isu Radikalisme dan Perang Persepsi
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, jangan-jangan isu radikalisme ini menjadi bagian dari penguatan untuk memudahkan proses oligarki menuju kepada kekuasaan segelintir yang kuat itu. Sehingga segmen terbesar bangsa ini harus dibungkam dan dijegal dengan cara apapun.
Oleh: Imam Shamsi Ali, Diaspora Indonesia di Kota New York
PADA tahun 2008 lalu seorang anggota Kongres Amerika bernama Peter King (Republikan) dari pemilihan Long Island NY menginisiasi dengar pendapat di Kongres dengan tema: “Radicalization of the American Muslim Community”. Kebetulan saat itu dia menjabat sebagai Ketua Komite Keamanan Dalam Negeri atau Homeland Security.
Rencana itu cukup menghebohkan Amerika. Sebuah inisiatif yang sangat kontroversial dan disikapi secara terbelah oleh masyarakat Amerika. Bahkan Presiden Barack Obama sendiri sesungguhnya tidak setuju dengan dengar pendapat dengan tema seperti itu. Tapi karena Kongres saat itu didominasi oleh Republikan, maka merekalah yang menentukan pembahasan isu-isu di Kongres.
Umat Islam tentunya tersinggung dan menolak keras rencana dengar pendapat itu. Kami sendiri bersama tokoh-tokoh agama di Kota New York mengadakan demonstrasi besar yang dikenal dengan “Today I am a Muslim too”.
Pada rally itu semua unsur agama berkumpul memberikan dukungannya kepada Komunitas Muslim. Tema “today I am a Muslim too” bermakna jika Anda menuduh orang Islam radikal maka semua merasa tertuduh. Jika Anda menyerang orang Islam maka Anda menyerang semuanya.
Rally menentang dengar pendapat itu dikenal dengan “Today I am a Muslim too” pertama. Karena sekitar 10 tahun kemudian di saat Donald Trump berkuasa kami melakukan hal yang sama menentang kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam masuk Amerika oleh Trump. Keduanya dilaksanakan di Time Square, pusat kota New York.
Yang ingin saya sampaikan sebenarnya adalah bahwa pembicaraan tentang radikalisme yang pada umumnya dikaitkan dengan Islam atau orang-orang Islam ternyata lebih ditujukan kepada upaya untuk membangun imej atau persepsi tentang agama dan Umat ini. Seringkali mereka yang melemparkan isu radikalisme itu juga sadar bahwa realita radikalisme itu kalaupun ada bukanlah ancaman seperti yang disuarakan.
Pengalaman di Amerika mengatakan demikian. Dengan dukungan pihak-pihak yang memang punya kepentingan, yang memang tidak senang dengan agama dan Umat ini maju, termasuk media. Mereka kerap kali melempar isu radikalisme dari sesuatu yang tidak nyata. Atau sesuatu yang “designed” (dibentuk) untuk kemudian dijadikan sebagai justifikasi radikalisme.
Menariknya akhir-akhir ini juga begitu ramai Isu radikalisme di tanah air Beta Indonesia. Bahkan, seperti beberapa waktu lalu disebutkan ratusan Pesantren-Pesantren dan masjid yang terjangkiti radikalisme. Kalau ternyata benar, tentu ini sangat membahayakan. Bayangkan 2-3 orang saja orang radikal bisa menjadikan keamanan sangat terganggu.
Karenanya ada baiknya jika radikalisme itu diberikan defenisi yang jelas. Apa, bagaimana dan kapan sebuah paham/karakter dimaknai radikal. Sebab seringkali pemaknaan itu salah alamat. Dan akhirnya mengakibatkan kezholiman kepada pihak/kelompok tertentu.
Saya teringat di era Presiden GW Bush Jr. Disebabkan oleh peristiwa 9/11 akhirnya Bush melancarkan peperangan yang disebut “War on Terror”. Peperangan kepada teror ini dilakukan secara masif, baik secara global maupun domestik.
