Kasus Jin Buang Anak, Matinya Pers dalam Penggunaan Metafora

Jakarta, FNN - Terdakwa Edy Mulyadi (EM) kembali menjalani persidangan pada Selasa, 23 Agustus 2022 yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kali ini EM dan penasihat hukum mendatangkan dua saksi ahli dalam persidangan. Rocky Gerung dihadirkan sebagai saksi ahli untuk kebijakan publik, serta Prof. Dr. Aceng Ruhendi Syaifullah sebagai saksi ahli linguistik forensik.

Persidangan dimulai dengan Prof. Dr. Aceng Ruhendi Syaifullah sebagai ahli linguistik forensik. Prof. Dr. Aceng membuka dengan menjelaskan pengertian Linguistik Forensik. Bahwa linguistik forensik ini adalah salah satu cabang ilmu yang merupakan turunan dari ilmu-ilmu humaniora dan juga linguistik yang dapat menganalisis berbagai fenomena penggunaan bahasa yang berdampak hukum.

"Objek kajian linguistik forensik itu, adalah proses hukum itu sendiri seperti yang sedang berlangsung sekarang itu bisa dianalisis sejauh mana penggunaan bahasanya bisa berdampak hukum. Atau produk hukum, undang-undang, peraturan, tata tertib itu bisa dianalisis di tingkat penggunaan bahasanya sejauh mana menuju ke sebuah tindakan-tindakan yang bisa merujuk sebagai tindakan yang berdampak hukum. Yang terakhir adalah bukti hukum itu sendiri, yang merupakan sebuah tindakan yang diduga itu berdampak hukum,"  ujarnya.

Prof. Dr. Aceng juga menambahkan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam kajian analisis linguistik forensik. Pertama adalah bahasa itu sendiri, baik lisan maupun teks, kedua penutur, ketiga ditujukan untuk siapa tuturan tersebut, dan keempat kapan dan di mana, serta untuk apa konteks tuturan tersebut.

Saudara EM melakukan pekerjaannya yaitu sebagai wartawan. Saksi ahli Lingusituk Forensik ini memberikan keterangan dengan profesi terdakwa dan menjelaskan bahwa wartawan bertugas dalam dua hal, yakni memproduksi berita dan menyajikan opini yang bisa berupa saran, kritik, himbauan dan ada yang berdampak hukum dan ada juga yang tidak.

Dalam keterkaitan profesi terdakwa EM dengan kasusnya, Prof. Dr. Aceng berbicara tentang batasan kritik yang tidak masuk ke dalam penghinaan, pencemaran nama baik maka baru dapat berdampak hukum.

"Ketika masuk ke dalam wilayah penghinaan, pencemaran nama baik, itu berdampak hukum. Tapi ketika sebatas kritik, itu merupakan hak yang dijamin oleh undang-undang ya. Dan untuk memperkarakannya bukan tempatnya di sini (pengadilan negeri) ya, itu di dewan pers karena tuturan itu melekat kepada pekerjaan seperti itu," ucap Prof. Dr. Aceng

"Yang harus diverifikasi sejauh mana tuturan yang diujarkan berbanding lurus dengan objek yang dirujuknya. Jadi kebenaran materil dari tuturan itu harus diperiksa dulu, sebelum diperkarakan kasus tuturannya itu sendiri. Kalau itu tuturannya benar kualitatif, memenuhi syarat-syarat jurnalistik tidak ada masalah secara hukum, itu sebuah kebenaran. Tapi ketika ada kebohongan di dalamnya, tidak berbanding lurus dengan peristiwa kejadian yang sesungguhnya yang berkaitan dengan IKN, itu adalah kebohongan," tambahnya.

Prof. Dr. Aceng melihat dari prosedur pekerjaan jurnalistik, pihak yang dirugikan harus menunjukkan kerugian materialnya dari tuturan tersebut. Apabila mengacu ke undang-undang UU ITE dengan tambahan kesepakatan antara Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Menkominfo disebutkan bahwa perilaku tuturan yang diduga mengandung SARA, penghinaan, pencemaran nama baik, harus menunjukkan bukti material dari pihak yang melaporkan.

Tak hanya itu, saksi ahli bahasa berbadan hukum tersebut juga heran dengan fungsi dan peran dewan pers. Karena suatu profesi wartawan dapat dilihat kredibilitas melalui kode etik. Jika ada pelanggaran dapat dilakukan sidang kode etik terlebih dahulu.

Berawal dari kritiknya di kanal YouTube tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) hingga celetukan kata "Jin Buang Anak", Edy Mulyadi ditetapkan sebagai terdakwa kasus ujaran kebencian berdasarkan SARA, serta penyebaran berita bohong atau hoaks pada tanggal 31 Januari 2022. (Fik & Ind)

537

Related Post