Jam Dinding, Seprai dan Kacang Rebus dari Eyang Habibie

Oleh Hersubeno Arief

Jakarta, FNN - Suatu hari pada awal tahun 1999 bersama beberapa orang wartawan, kami diterima audiensi oleh Presiden BJ Habibie. Saat itu hiruk pikuk reformasi mulai mereda. Belum muncul isu referendum Timor-Timur.

Ruang kerja Pak Habibie di pojok kanan Gedung Bina Graha, di Jalan Veteran, Jakarta. Suasananya terasa sangat informal. Berbeda jauh dengan masa-masa Presiden Soeharto.

Pada masa Pak Harto, aura Bina Graha — juga menjadi kantor presiden— dan komplek istana secara keseluruhan, terasa sedikit angker, penuh wibawa. Apalagi bila bertemu langsung dengan Pak Harto.

Aura itu sangat terasa bagi siapapun yang pernah datang ke istana. Bahkan bagi kami wartawan kepresidenan yang sehari-hari mangkal di sana.

Pak Habibie menyambut kami dengan santai. Mengenakan jas warna coklat susu, kotak-kotak dengan garis kecil. Beliau mempersilakan duduk.

Sambil duduk di belakang meja kepresidenan, beliau menawarkan kacang rebus. “Ayo dik, ambil,” katanya sambil menyodorkan piring kacang rebus yang dimakannya.

Panggilan “dik” biasa digunakan ketika menyapa wartawan. “Tulis yang bagus ya dik,” begitu biasanya pesannya seusai wawancara.

Di meja kerja Pak Habibie nampak penganan lain berupa rebusan pisang, ubi jalar, dan singkong rebus.

Makanan sangat sederhana, lokal Indonesia itu menjadi penganan yang ada sejak masa Pak Harto.

Jangan dibayangkan makananan di istana berupa menu mewah.

Sayur lodeh adalah satu menu favorit di istana. Sejumlah wartawan senior secara bercanda menyatakan, sayur lodeh buatan koki istana, merupakan sayur lodeh ter-enak sedunia!

Kembali ke Pak Habibie. Sikap rileks, informal menjadi ciri khas dari beliau. Tidak berubah. Bahkan ketika sudah menjadi Presiden RI. Yang sedikit berubah adalah protokoler kepresidenan. Itu pun sering dilanggarnya.

Sebelum menjadi Wapres dan kemudian Presiden, di kalangan wartawan yang ngepos di Kantor Menristek/Kepala BPPT, BJ Habibie dikenal sebagai pribadi yang cair.

Satu hal lagi yang menjadi ciri khas Pak Habibie adalah rajin menghadiri undangan. Sampai ke dalam gang, kalau ada undangan dari wartawan BPPT yang menikah, Pak Habibie dan Bu Ainun akan menyempatkan hadir.

Kado yang diberikan beliau juga sangat khas. “Kalau tidak jam dinding, pasti seprai,” kenang mereka sambil tertawa.

Pak Habibie juga sangat ramah dan rajin menyapa. Dengan beberapa wartawan yang sudah dikenalnya secara dekat, beliau tidak segan menyapa dengan meneriakkan nama dari kejauhan. Layaknya seorang sahabat dekat. Tidak jaim.

Pak Habibie juga dikenal sebagai orang gampang iba. Pagi hari ketika pak Habibie tiba di kantornya, para karyawan berderet menyambutnya.

Biasanya mereka menyampaikan keluh kesahnya. Mulai dari masalah biaya anak sekolah, sampai mertua yang sakit.

Para ajudan di belakang biasanya membawa koper berwarna coklat dan hitam. Salah satunya berisi uang dolar.

Mereka yang punya kebutuhannya cukup besar dan beruntung, biasanya akan diberi uang dalam bentuk dolar.

Hanya saja Pak Habibie punya satu “kelemahan.” Jangan pernah menunjukkan sebuah jam tangan yang belum dimilikinya.

Dia akan berusaha sekuat tenaga mencarinya. Beliau memang dikenal sebagai penyuka jam tangan, juga kolektor mobil klasik.

Salah satu mobil favoritnya adalah mobil klasik Mercedes-Benz 300 SL Coupe Gullwing.

Mobil buatan tahun 1950an itu didapatkan dengan cara yang unik. Sudah menjadi barang rongsokan di hutan Jambi. Tersangkut di sebuah pohon.

Pribadi yang cair, tidak jaim dan senang silaturahmi adalah ciri khas yang melekat pada Pak Habibie. Beliau juga terkesan tidak peduli dengan jabatan, termasuk sebagai presiden.

