Jaksa Fedrik “Man of The Week”
Oleh Hersubeno Arief
Jakarta, FNN - Korps Kejaksaan punya bintang baru. Namanya Robertino Fedrik Adhar Syaripudin dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.
Sepanjang pekan kemarin namanya paling banyak diperbincangkan. Di media massa, berita seputar Fedrik Adhar paling menyedot perhatian.
Media berusaha mengulik habis profilnya. Mulai dari latar belakang sekolahnya, pangkatnya, keluarganya, sampai kekayaan pribadinya.
Di media sosial lebih heboh lagi. Namanya menjadi trending topik.
Foto-fotonya tampil dengan barang-barang branded banyak tersebar.
Kebetulan Pak Jaksa yang satu ini cukup eksis di medsos. Jadi sangat mudah bagi netizen untuk menguliknya.
Cukup ketik kata kunci Jaksa Fedrik Adhar, maka info seputar jaksa muda berusia 37 tahun itu muncul bertebaran.
Saking populernya, dalam tiga hari terakhir pada mesin pencari Google, namanya bahkan mengalahkan Jaksa Agung. Fedrik jauh lebih populer dan paling banyak dicari.
Namanya layak masuk dalam Man of The Week. Sebuah torehan “prestasi” yang cukup membanggakan untuk seorang jaksa berpangkat pratama.
Kalau di Polri pangkatnya selevel Ajun Komisaris Polisi, atau Kapten di lingkungan TNI. Masuk kelompok perwira pertama.
Jaksa tidak mandiri
Nama Fedrik mencuat menyusul kontroversi tuntutan jaksa atas dua orang penyerang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
Fedrik menjadi salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) bersama Ahmad Patoni dan Satria Irawan.
Kamis (11/6) JPU dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara itu menuntut mereka 1 tahun penjara. Publik dan praktisi hukum menilai tuntutan itu tidak masuk akal.
Dibandingkan dengan kasus serupa, berupa penyiraman air keras, tuntutan itu paling rendah. Padahal kasus ini selain menyita perhatian publik, bobotnya juga jauh lebih berat.
Novel adalah penyidik KPK yang banyak menangani kasus-kasus korupsi kelas berat. Melibatkan sejumlah petinggi negara dan petinggi penegak hukum.
Kasus ini menjadi kontroversi dan mengundang perhatian. Tidak hanya di dalam negeri, tapi sampai ke manca negara. Beberapa media Internasional juga menyoroti kasus ini.
Komnas HAM dan Amensty Internasional juga mempersoalkan. Salah satu alasan jaksa menuntut ringan adalah faktor “tidak sengaja,” menjadi olok-olok di dunia maya.
Bintang Emon seorang komedian muda mendadak viral karena aksinya menyoroti rendahnya tuntutan itu. Tagar #tidaksengaja menjadi trending dan banyak dicuitkan oleh para pesohor di medsos.
“Konyolnya luar biasa. Saya sampai bingung harus marah atau ketawa ya, “ kata Novel kepada media.
Reaksi publik yang muncul menunjukkan kemarahan sekaligus sikap frustrasi terhadap proses penegakan hukum di negeri ini.
Mereka tambah kesal ketika mendapati para aparat penegak hukum rendahan, sekelas Fedrik gaya hidupnya sangat woowwww. Di luar batas kewajaran.
Sebagai ASN dengan golongan IIIC, harta kekayaan yang dimilikinya juga membuat tercengang.
Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada tahun 2018 diketahui hartanya sebesar Rp 5.8 miliar. Kendaraan yang dimiliki cukup banyak. Salah satunya sedan kelas atas merek Lexus.
Peneliti Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana minta agar Fedrik menjelaskan asal usul harta kekayaannya kepada publik. Sebab tak sesuai dengan masa kerja dan gajinya sebagai ASN.
Jadilah Fedrik sasaran kemarahan dan bullying orang sak-Indonesia.
Barangkali banyak yang lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa seorang jaksa tidak mandiri dalam mengajukan tuntutan. Tidak bisa semaunya sendiri.
Ada sebuah prosedur di Kejaksaan yang disebut dengan rencana penuntutan (rentut).
Sebelum menyampaikan tuntutan, JPU menyampaikan rentut secara berjenjang ke atasannya. Untuk kasus-kasus yang menarik perhatian publik, rentutnya sampai ke meja Jaksa Agung.
Kasus sekelas Novel Baswedan yang sudah bertahun-tahun menyita perhatian publik domestik maupun internasional, rasanya tidak mungkin diserahkan begitu saja tuntutannya kepada Fedrik Dkk.
Atasan Fedrik mulai dari Kepala Kejari Jakut sampai Jaksa Agung patut diduga mendapat rentutnya. Mereka bisa mengubah, menambah, bahkan mengurangi sebuah tuntutan.
Jaksa Agung Abdurahman Saleh (2004-2007) pernah mengubah rentut dari hukuman mati menjadi bebas.
Seorang ibu di Bandung bernama Aniq Qoriah dituntut hukuman mati karena membunuh tiga orang anaknya.
Arman —begitu dia biasa dipanggil— curiga ada gangguan kejiwaan pada Aniq. Dengan begitu dia tidak bisa dituntut pidana.
Instink Arman benar. Di persidangan dokter membuktikan Aniq mengalami gangguan jiwa. Pada 15 Januari 2007 Pengadilan Negeri Bandung membebaskannya.
Bisa disimpulkan Fedrik Adhar Dkk hanya menjalankan tugas. Namun mereka bisa menjadi pintu masuk bagi publik untuk memahami wajah aparat penegak hukum dan proses penegakan hukum di negeri kita.
Fedrik adalah perca kecil yang bila kita susun, akan menjadi sebuah mozaik besar. Setelah itu Anda bisa mengambil kesimpulan sendiri.
So…Mau jengkel, marah, kasihan, iba, atau malah iri dengan Jaksa Fedrik?
Selamat datang di negeri #tidaksengajahhhh. End
Penulis Wartawan Senior