Jurus "Pendekar Mabuk" Prabowo dan Isu "Penumpang Gelap"

Ada kelompok elit Gerindra yang main dua kaki untuk mendekatkan Prabowo dengan Megawati, serta menjauhkan Prabowo dari para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 sekaligus mencabut Prabowo dari umat Islam militan garis lurus. Mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi untuk melemahkan umat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme.

Oleh : A. Sofiyanto (Wartawan Senior)

Jakarta, FNN - Tampaknya, perilaku elit Partai Gerindra semakin membingungkan kawan dan lawan. Setelah Prabowo ujug-ujug melakukan jurus ‘pendekar mabuk’ dengan “pertemuan MRT dengan Jokowi” disusul “pertemuan nasi goreng bersama Megawati’ jelas membuat pentolan Gerindra ini mengecewakan pendukung militan capres 02 Prabowo-Sandi melawan capres 01 Jokowi-Maruf. Jurus pendekar mabuk yang sulit ditebak ke mana arah pukulannya, juga mengejutkan lawan politik Prabowo. Dalam sejarah politik di negeri ini, baru pertama terjadi rival politik yang sedang dalam persaingan memanas mendadak sontak berangkulan. Wajarlah jika pendukung militan 02 kaget dan kecewa berat. Pasalnya, mereka merasa capres 02 itu dikalahkan secara curang oleh kubu capres petahana dalam Pilpres 2019.

Untuk mendinginkan kemarahan pendukungnya, katanya Prabowo berjanji akan mendatangi mereka terutama emak-emak yang kecewa dengan merapatnya Prabowo ke Jokowi. Janji sowan ke pendukungnya belum dipenuhi Prabowo, kini malah elit Gerindra melempar rumor atau isu “penumpang gelap”. Sehingga malah membuat emak-emak, ulama “garis lurus” dan Alumni 212 sebagai pendukung militan Prabowo semakin kecewa. Adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco yang melontarkan isu bahwa ada ‘penumpang gelap” di barisan Prabowo-Sandi saat Pilpres 2019 yang mencoba memanfaatkan Prabowo untuk kepentingan mereka. Namun, menurut Dasco, Prabowo kemudian mengambil tindakan karena sadar telah dimanfaatkan, dan para penumpang gelap itu kemudian "gigit jari" karena Prabowo segera mengetahuinya dan tidak mau dimanfaatkan.

Yang bikin aneh, Dasco tak menyebut nama siapa saja sebenarnya orang, kelompok atau organisasi yang termasuk ke dalam penumpang gelap tersebut. Karuan saja pernyataan si Dasco ini bikin gaduh dan bikin saling curiga. Banyak yang bertanya siapa penumpang gelap sebenarnya, bahkan Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang sempat diperkirakan adalah pihak yang dimaksud Dasco langsung memberikan konfirmasi. Melalui Ketuanya Slamet Maarif, PA212 tidak merasa menjadi penumpang gelap seperti yang dimaksud elit Gerindra. "Jadi kami yakin yang dimaksud Gerindra bukan kalangan kita dan ulama," tepis Slamet Maarif kepada wartawan, Jumat (9/8/2019).

Apabila elit Gerindra itu hanya usil melontar isu tapi tidak menyebut siapa yang dimaksud, maka sebenarnya tidak ada penumpang gelap itu. Sebab, para pendukung militan Prabowo hanya bersemangat dan berjuang demi kehidupan masa depan bangsa ini agar tidak ada kecurangan, kejahatan politik dan ekonomi serta pembohongan dan pembodohan publik di negeri tercinta ini. Apakah politikus memang biasa ngeles (menghindar) pada saat terjepit mesti mencari “kambing hitam” atau ‘cari aman’ agar kepentingan pribadi dan kelompoknya tetap survive. Andai pun ada penumpang gelap, mestinya harus disingkirkan sejak awal Pilpres. Jangan seenak udelnya sendiri, dukungan dari para “penumpang gelap” itu dipakai tetapi setelah selesai pilpres disingkirkan dan dipermalukan pula.

Kalaupun yang dianggap pemumpang gelap itu misalnya massa militan yang melakukan aksi demo di depan Mahkamah Konstitusi (MK) saat sidang sengketa Pilpres 2019 yang dilarang/dicegah oleh Prabowo, maka itu juga tidak relevan. Pasalnya, yang memimpin demo tersebut adalah mantan ketua penasihat KPK Abdullah Hehamahua yang sudah tua dan merupakan orang jujur serta tidak gila jabatan. Dia hanya sekadar ingin menegakkan hukum dan menyingkirkan kecurangan di negeri ini. Jadi, tidak tepat kalau tokoh semacam Abdullah Hehamahua dicap sebagai “penumpang gelap”.

