Jokowi Bicara Radikalisme

Negara hukum demokratis, mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat secara jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini.

Oleh Margarito Kamis

Jakarta, FNN - Pemerintah dimanapun selalu memiliki perangkat resmi dan tidak resmi. Tugasnya, memonitor, mengumpulkan, menganalisis setiap inci realitas bangsanya. Setelah itu memproyeksi realitas baru. Apa saja yang dilakukan ke depan.

Pemerintahan Jokowi juga memiliknya. Berbekal itu atau tidak, Presiden Jokowi membuat pernyataan tak terukur pada dua kesempatan berbeda. Pernyataan itu dalam intinya, tentang Kementerian Agama (Kemenag) mengurusi radikalisme dan intoleransi.

Dikemukakan pertama kali pada saat pelantikan menteri-menterinya. Diulang lagi pada hari berikutnya pada saat rapat perdana kabinetnya. Katanya sesaat setelah pelantikan menteri “ke-9 Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Ini urusan (Menag) berkaitan dengan radikalisme, ekonomi ummat, industri halal. Saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau (CNNIndonesia.com, 24/10).

Sehari setelah itu, Presiden menyatakan kembali dalam rapat perdana kabinet. Kata Presiden, “kita ingin berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi, betul-betul secara kongkrit bisa dilakukan oleh Kementerian Agama”.

Dipilihnya Jendral (Purn) Fachrul Razi menjadi menteri agama, menurut Presiden karena mantan wakil panglima TNI 1999-2000 itu memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah radikalisme, yang saat ini tengah menjadi keresahan di publik (Wowkeren, 25/10).”

Insyaa Allah

Menjadi politisi bukan pekerjaan rumit. Sejauh tersedia bakat untuk itu. Misalnya, bersedia menanggung cercaan, hinaan dan sejenisnya. Toh politik tidak seluruhnya berputar pada kemampuan membuat hal-hal yang tidak mungkin berubah menjadi mungkin. Begitu pula sebaliknya. Politik malah lebih sering terlihat sebagai seni membuat konflik berputar dalam kendali. Pada garis kehendak yang ditetapkan.

Apa yang Jokowi masksudkan radikalisme dan intoleran itu? Dengan pemahaman apa ia memasuki isu radikalisme dan intoleransi tersebut? Tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi apapun itu Presiden Jokowi telah memperlihatkan relasi determinan agama.

Determinan yang terlihat mengarah kepada Islam. Karena dengan radikalisme dan intoleransi itulah, yang sekarang mengakibatkan penyataan membahana membelah realitas kemesraan tradisional Nahdatul Ulama (NU) dengan Muhammadiah dengan kementerian ini.

Pak Din, professor pintar dan berintegritas top ini pun menanggapinya. Kata Pak Din, seharusnya Kemenag bukan memberantas hal semacam itu. Kemenag memiliki peranan yang jauh lebih luas untuk membangun moralitas bangsa. Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya di seputaran agama. Radikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan.

Lebih jauh, disini terlihat Pak Din menempatkan, membawa isu itu ke dalam alam konstitusionalisme. Pak Din menguraikan dalam nada kritis bahwa “kenapa tidak boleh disebut radikalisme ekonomi ? Yang melakukan pelarian dan kekerasan pemodalan? Yang menimbulkan kesenjangan ekonomi, jurang antara yang kaya dan miskin.

Dalam penilaian kritisnya, Pak Din menamakan radikalisme ekonomi. Kenapa tidak radikalisme politik? Kata radikalisme itu agak “tendensius” tanda petik dari saya. Karena lebih banyak ditekankan kepada umat Islam. (Teropongsenayan, 24/10).

Jalan Pak Din memang bukan jalan Kiyai Robikin, salah seorang fungsionaris PB NU. Kiyai Robikin memperlihatkan kemiripan pandangan NU dengan Presiden mengenai bahaya radikalisme. Tetapi kemiripan ini tidak cukup membuat NU puas.

Setidaknya kiyai-kiyai NU di daerah tidak nyaman dengan pernyataan Presiden masalah radikalisme. Karena bukan orang NU itulah menurut Kiyai Robikin, banyak kiyai-kiyai di daerah yang menyatakan protesnya (Kumparan, 24/10).

Kiyai Robikin tak mungkin memasuki area ini tanpa alasan. Tetapi Jokowi, entah karena keluhan NU atau bukan, sehari setelah pengangkatan Menteri Agama, mengangkat KH Zainut Tauhid Sa’adi menjadi Wakil Menteri Agama. Kiyai Zainut dikenal luas memiliki jejak positif dalam urusan keummatan. Beliau tahu seluk-beluk perasaan ummat Islam.

Kapasitasnya yang hebat memudahkan Pak Wamen menemukan cara pemecahannya. Pak Wamen sontak menyodorkan gagasan silaturrahim dengan para kiyai dan Ormas keagamaan. Menurutnya, ini harus sudah terlaksana sebelum benar-benar merancang program dan kegiatan kementerian ini.

Bisa memunculkan penilain yang membelah di mayarakat. Sebab (isu radikalisme), dalam penilaiannya bisa menyebabkan kontroversi di masyarakat. Menguraikannya menjadi pekerjaan yang harus segera dilakukan oleh Kemenag (Republika.co.id, 25/10).

Pak Wamen benar. Terminologi radikalisme dan intoleransi itu sangat tidak jelas. Apa konsepnya? Apa objeknya? Apa bentuknya, dan apa unsurnya? Serba tak jelas parameternya. Terlihat sejauh ini hanya diserahkan ke dunia politik.

Pak Wamen juga benar, jika silaturrahim adalah wahana terindah untuk menghidupkan rasa sebagai sesama hamba Allah. Dan saya cukup yakin Pak Jendral Fachrul juga menyukai silaturrahim di lintasan yang indah ini nantinya. Insyaa Allah.

