Kasus Gagal Bayar, Tanda-tanda Awal Krisis?

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior)

Jakarta, FNN - Krisis ekonomi mulai mengintip. Sejumlah perusahaan menunjukkan gejala gagal bayar. Kasus terbaru gagal bayar obligasi mendera perusahaan tekstil terbesar Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile. Anak usaha perusahaan tekstil ternama Duniatex Group ini dikabarkan gagal bayar bunga dan pokok surat utang senilai US$11 juta alias Rp154 miliar (estimasi kurs 14.015).

Terang saja, gagal bayar ini membuat bank ketar-ketir. Setidaknya ada 10 bank kreditur yang telah menyalurkan kredit kepada anak Duniatex itu. Pada 2018 saja, duit yang mengalir dari bank-bank itu ke perusahaan tersebut senilai Rp5,25 triliun dan US$362 juta. Delta bermaksud menerbitkan obligasi senilai US$300 juta.

Pada Rabu (24/7) Bloomberg melaporkan, lembaga pemeringkat S&P menurunkan peringkat utang Delta sebanyak 6 level hingga menyentuh skor CCC-, skor yang dapat dikatakan "junk" alias sampah. Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga menurunkan peringkat utang perusahaan menjadi B- pada Kamis pekan lalu.

Dalam catatan J.P Morgan, ada tiga bank plat merah yang turut menjadi kreditur anak perusahaan, salah satunya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., yang menjadi bank terbesar dalam penyaluran kredit kedua setelah Bank Exim pada 2018.

Sebelumnya potensi gagal bayar juga mengepung PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Perusahaan ini berpotensi default atas surat utang anak perusahaan senilai us$300 juta berikut dengan bunga.

Bukan hanya mereka saja yang begitu. PT Agung Podomoro Land Tbk. juga sedang panik. Pemain properti ini tengah berupaya memperoleh suntikan pendanaan dari pemegang saham untuk dapat melakukan pembayaran dari sejumlah kewajiban yang jatuh tempo pada tahun ini.

Selain Perjanjian Fasilitas I yang jatuh tempo Juni lalu, terdapat beberapa utang lainnya yang juga akan jatuh tempo di tahun ini antara lain obligasi sebesar Rp451 miliar yang jatuh tempo pada Desember 2019 dan obligasi senilai Rp99 miliar yang jatuh tempo pada bulan Maret 2020.

Selain menunggu suntikan dari pemegang saham, perusahaan juga tengah mencari pinjaman lainnya bersama dengan kreditor yang berasal dari Perjanjian Fasilitas II.

Pada 17 Juli pekan lalu, Fitch Ratings menurunkan rating perusahaan dan obligasi yang diterbitkan perseroan menjadi CCC- dari sebelumnya B- akibat risiko pendanaan ulang (refinancing) dan risiko likuiditas.

"Penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencananya mencari pendanaan pada Mei 2019 yang berniat digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp1,17 triliun," tulis rilis Direktur Fitch Ratings Singapore Pte Ltd Erlin Salim dalam risetnya.

Pintu Krisis

Fuad Bawazier menilai di banyak negara krisis ekonomi sering diawali dengan gagal bayar utang, baik utang negara ataupun utang swasta. Lalu, belakangan, sejumlah ekonom juga mencemaskan besarnya utang badan usaha milik negara atau BUMN.

"Kecemasan-kecemasan itu bisa dipahami mengingat umumnya proyek yang dibiayai utang kurang ekonomis pembangunannya dan kurang produktif setelahnya," kata Menkeu Kabinet Pembangunan VII ini, dalam keterangannya, Rabu (24/7).

Ekonom senior Rizal Ramli sekendang sepenarian dengan Fuad. “Kalau ekonomi tidak segera dibenahi dikhawatirkan krisis 1998 kembali terjadi,” katanya seperti dikutip RMOL, Rabu (24/7).

Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini menyampaikan kalau tidak ada langkah-langkan cepat dan jitu memperbaiki ekonomi, dikhawatirkan akan banyak perusahaan yang menyusul. "Kalau tidak hati-hati bisa menyeret yang lainnya. Belajarlah dari krisis 1998," katanya.

Kegaduhan di PT Krakatau Steel, Asuransi Jiwasraya, PT Garuda, isu membengkaknya utang BUMN Karya, dan besarnya kredit bermasalah di bank pelat merah juga dinilai Fuad masih menjadi sorotan. Meski begitu menurutnya sejauh ini belum ada berita kegagalan BUMN bayar utang.

Fuad justru heran gagal bayar utang justru diawali oleh pihak swasta. Khusus gagal Grup Duniatex, dia menilai kegagalan perusahaan ini membayar obligasi merupakan hal tidak wajar.

"Tetapi di luar dugaan, gagal bayar utang justru diawali oleh pihak swasta dari industri tekstil. PT DMDT dari Group Duniatex yang menerbitkan obligasi US$300 juta pada bulan Maret tahun ini gagal bayar kupon obligasinya. Aneh sekali obligasi yang baru berumur 3-4 bulan sudah gagal bayar kupon," kata Fuad curiga.

Fuad mengatakan hal ini bisa jadi penipuan. Duniatex juga sudah berutang dari sindikasi bank, termasuk Indonesian Eximbank sebesar Rp17 triliun. Belum lagi kredit yang didapatkan pada tahun 2018. "Menjadi lebih mengejutkan lagi ketika JP Morgan mengabarkan bahwa dalam tahun 2018 Group Duniatex telah menerima kredit US$362,3 juta dan Rp5,25 triliun," lanjutnya.

Kegagalan bayar utang ini, meski baru kupon, tentu menghancurkan nilai obligasi tersebut sebagai junk, dan mau tidak mau pemegangnya membukukan sebagian kerugian.

Kejadian ini, bisa mencemaskan pasar modal dan meningkatkan kredit macet perbankan. Bukan cuma Duniatex saja yang penilaiannya menurun, kredit rating Indonesia pun bisa saja terkena imbasnya. "Jika itu terjadi, merupakan signal awal krisis ekonomi Indonesia," tegasnya.

Menurut Fuad, pemerintah tidak pada posisi yang mampu menolong pada saat ini. Berbeda dengan saat krisis moneter tahun 1998 ketika pemerintah mampu bertindak sebagai penolong swasta yang gagal bayar utang.

Jadi, sebaiknya semua pihak, khususnya pemerintah waspada dan sedia payung sebelum hujan. Jangan jumawa bilang ekonomi sedang kuat. "Sekali lagi jangan berasumsi apalagi berkoar bahwa ekonomi kita kuat, dan ketika krisis benar- benar terjadi cari kambing hitam. Selalu ada solusi asal mau mikir," ujar Fuad.

67998

Related Post