Oleh karena defenisi teror saat itu juga tidak diperjelas. Akhirnya peperangan kepada teror itu menjadi remang-remang, tidak jelas juntrungannya. Bahkan belakangan teridentifikasi kalau “war on terror” itu identik dengan “war on Islam” (peperangan kepada Islam). Walaupun Islam yang dimaksud terlabelkan sebagai “Islam radikal”.
Satu hal lagi yang menjadi dilema Bush dengan War on Terror ini. Yaitu terjadinya apa yang disebut dengan “guilt by association” atau bersalah karena asosiasi. Hal ini menjadi masalah besar karena apapun bentuk hubungan itu akan dijadikan justifikasi sebagai “bagian atau dukungan” kepada teror. Akibatnya begitu banyak orang-orang yang tidak tahu dan tidak sadar tentang apa yang terjadi tiba-tiba harus menanggung resiko tuduhan teror.
Sebagai contoh saja. Karena Hamas terlanjur dituduh sebagai organisasi teroris maka semua yang punya relasi dengannya harus siap dituduh teroris. Termasuk ketika seseorang atau sebuah organisasi menyalurkan donasi untuk perjuangan bangsa Palestina. Jika kebetulan donasi itu ada yang masuk dalam pengelolaan orang atau kelompok yang berafiliasi dengan Hamas maka donatur tersebut dianggap bagian dari jaringan teror.
Bahkan lebih radikal lagi ada kasus seorang warga Amerika keturunan Somalia berkunjung ke Magdishu (Ibukota Somalia). Orang tersebut makan di sebuah restoran yang kebetulan dimiliki oleh seseorang yang berafiliasi ke Al-Shabab (organisasi yang ditetapkan sebagai teroris). Warga Amerika tersebut kemudian ditetapkan sebagai donatur ke organisasi teroris.
Saya khawatir kalau Isu radikalisme yang banyak diributkan saat ini juga punya tendensi yang tidak jauh berbeda. Bahwa isu radikalisme memang bertujuan untuk membangun persepsi jika mereka yang punya perhatian dan komitmen kepada agama dianggap radikal. Sampai-sampai janggut dan celana cingkrang, bahkan ketampanan sempat jadi kriteria radikal.
Bahkan, lebih disayangkan lagi kalau isu radikalisme menjadi gorengan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, apapun itu. Mungkin pengalihan isu? Karena ada sesuatu yang ingin diloloskan? Boleh jadi untuk kepentingan politik jangka pendek, termasuk Pilpres 2024?
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, jangan-jangan isu radikalisme ini menjadi bagian dari penguatan untuk memudahkan proses oligarki menuju kepada kekuasaan segelintir yang kuat itu. Sehingga segmen terbesar bangsa ini harus dibungkam dan dijegal dengan cara apapun.
Karenanya semoga semua elemen bangsa berani untuk menyuarakan yang benar. Harus berani menantang semua hal yang dapat mengancam masa depan bangsa. Dan itu tidak jarang terancang (being planned) atas nama legalitas (perundang-undangan). Bahkan juga atas nama pengakuan cinta kepada Pancasila dan NKRI.
Tidak ada kepentingan yang lebih besar dari bangsa ini daripada menjaga masa depan bangsa dan negara sesuai dengan amanah dan cita-cita pendiri bangsa (founding fathers). Satu di antaranya yang terpenting bahwa bangsa ini harus mandiri, bermartabat, makmur dan berkeadilan. Bukan sekedar nafsu kemajuan atau kemakmuran dengan menjual harga diri bahkan menzholimi diri sendiri (sesama bangsa).
Intinya jangan mudah terpedaya dengan isu radikalisme yang dilemparkan. Jangan-jangan itu sekedar isu yang tidak substantif dan tidak pada tempatnya. Justeru untuk tujuan-tujuan lain dan untuk kepentingan kelompok oligarki itu.
Di tanah rantau, 28 Januari 2022. (*)