Junior Tumilaar, Prajurit Rakyat Sebenarnya
Oleh Ady Amar *)
AKSI heroik Brigjen Junior Tumilaar, meski hanya menulis surat terbuka pada Kapolri, ia menerima konsekuensi dicopot dari jabatannya selaku Inspektur Komando Daerah Militer (Kodam) XIII/Merdeka. Saat ini ia "dibantarkan" sebagai Staf Khusus KSAD. Karena aksinya itu ia dianggap melanggar disiplin militer dan hukum pidana militer.
Sebagai militer aktif, aksi Brigjen Junior Tumilaar itu gegabah, sekalipun yang dilakukan itu hal manusiawi. Tetap ia dianggap melanggar, dan tidak mustahil diseret ke pengadilan militer. Dalam beberapa kesempatan wawancara di media, ia tetap lantang. Tidak sedikitpun ia gusar apalagi takut dengan ancaman hukuman yang menanti. Dengan terus tampil ke publik, itu hal yang sebenarnya tidak menguntungkan buatnya.
Ia sampaikan, bahwa aksinya menulis surat terbuka pada Kapolri, itu hal yang sudah dipikirkannya. Ia sadar akan konsekuensi yang bakal diterima. Ia melakukan pembelaan pada Babinsa, yang melindungi seorang warga yang berurusan dengan perusahaan pengembang, menurutnya itu memang satu keharusan.
Ari Tuheru, nama orang yang dilindungi Babinsa adalah orang kecil dan seorang yang buta huruf. Melihat itu, Brigjen Junior melakukan pendekatan sampai ke Kapolda Sulawesi Utara. Tapi tidak mendapat jawaban memadai. Maka surat terbuka dilayangkannya, dan geger.
Surat terbuka pada Kapolri, yang ditulis tangan oleh Junior Tumilaar, itu viral. Aksinya itu dianggap indisipliner, dan ia sadari konsekuensi yang akan didapat, tapi ia tetap berasumsi bahwa tugas tentara adalah membela rakyat. Disitulah nuraninya berbicara, dan siap menjemput risiko yang menanti. Terkadang nurani mampu mengalahkan pertimbangan akan sanksi yang bakal diterima.
Brigjen Junior Tumilaar karena aksinya itu akan menerima hukuman, dan ia siap menerimanya sebagai konsekuensi atas sikapnya. Setidaknya itu yang dikatakannya. Tapi bagi rakyat, terutama prajurit TNI, khususnya AD, ia justru jadi idola baru yang dibanggakan. Ia seolah menarik kesadaran yang hampir hilang, bahwa sejatinya tentara itu pembela rakyat. Hadir saat rakyat membutuhkan.
Petang kemarin (9 Oktober), di sebuah stasiun televisi swasta yang mewawancarainya, ia tampak emosional saat menerangkan upayanya membela rakyat kecil melawan korporasi pengembang. Hingga pecah tangisnya segala, tentu bukan tangis ketakutan sang jenderal. Tapi emosi yang tak tertahankan menyebabkan tangisan itu pecah. Mengadilinya di Pengadilan Militer, jika kasus ini diteruskan, tidak mustahil akan menyedot emosi penuh haru masyarakat luas yang dampaknya sulit bisa diprediksi, khususnya dikalangan internal militer.
Surat terbuka pada Kapolri, itu memang masuk kategori indisipliner, karena Brigjen Junior masih perwira militer aktif. Itu satu sebab. Tapi sebab lain dimunculkan, bahwa apa yang dilakukannya itu demi menjaga nama baik tentara, khususnya AD, untuk tetap membela dan membersamai rakyat. Itu yang melatarbelakangi tindakannya. Kasus ini akan jadi pelik, seolah pertarungan antara peraturan yang mesti diikuti dan membela kepentingan rakyat kecil, dan itu tuntutan nurani. Ini bagai pisau bermata dua.
Prajurit Rakyat
Junior Tumilaar dikenal sebagai jenderal yang amat sederhana. Di Bandung ia masih tinggal di rumah dinas AD di Geger Kalong, yang atap rumah dinas itu seperti sudah mau runtuh. Itu setidaknya yang disampaikan pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, dalam obrolan dengan jurnalis senior Hersubeno Arief, di Forum News Nerwork (FNN).
Ada lagi yang menarik dari apa yang disampaikan Bung Selamat Ginting, itu tentang latar belakang kemiliteran tokoh satu ini. Jenjang kepangkatan dari Letkol dan Kolonel, itu butuh waktu 20 tahun, itu waktu yang panjang. Dan 17 tahun ia bertugas sebagai Guru di TNI AD. Para perwira setingkat Kolonel yang ada saat ini sebagian adalah murid-murid yang pernah diajar beliau. Junior melanglang setidaknya di 6 Kodam, itu yang menyebabkan ia kaya pengalaman teritorial, dan itu bersentuhan dengan rakyat.
Saat ditanya, akan jadi apa ia setelah pensiun. Jawabnya, ingin jadi guru. Dan Junior Tumilaar ini memang intelek, punya pendidikan sampai program doktoral (S3), jurusan Hubungan Internasional, Universitas Pajajaran. Kuliah S3 nya sudah selesai, tapi untuk penelitian disertasi belum ia lakukan, itu karena ketiadaan biaya. Katanya, saya harus utamakan biaya kuliah anak-anak dulu. Begitu sederhananya jenderal satu ini, yang sepertinya itu hal mustahil masih ada di zaman penuh godaan ini.
Melihat sosoknya dengan pengabdian lebih dari 30 tahun di militer, menjadi tampak tidak adil jika nasib harus menyeretnya ke terali besi. Ia disangkakan melakukan pelanggaran pada Pasal 126 dan Pasal 103 (ayat 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedikitnya 4 tahun penjara, jika hanya Pasal 126 KUHPM, itu yang jadi acuan tuntutan.
Brigjen Junior Tumilaar, dalam surat terbukanya pada Kapolri, mengingatkan bahwa sebagai prajurit ia adalah prajurit rakyat. Dan ia mengajak Kapolri juga sebagai pelindung rakyat, dan bukan pelindung para pengembang. Narasi dalam suratnya itu lugas-tegas. Sebenarnya apa yang disampaikannya itu bukan sesuatu. Menjadi sesuatu bahkan mencengangkan, karena itu disampaikan perwira militer aktif, dan secara terbuka.
Waktu yang akan menentukan nasib Brigjen Junior Tumilaar itu. Ia akan "dimaafkan" atau justru diadili di Pengadilan Militer dan dipenjarakan. Tidak ada yang tahu sampai nasibnya diputuskan pada waktunya. Terkadang gelaran "pahlawan" diberikan sejarah pada saatnya, meski seseorang dianggap bersalah dan harus dipenjarakan. Wallahu a'lam. (*)
*) Kolumnis