Waktu Menjadi Hakim

Mengandalkan hukuman dalam merespon tindak-tanduk radikalisme dan intoleransi, sejauh ini bukan pilihan utama Jokowi. Apalagi belom jelas detail konsep itu secara hokum. Walaupun lebih dipertautkan dengan agama,khususnya Islam. Namun yang bisa dikatakan Pak Presiden tampkanya lebih memilih komunikasi dan silaturahmi. Pak Presiden terlihat cukup jelas lebih memerlukan langkah non hukum.

Tetapi justru disitulah letak soalnya. Dimana letak soalnya? Negara hukum demokratis mengharuskan kejelasan yang sejelas-jelasnya setiap terminologi atau konsep yang dijadikan sebagai basis tindakan pemerintahan. Konsep dan detailnya yang tidak jelas. Tetapi dijadikan sebagai basis kebijakan negara, maka harus dikatakan sama dengan main politik.

Negara hukum demokratis mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat secara jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini.

Membuat jelas konsep radikalisme dan intoleransi adalah cara konstitusional memotong, membelenggu, mengisolasi tindakan main lebel, main tuduh. Presiden Jokowi, saya duga, jauh dari kehendak melebel Islam dengan radikalisme dan intoleransi. Saya percaya itu, lebih dari yang bisa dibayangkan. Tetapi bukan disitu soalnya.

Soalnya tanpa konsep yang jelas, terukur pada detail dan unsur-unsurnya. Tetapi menjadikannya sebagai isu utama tindakan pemerintahan, sama dengan menyatakan telah ada radikalisme dan intoleransi. Hanya berdasarkan defenisi Presiden. Sebaik-baiknya niat Presiden memberangus radikalisme, Presiden juga dituntut untuk memiliki pijakan terukur secara hukum.

Negara hukum demokratis, sekali lagi, mutlak mengharuskan konsep-konsep radikalisme dan intoleransi dirumuskan terlebih dahulu dalam hukum. Rumusannya, harus selaras dengan nalar keadilan. Harus terukur dalam semua aspek detailnya. Juga harus selaras dengan nilai-nilai hebat, agung, fundamental yang melembaga dalam kearifan-kearifan bangsa yang hebat ini.

Negara hukum demokratis, juga mengharuskan diciptakannya lingkungan yang civilized. Bebas dari rasa takut, apapun jenisnya. Tetapi ketakutan mendadak yang tak terukur, tidak bisa diambil dan dijadikan basis kebijakan hukum. Ketakutan mendadak dan tak terukur, hanya menghadirkan legitimasi murahan.

Semua itu, karena derajat kesesuaiannya tidak kokoh. Jangan lupa legitimasi ditunjuk konstitusionalisme sebagai standar utama membuat hukum. Juga standar utama menciptakan daya adaptasi tindakan pemerintahan dengan semua nilai yang hebat dari bangsa ini.

Jokowi jelas tidak tendensius. Tetapi agak sulit untuk tak mengatakan Jokowi terlihat membelakangi perspektif konstitusionalisme sehat. Mengapa? Pernyataannya terlihat kongklusif. Juga muncul di tengah ketiadaan konsep hukum tentang radikalisme dan intoleransi. Bukan tak bisa, tetapi bukan itu cara mengendorsnya. Apalagi rasio yang menyertainya begitu tipis.

Cara yang dipilih itu, entah dengan atau tanpa detail pertimbangan pada semua aspeknya, punya konsekuensi. Pak Jokowi terlihat membawa dirinya menjadi orang tak terlatih mengenal kearifan konstitusionalisme sehat mengurus pemerintahan. Bicara pendek memang bisa, tapi tak menyertakan argumentasi konstitusionalisme sehat adalah perkara mengerikan.

Apakah Presiden telah cukup yakin DPR yang telah menjelma menjadi mahluk paling bijaksana menggunakan kewenangan pengawasan konstitusionalnya? Sehingga DPR juga tak memperhatikan detail konsekuensi pernyataannya? Entahlah.

Presiden, boleh jadi memiliki keyakinan bahwa DPR telah lebih dewasa. DPR bisa membawa diri memahami pemerintahan Jokowi saat ini. Boleh jadi juga DPR untuk alasan itu, selalu dapat menerima semua tindakan pemerintahan Pak Presiden.

Lebih jauh Presiden mungkin telah cukup yakin berada dan berurusan dengan hanya satu realitas. Bukan dua realitas yang pernah terbentang begitu lebar. Yang sempat teridentifikasi secara terburu-buru, sehingga hampir membelah bangsa ini. Realitas tunggal itu, semoga beralasan. Lebih dari itu, mungkin menjadi modal untuk menggerakan lebih cepat, tetapi terukur. Bukan liar pemerintahan ini.

Tetapi sehebat itu sekalipun, Presiden diminta untuk bijaksana mengelola pemerintahannya. Presiden, untuk kepentingan kearifan pemerintahan konstitusional, tak boleh terlihat menjadi pemicu tindak-tanduk rasisme, intoleransi dan radikalisme dalam semua dimensinya. Itu jelas tidak boleh. Karena itu merupakan hal terhebat untuk segala zaman.

Presiden juga tak boleh menjadi pemicu kontroversi, apapun isunya. Agar terhindari dari semua itu dan tidak ternilai tendensius, indah sekali bila Presiden bergegas merumuskan konsep detail radikalisme dan intoleransi itu. Mari Presiden. Kami semuya menantikannya. Waktu yang akan datang menjadi hakim, memberi kualifikasi pada dirinya sebagai Presiden untuk semua itu.

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Univesrsitas Khairun Ternate

515

Related Post