Kenyataan bagi pendukung militan capres 02 tentu sangat menyakitkan untuk menerima "kemenangan" yang diwarnai kecurangan. Pedih dan perih serta kecewa dan menyesal berjuang 10 bulan berjuang untuk capres 02 setelah melihat Prabowo merapat ke Jokowi. Maklum, para pejuang itu bertekad menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan di negeri ini. Bukan kecurangan, kebohongan dan kejahatan. Pendukungnya telah mengorbakan waktu, biaya, tenaga dan fikiran. Prabowo pun dianggap meremehkan pengorbanan emak-emak, serta mengesampingkan ulama yang ditangkap, diusir, berjuang untuk perubahan yang lebih baik bagi ummat dan bangsa dengan pemimpin yang mewujudkan adil dan makmur.

Sebaiknya, Prabowo dengan Gerindranya jangan melakukan ‘bunuh diri politik’. Yang jelas, jutaan emak-emak dan para pendukung militan 02 marah, protes dan kecewa berat serta ada pula yang menuduh Prabowo berkhianat. Karena mereka telah berkorban moril dan materiel bahkan ada korban nyawa saat selama 10 bulan berjuang memenangkan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Maka sangat wajar kalau pendukung militan Prabowo terutama emak-emak sangat marah kepada Prabowo setelah merasa kaget ibarat disambar petir tiba-tiba mendadak sontak terjadi "perselingkuhan" di MRT antara Prabowo dengan Jokowi. Mereka tidak pernah diajak bicara sebelumnya dan bahkan tidak diberikan penjelasan setelahnya oleh Prabowo.

Fakta telah terjadi, pertemuan Prabowo dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus disusul pertemuan dengan Megawati di Teuku Umar, dan dilanjutkan ketua umum Gerindra itu diundang oleh Megawati untuk menghadiri Kongres ke-5 PDIP di Bali pada Rabu (7/8). Dikabarkan pula, Prabowo ditawari oleh Megawati untuk siap bertarung kembali menjadi capres di Pilpres 2024. Sebenarnya tawaran dulu sudah pernah saat Prabowo bersedia menjadi cawapres pendamping Megawati di Pilpres 2009 dengan imbalan akan didukung jadi cawapres di Pilpres 2014. Namun imbalan yang tersirat dalam “Pernjanjian Batutulis” tersebut ternyata lewat karena PDI-P pimpinan Megawati mengusung Jokowi sebagai capres pada Pilpres 2014. Prabowo dikibuli ketua umum PDI-P? Karena itu, harus ada perjanjian hitam putih agar jangan sampai dikibuli kedua kalinya. Karena orang pintar bukan keledai.

Apakah pertemuan Prabowo - Megawati akan membawa koalisi baru PDI-P dan Gerindra sekaligus bagi-bagi jatah kursi menteri? Dalam silaturahmi ke kediaman Megawati di Teuku Umar yang bertajuk pertemuan makan nasi goreng itu, Prabowo mengaku tidak membahas bagi-bagi kursi jatah menteri ataupun negosiasi politik pasca Pilpres 2019. Meski Prabowo sempat bicara empat mata dengan Megawati dalam pertemuan tertutup. Mudah-mudahan Prabowo tidak bohong dan sikap keluguannya sama ketika capres 02 ini melayat Bu Ani (Alm) mengutip omongan SBY bahwa isterinya mendukung Prabowo di Pilpres 2019, hingga bikin SBY tersipu-sipu yang akhirnya “meralat” pernyataan Prabowo.

Yang terjadi sekarang, pasca pertemuan MRT Prabowo dengan Jokowi dilanjutkan dengan Megawati, telah memecah belah masing-masing kubu. Yakni, kubu pendukung Prabowo berantem sendiri di medsos, ada yang membela Prabowo dan ada yang mengecam Prabowo. Fatalnya pula, ada yang menuduh penumpang gelap terhadap sesama pendukung 02. Sedangkan koalisi Jokowi juga terpecah, setelah Prabowo ketemu Megawati langsung memporak-porandakan elit partai koalisi Jokowi hingga “berantem” sendiri, bahkan bersitegang rebutan kursi.

