JPU Tuntut Hukuman Mati, Hakim Memvonis Hukuman 20 Tahun, Ada Apa?
Oleh Syafril Sjofyan - Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78
SIDANG PN Bale Endah Bandung, kasus pembunuhan sadis korban Letkol Purn. H. Mohammad Mubin oleh terdakwa Henry Hernando alias Aseng, yang terjadi di Lembang Bandung, pada (28/3) memasuki akhir sidang dengan pembacaan keputusan hakim.
Dikatakan sadis, penikaman dilakukan sebanyak 18 kali, saat korban berada di belakang setir mobil. Tentu korban tidak bisa melakukan perlawanan. Darah muncrat juga meciprati anak kecil (6 tajun) di sebelah korban. Anak majikan terdakwa yang sedang diantar kesekolah. Pada saat korban kesakitan karena ditusuk belasan kali, mobil pickup masih berusaha dimundurkan oleh korban. Terdakwa masih melakukan pengejaran. Semua aksi sadis tersebut terpotret melalui rekaman CCTV. Pembunuhan sadis gegara korban parkir mobil, dibelalang rumah (gudang) terdakwa/ orang tua terdakwa.
Dari fakta persidangan dan perlakuan sadis penikaman 18 kali di depan anak kecil menjadi pertimbangan Jaksa Penuntut Umum (JPU). KPU secara tegas menuntut hukuman mati. Pasal 340 KHUP terbukti, tuntutan subsidair tidak dibahas. Pada proses replik, JPU tetap kokoh dengan tuntutannya hukuman mati.
Majelis terdiri dari tiga hakim Vici Daniel Valentino (ketua), Nendi Rusnendi dan Catur Prasetyo, keputusannya, menyatakan terdakwa terbukti melakukan pembunuhan berencana pasal 340, hanya hukumannya diubah menjadi minimal 20 tahun. Pertimbangan hakim yang meringankan terdakwa di antaranya berumur 30 tahun masih bisa dibina.
Pertimbangan meringankan lainnya cukup “aneh” hakim memberikan perbandingan dengan kasus Sambo yang direncanakan lama. Begitu juga adanya pemberian kompensasi berupa uang dari keluarga terdakwa kepada keluarga korban dianggap hakim sebagai niat baik terdakwa dan merupakan pemberian maaf dari keluarga korban, dijadikan pertimbangan meringankan bagi hakim.
Wah murah sekali harga menghilangkan nyawa jika uang duka Rp. 35 juta dianggap meringankan perkara selesai. Sepertinya ini merupakan penghinaan. Keluarga yang diwakili Mutia, putri korban menyatakan kepada penulis akan mengembalikan uang duka tersebut. Pernah melalui Kuasa Hukum sudah ingin dikembalikan namun ditolak.
Lebih aneh hakim memperkuat dalilnya dengan mencuplik beberapa ayat-ayat Al Qur’an. Sepertinya Hakim mencari-cari dalil (manipulatif?) untuk memperkuat putusannya. Padahal jika hakim konsisten mengambil hukum Islam, tentang Qisas pada surat Al Baqarah 178 harus ada penyelesaian setimpal. Nyawa dengan nyawa, pengampunan jika keluarga korban mengampuni.
Akhir sidang para hakim tidak menoleh ke bangku pengunjung, dimana dua putri korban yang menanggis sedih. Sambil memeluk pigura besar foto ayah mereka. Sampai keluar kehalaman sidang kedua putri tersebut masih tidak bisa menahan tangisnya.
Menurut keluarga almarhum Letkol Moh. Mubin tetap menginginkan JPU melakukan proses banding. Harus ditegakkan keadilan yang se adil-adilnya. Ada tiga putri almarhum yang satu lagi masih kecil.
Banyak teman sejawat almarhum korban, yang selalu hadir dengan seragam putih. Didadanya tertulis Pandu Tidar. Topi bertuliskan AKABRI 82. Almarhum korban adalah teman seangkatan Jenderal Gatot Nurmantio dimasa pendidikan AKABRI (sekarang Akmil).
Wajah mereka para sejawat korban terlihat sangat kecewa dengan putusan hakim. Penulis sepakat dengan komentar Letjen Purn. Yayat Sudrajat, yang selalu hadir setiap sidang menyatakan jika Hakim membandingkan dengan kasus Sambo sangat tidak tepat, pembunuhan Letkol Mubin lebih sadis.
Dengan penikaman pisau korban lebih lama meregang nyawa kesakitan. Kasus Sambo korban ditembak dan langsung mati. Menurut JPU sesuai CCTV 18 kali penikaman, anehnya pembacaan pada keputusan hakim disebut 5 kali.
Jika konsisten hakim membandingkan dengan kasus Sambo, kenapa terdakwa tidak dihadirkan secara langsung dalam persidangan. Terdakwa selalu dihadirkan melalui online. Aneh.
Pada kasus Sambo semua yang meyaksikan pembunuhan semua menjadi terdakwa dan dihukum berat. Sementara dalam kasus Aseng sebagai terdakwa, pegawai dan bapak terdakwa yang menyaksikan bahkan melakukan “pembiaran” terjadinya pembunuhan sadis. Tidak dijadikan sebagai terdakwa. Hanya saksi.
Dari awal penyidikan memang sudah ada rekayasa di tingkat Polres Lembang, dikatakan adanya perkelahian penikaman dengan pisau dapur seakan spontan. Namun setelah rekan almarhun protes termasuk Ketua Umum PPAD Letjen Putr, Doni Murdano melakukan “desakan”, perkara ditarik ke Polda Jabar. Rekayasa terpatahkan. Tidak ada perkelahian. Pisaunya bukan pisau dapur tetapi pisau lipat otomatis yang sudah disiapkan awal.
Di samping banding yang diinginkan keluarga kepada JPU. Perlu “desakan” agar hakim berbuat adil dari berbagai lembaga seperti Kemenkumham, PPAD, Kodam dan rekan sejawat almarhum. Semoga keadilan didapatkan oleh keluarga almarhum. Al Fatiah buat Korban.
Bandung, 29 Maret 2023