Ketika anggota MPR menjegalnya. Menolak pidato pertanggungjawabannya, padahal belum dibacakan. Pak Habibie juga menanggapinya dengan rileks.

Beliau tetap hadir ke Gedung MPR-DPR ketika Gus Dur dan Megawati dilantik menjadi presiden dan wapres. Kepada para pendukungnya yang sangat kecewa, Habibie menyerukan agar mendukung pemerintahan yang baru.

Setelah tidak menjadi presiden, Pak Habibie masih terus menjalin silaturahmi dengan para presiden penggantinya. Ketika Megawati menjadi presiden, sampai SBY dan Jokowi, Habibie masih sering bertemu.

Beliau dengan santai selalu hadir pada acara-cara kenegaraan, terutama pada peringatan HUT kemerdekaan RI 17 Agustus. Satu hal yang tidak bisa dilakukan Pak Habibie adalah bertemu mentornya, orang yang membesarkannya: Pak Harto.

Beliau dilarang bertemu. Hal itu menjadi kesedihan tersendiri baginya.

Pak Habibie juga rajin takziah, melayat ketika ada tokoh atau orang yang dikenalnya wafat.

Ketika Haji Roosniah Bakrie ibunda pengusaha nasional Aburizal Bakrie wafat, 20 Maret 2012, Pak Habibie mengantarnya sampai ke tepi liang lahat.

Dengan usia yang sudah sepuh (76) Pak Habibie duduk di sebuah kursi. Saking padatnya pelayat, banyak yang tanpa sadar berdiri berdesakan di depan Pak Habibie.

Pantat (maaf) para pelayat tepat berada di depan mata Pak Habibie. Beliau tetap duduk dengan tenang. Anehnya ajudan beliau hanya membiarkan. Mungkin mereka tidak menyadarinya.

Dengan sopan saya meminta mereka untuk minggir. Bagaimanapun Pak Habibie adalah tokoh sepuh dan pernah menjadi Presiden RI. Harus tetap dihormati.

(Bapak demokrasi Indonesia)

Di luar kepribadiannya yang unik dan menarik, bagi aktivis demokrasi yang jujur, Pak Habibie akan dikenang sebagai peletak demokrasi Indonesia dan kebebasan pers. Para tahanan politik dibebaskan.

Pada masa beliau lah UU Pemilu dilahirkan. 7 Juni 1999 digelar pemilu pertama setelah era Reformasi. Sebuah pemilu yang dinilai sangat demokratis setelah Pemilu 1955.

Pada masa Pak Habibie, keran kebebasan pers dibuka. Melalui Menteri Penerangan Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah lembaga SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dicabut.

SIUPP merupakan barang yang menakutkan di masa Orde Baru. Dengan pembatalan/pencabutan SIUPP, penerbitan sebuah media dihentikan alias dibreidel.

Media bebas mengeritik pemerintah. Ironisnya justru saat ini kebebasan pers mengalami kemunduran. Pers banyak yang menghamba menjadi alat kekuasaan pemerintah.

Di luar beberapa catatan itu, satu hal yang tak boleh dilupakan dari pria yang belakangan lebih senang dipanggil Eyang, adalah Referendum Timtim.

Pada masa pemerintahan Habibie, Timtim lepas dari pangkuan Indonesia. Lepasnya provinsi paling bontot itu dijadikan alasan para lawan politiknya untuk menjegal Habibie.

Dengan latar belakangnya, besar dan tumbuh dalam alam demokrasi di negara Barat, keputusannya melaksanakan referendum di Timtim bisa dipahami.

Kebebasan menentukan nasib sendiri sebuah bangsa seperti Timtim, bagi seorang Habibie adalah salah satu bentuk penghormatan atas HAM dan demokrasi.

Kita boleh tidak sepakat dengan pilihan dan sikapnya. Selalu ada sudut pandang yang berbeda, setiap kali kita menilai seorang tokoh besar, termasuk kepada Eyang Habibie.

Tak lama setelah adzan maghrib berkumandang dari masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu sore (11/9) pukul 18.03, Eyang Habibie wafat dalam usia 83 tahun. Beliau dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.

Mari kita kenang, dan tauladani hal-hal yang baik dari beliau.

Selamat jalan Eyang Habibie. Allohuma firlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fuanhu. Insya Allah husnul khotimah.

Kami semua tinggal menunggu giliran. Insya Allah akan menyusulmu. End

626

Related Post