Ada pula rekaan sekaligus asumsi bahwa pertemuan Megawati dan Prabowo bakal memunculkan peta politik baru. Koalisi PDI-P yang mengandeng Gerindra bakal berhadapan dengan koalisi Nasdemnya Surya Paloh dengan partai-partai yang tidak setuju Gerindra masuk kabinet Jokowi. Yang jelas pertemuan Mega – Prabowo bikin kubu 01 bersitegang dan terancam retak. Pasalnya, Partai Nasdem melalui para elitnya menyatakan tidak setuju kalau Praowo bergabung di koalisi Jokowi. Inilah setidakntya menjadi alasan mengapa kubu Surya Paloh melakukan “pertemuan tandingan” terhadap pertemuan Mega-Prabowo. Maka berkumpullah di DPP Nasdem empat pimpinan partai di koalisi Jokowi, yaitu Ketum PKB Muhaimin, Ketum Golkar Airlangga, Plt Ketum PPP Suharso dan Ketum Nasdem Surya Paloh. Silakan berkilah dan berdalih segala macam, namun publik kadung menerka bahwa ini sebagai “pertemuan tandingan” terhadap pertemuan Teuku Umar.

Surya Paloh merasa terancam bahwa jatahnya akan dikikis, sehinnga berlagak main ancam pada mitra koalisi dengan berpura-pura akan mendaulat Anies Baswedan sebagai capres 2024. SBY yang selama ini dikenal sebagai musuh Megawati pun, juga terdepak. SBY dan Partai Demokrat terancam tidak akan diberi ruang untuk bermanuver. Harapan SBY untuk majukan anaknya, AHY di Pilpres 2024 pun menjadi mimpi. Maklum, ketua umum PDI-P tersebut tidak suka juga perngaruh SBY sangat besar terhadap Jokowi. Pasalnya, SBY yang diduga merekayasa Pilpres 2014 memenangkan Jokowi serta beruhasa memenangkan Jokowi lagi di Pilpres 2019. Jenderal Hendropriyono, Luhut, Moeldoko, Wiranto dan SBY yang selama ini terkesan “menjegal” Prabowo juga tak bisa berkutik lagi begitu mantan Danjen Kopassus itu bertemu Megawati. Apalagi, konon Nasdem tetap meminta jatah jabatan jaksa agung untuk kabinet mendatang jadi tidak tergapai.

Ada bagusnya jika kubu Nasdem pecah kongsi dengan PDI-P, agar tidak semua partai bergabun menjadi satu di koalisi pemerintahan Jokowi. Bagi rakyat, sangalah merugikan jika tidak ada oposisi yang kritis terhadap penguasa. Jika semua partai berada di satu sisi, yaitu sisi penguasa, maka negara ini hanyalah milik segelintir penguasa. Jika semua memilih ber-rekonsiliasi dan ogah jadi opoisisi, maka kediktatoran akan makin menguat. Jika tidak ada oposisi, lebih baik bikin saja Partai tunggal seperti di negeri komunis. Maka tidak perlu ada pemilu dan pilpres yang menelan duit rakyat lebih dari Rp25 triliun yang mestinya bisa digunakan sebagai modal untuk menampung jutaan pengangguran yang marak di negeri ini.

Dengan kumpul Megawati, memang ada hal yang menguntungkan bagi Prabowo meski mengecewakan pendukung militannya. Menguntungkan karena bisa membungkam Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang selama ini dikenal sebagai “the real presiden” serta pengaruh Surya Paloh dan Hendropriyono yang diduga sebagai elit pembisik Jokowi. Megawati merangkul Prabowo ke kubu 01 sekaligus memberikan isyarat ‘tendang out’ untuk LBP yang dianggap ‘ngrecoki’ pemerintahan Jokowi. Sejak Lebak Bulus, LBP paham bahwa dia akan dibuang dari lingkaran Jokowi. Setelah sadar dirinya bakal terdepak, LBP tiba-tiba melow dan mendadak ziarah kubur Benny Moerdani dan menulis “puisi” curhat di medsos. “Padahal biasanya, jangankan kuburan, akhirat pun berani dia buldozer,” sindir pegiat medsos, Hizbullah Ivan.

