Jokowi Menjadi Jadi

Oleh Muhammad Chirzin | Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 

SEBAGAI petugas partai, Jokowi meminta kepada Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Sukarnoputri, untuk menjadi presiden tiga periode. Beberapa Menteri Jokowi mempromosikan keinginan Jokowi untuk menjadi presiden sekali lagi dengan dalih rakyat menghendaki. Permintaan tersebut ditolak Megawati demi menegakkan konstitusi.   

Ketika harapan untuk menjadi presiden tiga periode tertutup para pendukung Jokowi mengalihkan agenda memperpanjang masa jabatannya. Agenda ini pun kandas pula. Jokowi mengambil langkah seolah mendukung Ganjar Pranowo untuk menjadi penerus kepemimpinan nasional sebagai presiden, sekaligus melanjutkan program-programnya. 

Pada kesempatan lain Jokowi memberikan sinyal dukungan kepada Prabowo Subianto untuk menjadi bakal calon presiden. Barangkali ide Jokowi sejalan dengan kemauan para pengusaha maupun oligarki agar peserta pemilihan presiden dua pasang calon saja, dan itu tidak lain adalah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto beserta bakal calon wakil presiden masing-masing. 

Megawati mendadak memutuskan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden dari PDI Perjuangan. Jokowi pun mengambil sikap cawe-cawe dalam urusan pemilihan presiden yang akan datang. Netizen menduga-duga macam apa cawe-cawe Jokowi. Walaupun Jokowi menyatakan akan cawe-cawe untuk mensukseskan pemilihan presiden, sebagian rakyat terdoktrin ungkapan, bahwa memahami ucapan Jokowi itu dengan yang sebaliknya.

Bagi Jokowi peluang yang tersisa untuk melanggengkan kekuasaan dinastinya ialah dengan mempromosikan anaknya menjadi wakil presiden. Beberapa manuver politik dilakukan untuk mewujudkan keinginan itu. Setelah PDIP memasangkan Mahfud MD sebagai bakal calon wakil presiden Ganjar Pranowo, Jokowi mengatur siasat bagaimana caranya supaya Gibran Rakabuming Raka, sekalipun masih berusia 36 tahun, bisa dipromosikan untuk menjadi bakal calon wakil presiden. Munculllah beberapa permohonan, agar batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden diturunkan, dari 40 tahun menjadi 35 tahun. 

Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Anwar Usman, paman Gibran akhirnya menerima opsi untuk calon presiden dan wakil presiden yang belum berusia 40 tahun dengan syarat sudah pernah/sedang memegang jabatan melalui pemilihan sebagai kepala daerah. Dari sinilah gempa MK bermula. Para pakar, akademisi maupun praktisi di bidang hukum bersuara lantang atas keputusan yang melanggar konstitusi, dan adanya konflik kepentingan.

Di tengah hiruk pikuk keputusan kontroversial MK yang memungkinkan Gibran melenggang menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto, Presiden Jojowi mengundang tiga bakal calon presiden, Prabowo, Ganjar, dan Anies untuk makan siang di istana. Komentar-komentar pun bertebaran di sana dan di sini, bahwa makan siang bersama ketiga bakal calon presiden tersebut tidak lain adalah untuk membangun opini bahwa Presiden Jokowi netral dalam pencapresan mendatang. Sebagian berpendapat itu cuma basa-basi. 

Presiden Joko Widodo mengumpulkan ratusan penjabat kepada daerah Gubernur, Bupati, dan Walikota di Istana Kepresidenan pada Senin (30/10). Dalam pertemuan itu salah satu arahan Jokowi meminta para penjabat kepala daerah untuk menjaga netralitas dalam perhelatan Pipres 2024. Namun, eks tim hukum Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu, Sirra Prayuna menduga kuat ada kepentingan politik pemenangan Pilpres dalam pengumpulan para Pj Kepala daerah tersebut.      

Dr. Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, menulis kata pengantar “Rubuhnya MK Kami” untuk buku Yance Arizona et al. 2023. Skandal Mahkamah Keluarga: Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai Batas Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden. Yogyakarta: Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM sebagai berikut.

Di antara sekian banyak Putusan MK yang pernah ada, inilah yang paling menimbulkan keriuhan. Sebabnya, bukan hanya karena publik membacanya aneh, tetapi juga karena para hakim sendiri, beberapa di antaranya yang meneriakkan keanehan tersebut. Keriuhan Putusan MK kali ini sebenarnya bagus untuk publik, yakni menjadi cermin untuk semua, bahkan untuk hakim MK bahwa betapa rusak wajah kita.  

Hal-hal yang aneh di dalam Putusan MK kali ini, pertama, MK tidak konsisten dengan legal standing. MK yang biasanya lebih ketat dengan legal standing, tiba-tiba menerima legal standing "hanya" dengan alasan pemohon adalah seorang pengagum Walikota Solo yang menurut pemohon telah memajukan daerah Solo, sehingga patut diperjuangkan untuk lebih memperjuangkan negeri ini melalui posisi presiden atau wakil presiden. 

Kedua, MK berdiri di atas kaki yang teramat rapuh. Hanya dengan membedakan antara penyelenggara negara dengan elected official. Ketatnya MK yang menolak mengesampingkan hal-hal yang berkaitan dengan open legal policy, tetiba MK berubah dengan mengabulkan dengan alasan elected official. 

Ketiga, inkonsistensi dari putusan-putusan sebelumnya. Semisal penguatan open legal policy yang dilakukan di putusan lain, tetiba menjadi hilang dan dengan gamblang dan sengaja, MK mengambil Putusan menerabas hal-hal yang seharusnya merupakan kewenangan pembentuk UU. 

Keempat, berkaitan dengan prinsip hukum, hal-hal yang berpotensi mengubah masa jabatan dan hal tertentu, harusnya dilakukan dengan cara menghindari kepentingan politiknya. Misalnya dengan memberlakukan di Pemilu berikutnya, bukan langsung pada pemilu saat ini. 

Putusan hakim tentu adalah putusan yang harus dihormati setelah dibacakan, tetapi bukan berarti tidak dapat dilakukan eksaminasi oleh publik. Eksaminasi ini sekaligus menjadi penanda kuat apakah memang ada alasan hukum yang memadai, atau ternyata hakim MK memang telah bersalin rupa menjadi para pemain politik. 

Jokowi soal Pemilu 2024: Kalau Senangnya yang Ndeso Kayak Saya, Gimana? (Reporter Daniel A. Fajri, Kamis 2 November 2023)

Jokowi jamin IKN Terus Dilanjutkan setelah Pemilu 2024 (Reporter Daniel A. Fajri, Kamis, 2 November 2023)

Tunggu trik Jokowi lagi! (*)

328

Related Post