Jokowi Terhenti Prabowo Serba Salah
Oleh Yarifai Mappeaty - Kolumnis
MESKI lebaran adalah momentum keagamaan, namun bukan masalah bagi Megawati Soekarno Putri untuk membuatnya menjadi momentum politik. Bagaimana tidak? Di saat mayoritas rakyat negeri ini sedang menikmati suasana ledul Fitri 1444 H, Megawati justeru membuat kejutan politik dengan mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDI-P.
Memang tidak boleh? Bukan begitu. Hanya saja, mengapa tak menunggu barang sehari dua hari, membiarkan dulu momen Iedul Fitri itu berlalu? Sehingga muncul kesan bahwa Megawati sedang berlomba untuk mendahului. Jika benar begitu, maka, Megawati dan PDI-P, kira-kira sedang berlomba dengan siapa?
Sinyalemen Denny Indrayana memberi kesan bahwa pengumuman pencapresan Ganjar tersebut, terjadi karena “tekanan” Jokowi, mungkin saja Denny benar. Namun ada spekulasi lain yang berkembang dan menyatakan sebaliknya. Bahwa Megawati melakukan itu untuk mendahului Jokowi dan Koalisi Besar-nya untuk mencegah paket Prabowo – Ganjar terbentuk.
Tetapi, eit, tunggu dulu. Mengapa Jokowi memaketkan Prabowo – Ganjar, bukannya Ganjar – Prabowo? Sebab dinilai tanpa dukungan PDI-P, Ganjar bukan apa-apa. Bahwa elektabilitas Ganjar dilaporkan selalu paling tinggi, itu suka-sukanya lembaga survei. Sebab terbukti, setelah paket Prabowo – Ganjar diwacanakan, muncul laporan survei yang menyebut elektabilitas Prabowo melampaui Ganjar. Lucu, bukan?
Masalahnya, jika paket Prabowo – Ganjar berhasil diwujudkan oleh Koalisi Besar Jokowi, maka pilihan yang tersedia bagi PDI-P menjadi terbatas. Misalnya, jika memilih bergabung dengan Koalisi Besar Jokowi, PDI-P harus menerima konsekuensi kehilangan “tanduk”, rela tak punya kuasa mengatur.
Sebaliknya, jika memilih tak bergabung, mau tak mau, PDI-P tetap harus mengusung paket Capres – Cawapres sendirian, sekadar memenuhi kewajiban konstitusi, tanpa ada keyakinan memenangkan kontestasi. Kedua pilihan yang tersedia benar-benar sangat tak menyenangkan bagi PDI-P.
Itu sebabnya, saya semula menilai bahwa gagasan Jokowi membentuk Koalisi Besar, sungguh brilian. Saya membayangkan Jokowi bermaksud hendak melempar dengan sebuah batu untuk membuat dua ekor burung terkapar sekaligus.
Pertama, sasaran utamanya tentu untuk menghentikan Anies. Hal itu bisa tercapai, meminjam istilah Denny Indrayana, jika Moeldoko berhasil “mencopet” Partai Demokrat. Maka niscaya partai berlambang mercy itu praktis berada dalam genggaman Jokowi. Dan, jika itu terjadi, maka, harapan Anies menjadi Capres, pun dipastikan pupus.
Kedua, untuk meruntuhkan “keangkuhan” seorang Megawati dan hegemoni PDIP. Tetapi ada pula yang membacanya sebagai upaya “balas dendam” Jokowi terhadap sikap Megawati yang menolak perpanjangan masa jabatan presiden 3 priode dan penundaan pemilu.
Bagi PDI-P, sebagai partai penguasa selama satu dekade terakhir, menjadi seekor banteng tanpa tanduk dalam Koalisi Besar Jokowi, tentu sangat menyakitkan. Tetapi sebaliknya, membiarkan Ganjar dimanfaatkan oleh pihak lain di luar sana, yang bisa memberi mudharat bagi PDI-P, juga bukan pilihan bijak.
Sementara itu, jika masalahnya adalah Ganjar dilihat sebagai ancaman bagi trah Soekarno di PDIP, sehingga Megawati enggan mencapreskannya, maka risikonya sama saja, apakah Ganjar berada di dalam atau di luar. Sebab saat berkuasa, baik sebagai presiden maupun wakil presiden, potensi ancaman itu tetap ada, selama Ganjar memang ada niat.
Menghadapai situasi pelik semacam itu, tak disangka Megawati dan PDI-P justeru membuat pilihan sendiri yang tak kalah brilian dan mematikan bagi rivalnya. Dengan mengesampingkan potensi ancaman Ganjar bagi eksistensi trah Soekarno di PDI-P, Megawati pada akhirnya memutuskan men-take over Ganjar dari tangan Jokowi. Konstelasi politik nasional pun berubah seketika, dan Koalisi Besar Jokowi menjadi berantakan.
Di sini, diakui atau tidak, Megawati kembali menghentikan Jokowi setelah melakukan hal yang sama sewaktu menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu digulirkan. Penolakan Megawati itulah membuat penulis sampai cenderung mengamini pendapat bahwa pencapresan Ganjar oleh PDI-P, bukan karena tekanan Jokowi.
Bahkan publik menilai kalau Megawati menghentikan Jokowi agar tak perlu “kepo” mengurusi Capres penggantinya. Hal senada pernah diserukan Hilmi R Ibrahim, Ketua Bidang Politik Partai Ummat, beberapa waktu lalu. Hemat penulis, sebaiknya memang begitu. Kekuasaan Jokowi yang tersisa dan makin renta itu, cukup diabdikan untuk memastikan Pilpres 2024 berjalan dengan jurdil.
Realitasnya, Megawati tidak hanya menghentikan Jokowi, tetapi juga membuat Prabowo serba salah. Jika memutuskan bergabung dengan PDI-P untuk mendukung Ganjar yang digadang-gadang berpasangan dengan Sandiaga, maka dari sisi konstribusi, dinilai tidak berarti. Sebab sama halnya, datang tak mencukupi, pergi juga tak mengurangi.
Ataukah Prabowo memilih tetap maju dengan berpasangan Airlangga Hartarto, misalnya? Sangat mungkin. Apalagi secara presidential threshold memenuhi syarat. Masalahnya, Prabowo tak punya lagi Jokowi sebagai sandaran. Sehingga peluang memenangkan kontestasi, dinilai kecil.
Pada situasi yang dilematis seperti ini, pilihan paling bijak bagi Prabowo adalah kembali ke asal, bergabung dengan Koalisi Perubahan mem-back up Anies. Jika ini dilakukan, maka puluhan juta bekas pendukungnya akan berurai air mata, seperti menyambut kembalinya si anak hilang.
Makassar, 28 April 2024