Kita belum tahu, apa ending dari jurus pendekar mabuk Prabowo sekarang ini. Apakah ini jurus Prabowo untuk bisa membalikkan hasil pilpres yang dinilai curang? Ataukah malah kepintaran pihak ‘lawan politik’ yang berhasil menaklukkan Prabowo dengan siasat yang dibungkus “pertemuan”? Semoga saja ini kepiawaian mantan Danjen Kopassus tersebut. Kalau tidak, maka akan membuat pendukung militanya di Pilpres 2019 semakin kecewa lemas. Tapi awas... Prabowo harus ingat nazarnya, lebih baik mati ketimbang khianati rakyat. Aspirasi rakyat itu di antaranya menuntaskan skandal BLBI, kasus penyiraman Novel Baswedan, stop utang luar negeri, berantas mafia impor, dan lain-lain. Kalau setelah melakukan “jurus mabuk” Prabowo tidak menghasilkan manfaat konkrit buat rakyat, maka Prabowo akan dihukum sosial dan Gerindra erancam jadi partai gurem di Pemilu 2024.

Prabowo juga harus ingat jangan mengabaikan 700 nyawa anggota KPPS yang meninggal di Pilpres 2019, ribuan yang sakit, sekitar 10 massa aksi 21-22 Mei yang tewas, ratusan terluka, dan puluhan lainnya dikabarkan “hilang”. Kabarnya, ada tawaran dari rezim petahana ataupun klaim dari kubu Prabowo bahwa “rekonsiliasi” dengan kubu Jokowi adalah untuk membebaskan para tahanan maupun ulama pendukungnya yang dikriminalisasi dan dimasukkan penjara. Apa benar? Hingga kini belum ada pengumuman siapa saja yang dibebaskan dari tahanan. Mereka masih mendekam di penjara, termasuk Kivlan Zen.

Dalam video pidato Prabowo yang diunggah Ketua DPP Partai Gerindra Iwan Sumule di akun Facebook pribadinya yang diunggah Jumat (12/7), Prabowo yang tampak sedang berbicara dengan para pendukungnya menegaskan bahwa Gerindra akan selalu ingat pada rakyat dan tidak pernah berkhianat. Dia juga memastikan bahwa dirinya akan memilih mati ketimbang harus mengkhianati perjuangan rakyat. “Saya katakan kepada kalian. Lebih baik Prabowo mati daripada berkhianat kepada rakyat Indonesia,” tegas Prabowo yang sontak mendapat tepuk tangan dari seisi gedung.

Bilamana koalisi dengan PDI-P, yang dilakukan Gerindra sekadar miripkan dengan kecenderungan PDI-P yang tidak ramah dengan kepentingan Islam, misalnya ada politikus PDI-P yang mengusulkan penghapusan pelajaran agama di sekolah, penolakan Perda syariah, dan lain-lain. Maka, Gerindra akan ditingalkan pemilih dari kalangan ummat Islam. Jadi, Gerindra harus tetap memperjuangkan aspirasi ulama karena dukungan mereka dalam meningkatkan perolehan suara Gerindra di Pemilu 2019 cukup signifikan. Prabowo juga harus mencegah jangan terjadi kriminalisasi ulama sekaligus mendorong kepulangan Habib Rizieq ke tanah air sesuai kedekatan Prabowo dengan pemimpin FPI tersebut jelang Pilpres.

Dan semoga saja tidak benar kabar yang mengungkapkan bahwa ada kelompok elit Gerindra yang main dua kaki untuk mendekatkan Prabowo dengan Megawati, serta menjauhkan Prabowo dari para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 sekaligus mencabut Prabowo dari umat Islam militan “garis lurus”. Perlu diwaspadai mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi. Diperkirakan, akan banyak kebijakan dan tindakan langsung Presiden yang ditujukan untuk melemahkan ummat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme. Apalagi, di era rezim ini ummat Islam merasa “dirugikan” alias tidak diuntungkan seperti di era-era sebelumnya.

Ada pendapat yang menganggap bahwa Prabowo akan memporak-porandakan kubu 01, setelah pertemuan dengan Jokowi dan kemudian mendatangi rumah Megawati. Benarkah Prabowo bakal berhasil mengacak-acak kubu 01 serta “menghancurkan” Jokowi dan para sekutunya? Lihat saja nanti! Jika benar, maka Prabowo adalah ahli strategi yang hebat. Tapi kalau ujung-ujungnya Jokowi tetap dilantik jadi presiden pada Oktober 2019 dan Gerindra ikut bergabung dengan partai koalisi pemerintah Jokowi serta cuma mendapat segelintir kursi menteri yang trivial, maka artinya jurus ‘pendekar mabuk’ Prabowo ternyata adalah jurus mabuk beneran. He...he...hee... (***)

768

Related Post