Kaesang Pangarep Anak Presiden Republik Indonesia: “Bangga Makan Babi?!”
Oleh Nazwar, S. Fil. I., M. Phil | Penulis Lepas Yogyakarta
Luka, perasaan tidak enak, atau kegagalan jenis apa terobati dengan senyum Kaesang. Di berbagai wilayah, daerah orang berjibaku, pontang-panting cari pekerjaan bahkan untuk sekedar makan, ada yang dikabarkan kelaparan karena kemiskinan, serta menyaksikan berbagai peristiwa kemanusiaan, ketika melihat media dan menyaksikan senyum Kaesang, semua seolah hilang berganti perasaan senang dan penuh kebahagiaan.
Bukan hendak merayu, atau langkah usaha memanfaatkan kesempatan, namun lebih tepatnya berusaha memahami kenyataan dengan kondisi yang penuh tantangan dan cobaan. Pengalaman di masa lalu menjadi cerminan untuk kehidupan saat ini dan rencana ke depan. Artinya, tidak ada yang bisa dielakkan dari apa yang disebut ketentuan Tuhan berupa ketetapan-ketetapan.
Berbagai tantangan dan cobaan yang disebutkan tadi, dirasa perlu untuk diterjemahkan secara rasional atau ke dalam ranah pemikiran literatif, sebab bisa rumit jika hanya mengandalkan emosi atau perasaan. Luapan yang keluar jika berasal dari hal negatif dapat menghasilkan hal-hal negatif pula dan kondisi yang tidak terkontrol bahkan cenderung rusak.
Kembali ke pembahasan tentang Kaesang, sedikit saja yang ingin dibahas kali ini, bagaimana selama ini dikenal, atau setidaknya yang ditampilkan media massa, menjadi penting tatkala sosok Kaesang tidak hanya sebagai putra seorang presiden Republik Indonesia namun juga sebagai pemimpin partai, meski tergolong baru dan kontroversi sebagai partai yang merepresentasi kaum muda.
Dalam berbagai ulasan, katakanlah jejak digital, Kaesang tidak seramai diberitakan layaknya selebriti atau artis yang berbagai aktivitasnya senantiasa tersorot kamera. Namun jelas Kaesang jauh lebih beruntung dibanding pesohor sebut saja berada pada level pamor di bawah politikus, seperti influencer.
Kaesang lebih beruntung, setidaknya dalam kaca mata karir dan kesempatan berkarir dibanding sebut Nama Lina Mukhrerjee misalnya. Jika Lina yang kini menghadapi kasus hukum, sebaliknya Kaesang menanjak tinggi. Meski mungkin keduanya tidak saling kenal, namun keduanya pernah mengalami cerita yang hampir serupa namun tidak sama.
Betul! Keduanya sama-sama pernah mengkonsumsi, maaf penulis sebutkan, yaitu terhadap daging yang secara hukum terlarang dan termasuk jarang dilanggar, makan daging babi.
Mari kita runut sekilas kejadian dan alasan yang melatarinya. Jika Lina Mukherjee memakan daging tersebut dengan cara penuh kontroversi, sedang Kaesang menjadikannya kontroversi. Lina secara sengaja makan dan disebarkan di media sosial, sedang Kaesang tidak sengaja karena sedang berada di negara lain dan tidak tahu bahwa itu daging yang terlarang untuk dimakan orang beriman, kemudian dia menyebarkan di media sosial.
Selanjutnya, jika Lina mengaku sengaja dengan sebab emosional berkaitan permasalahan keluarga, meluapkannya dengan melakukan hal tersebut. Sedang ketidaksengajaan karena tidak tahu itu daging apa, Kaesang kiranya menyebarkan kekhilafannya tersebut sebagai konsumsi publik agar dapat diambil pelajaran. Mungkin terdapat peringatan untuk bersikap hati-hati ketika sedang berada di negeri orang, termasuk perihal makanan, meski disayangkan bahwa Kaesang mengaku menikmatinya.
Apa pun itu, publik figur bukanlah posisi yang mudah dicapai serta penuh tantangan dan cobaan. Termasuk berada atau menempati posisi tersebut. Menjalani hidup sebagai publik figur juga tidak berati menjadikan segala sesuatu serba mudah dan enak, terdapat amanah dan tanggung jawab besar di belakangnya sebagai percontohan bagi orang banyak. Perbuatan bahkan berbagai hal tertentu tidak jarang menjadi sorotan dan berpengaruh pada masyarakat.
Maka selanjutnya dapat dipahami kiranya setiap orang memikul beban yang perlu dipertanggungjawabkan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi di masa mendatang. Ketika setiap keputusan dibuat, itu mempengaruhi hasil yang didapat.
Poin terakhir yang hendak penulis sampaikan, mungkin untuk direfleksikan bahwa Kebahagiaan, kenikmatan atau apa pun bahasanya yang berkaitan dengan proses, alasan ataupun tujuan tidak senantiasa identik dengan jumlah yang banyak, kepopuleran atau kekuasaan yang justru asal-asal dapat menjerumuskan ke jurang kerugian, kehinaan, serta kebinasaan, Allahu a’lam. (*)