Kasih Uang Habis Perkara (KUHP)

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI 

SELAIN omnibus law, KUHP begitu kental memberi isyarat kematian konstitusi dan demokrasi. Beraroma kapitalistik dan transaksional, pemerintah dan DPR kembali memunculkan kecenderungan tabiat korup, represif, diktator dan otoriter. Kedua institusi pelayan rakyat itu, secara telanjang mempertontonkan perannya berada dalam naungan oligarki baik korporasi maupun partai politik.

Hukum tak lagi memiliki kehormatan dan  kepercayaan di hadapan publik. Bukan sekedar tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Peraturan di negeri ini terlanjur dianggap sebagai alat untuk menghukum rakyat sekaligus sebagai strategi untuk mempertahankan jabatan. Konstitusi dan demokrasi direkayasa sedemikian rupa oleh penyelenggara negara berdasarkan nafsu, selera dan tujuan-tujuan kekuasaan.

Rakyat hanya bisa pasrah, menerima semua undang-undang dan ketentuan yang berlaku bahkan sekalipun produk politik dan hukum itu menindas dan menyengsarakan rakyat. Rakyat yang dengan segala  pengorbanannya melahirkan, membangun dan merawat NKRI, harus menerima kenyataan-kenyataan pahit menjadi rakyat dari sebuah negara gagal sebagai sebuah takdir.

Negara yang kaya dan subur tanahnya, tak mampu mengangkat derajat kehidupan rakyatnya sebagai sebuah bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Alih-alih menghadirkan kemakmuran dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rezim kekuasaan cenderung menguras kekayaan negara, memiskinkan kehidupan bangsa dan merendahkan harga diri bangsa sendiri dihadapan bangsa asing dan aseng. Praktek-praktek korupsi, jual beli hukum dan kebijakan pemerintahan yang terus merugikan dan terkadang mengancam keselamatan rakyat. Tak cukup melakukan pembelahan sosial yang beresiko pada degradasi sosial dan disintegrasi bangsa, pemerintah terus membawa rakyat, negara dan bangsa pada jurang kehancuran. Mengubur semua impian dan harapan seluruh rakyat akan negeri yang gemah ripah loh jinawi yang mengusung Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai entitas peradaban dari kebudayaan adiluhung sebuah bangsa.

Rakyat baru saja menyaksikan drama sidang paripurna pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU antara pemerintah dan DPR. Dengan esensi pembahasan yang menjadi supreme dari konstitusi sekaligus jantung kehidupan demokrasi. Rapat paripurna yang digelar pada tanggal 6 Desember 2022 di gedung Nusantara 2 komplek parlemen Senayan,  yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Seperti menghasilkan paduan suara secara nyaring menyetujui KUHP yang dinilai publik banyak mengandung pasal-pasal bertendensi  represi dan membuka peluang menghasilkan pemerintahan yang diktator dan otoriter. Meskipun ada protes keras dari perwakilan PKS, namun RKUHP tetap bulat disahkan. Keputusan DPR soal itu lebih kental sebagai tirani minoritas terhadap mayoritas terkait suara dan aspirasi rakyat yang ada di parlemen.

Dengan realitas hanya 18 anggota yang hadir langsung dan 285 anggota absen. Tercatat , hanya 18 anggota yang hadir secara fisik, 108 anggota secara virtual dan ijin sebanyak 164 anggota. Sementara sisanya 285 anggota absen. Sangat memprihatinkan, dianggap main-main dan terkesan begitu menyepelekan. Hanya dihadiri oleh 18 anggota secara fisik, wakil Ketua DPR sufmi Dasco menyatakan bahwa rapat telah memenuhi kuota forum alias kuorum. Pembahasan DPR terkesan memaksakan dan terburu-buru mengesahkan RKUHP. Tanpa mengindahkan aspirasi rakyat dan rasa keadilan masyarakat terhadap penegakkan hukum. KUHP terus mendapatkan protes dan penolakan yang luas dari rakyat. Pemerintah dan DPR melalui produk politik KUHP semakin meyakinkan rakyat bahwa di negeri ini demokrasi dan konstitusi telah mati.

Wajah hukum di Indonesia semakin tercoreng dan menyisakan potret hitam masa depan pembangunan politik demokrasi dan politik konstitusi. Rezim kekuasaan melalui pilar kekuatan  eksekutif, legislatif dan yudikatif cenderung dianggap telah melakukan konspirasi kejahatan terselubung yang menjauhkan proses penyelenggaraan negara dari pondasi dan fundamental implementasi Pancasila dan UUD 1945.

Dengan dalih telah melakukan reformasi hukum pidana yang diklaim sebagai warisan hukum kolonial. Pemerintah malah mengokohkan pemikiran dan tindakan yang persfektif hukumnya jauh lebih buruk da  terbelakang dari hukum kolonial sekalipun. Misalnya yang pada pasal- pasal penghinaan presiden, pemerintah dan DPR. Pasal-pasal karet itu dipastikan akan menghidupkan tabiat kekuasaan yang anti kritik dan anti demokrasi. Rakyat bukan hanya akan semakin terancam oleh hukum pidana karena bersikap kritis dan korektif terhadap pemerintah. Lebih dari itu rakyat bagai berhadapan dengan intimidasi, ancaman dan teror berupa hukum kekuasaan yang secara sepihak dan subyektif leluasa bisa dilakukan rezim.

Untuk kesekian kalinya, setelah mamaksakan omnibus law dan UU minerba. RKUHP yang pernah mendapatkan penolakan keras dari rakyat akhirnya sah diberlakukan. Pemerintah dan DPR pada akhirnya secara transparan dan faktual, telah membuktikan keberadaan dan eksistensinya telah berhasil mengamputasi kedaulatan rakyat. Konstitusi dengan pelbagai produk hukumnya termasuk KUHP begitu mengakomodir dan  memanjakan kepentingan bangsa asing dan aseng atas nama pembangunan dan investasi. Pemerintah dan DPR telah membuktikan kehadiran mereka tak bisa dilepaskan dari peran oligarki korporasi dan oligarki partai politik. Oligarki puas dan rakyat terhempas. Kepentingan negara dan bangsa kalah oleh irisan dan domain kapitalisme dan komunisme global. 

Politik hukum di Indonesia, semakin sulit menghindari sikap skeptis dan apriori publik dari harapan dan keinginan mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Rasanya rakyat tak bisa disalahkan ketika bicara dan mengeluh  soal hukum di republik ini. Jual beli hukum begitu marak, perdagangan hukum telah mewabah. Dari mulai rakyat kecil hingga petinggi negara, dari orang biasa hingga yang terhormat dan dari tingkat RT hingga ke DPR juga pada menteri dan presiden. Termasuk pada aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Hukum  terasa begitu kapitalistik dan transaksional. Bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dipahami dan berlaku. Namun seakan telah menjadi pameo di masyarakat, kenyataan yang ada rakyat hanya mengerti  Kasih Uang Habis Perkara (KUHP).(*)

749

Related Post