Kasus Rempang: A Wake Up Call, Bahaya Politik Ekspansi Teritorial Cina
Oleh Jon A. Masli, MBA | Diaspora USA & Pegiat Investasi
BOLEH jadi kasus Pulau Rempang berhikmah menyadarkan kita, bahwa kebijakan politik luar negeri dan investasi Indonesia yang ditunjukkan Jokowi selama 9 tahun pemerintahannya terkesan dekat dengan Cina dan secara tidak sadar membantu strategi politik luar negeri Presiden Xi Jinping yang teritorial ekspansif. Kebijakan ini berpotensi berbahaya karena akan mengancam marwah martabat dan kedaulatan serta keamanan RI bila tidak ditangani dengan Good Corporate Governance dan Good Public Governance serta mengacu kepada amanat konstitusi. Yang jelas politik luar negeri Indonesia terkesan sudah mulai meninggalkan politik bebas aktif yang selama ini kita anut dengan sakral.
Dunia melihat Cina terang-terangan dan vulgar melakukan teritorial ekspansi di seantaro dunia terutama di negara Afrika dan Amerika Latin dengan dalih bantuan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan soft loan trap. Sadar tidak sadar langkah yang diambil Presiden Jokowi selama ini yang terkesan intensif menempel Xi Jinping berpotensi ancaman bagi kedaulatan dan keamanan nasional RI serta memberi peluang Cina melakukan ekspansi teritorialnya berkonotasi imperialisme baru ala Tiongkok dengan leluasa di Indonesia.
Proyek-proyek strategis nasional seperti KCJB, IKN, industrialisasi tambang nikel di Morowali dan sekarang Pulau Rempang adalah proyek-proyek konkrit berpotensi bermasalah yang dimaksud.
Demikian juga dengan dalih hilirisasi pengolahan industri nikel yang lagi marak di Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Maluku. Antithesis kritikan eks Menko Rizal Ramli dan para aktivist vokal kepada pemerintah selama ini adalah fakta yang perlu dicermati.
Inilah politik luar negeri Jokowi yang terkesan melakukan politik poros blok Cina dan mulai menjauh dari kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif. Kita kerap mengalah dan seakan didikte oleh investor Cina. Apakah beliau sadar atau tidak sadar telah melakukan politik bukan bebas aktif lagi? Terkesan beliau menunjukkan kecenderungan politik merangkul Cina dengan lobi intensive dengan Presiden Xi Jinping baru-baru ini di Chengdu. Sedangkan lobi dengan Presiden-presiden AS cs kurang frekuensinya.
Kita tahu sikon politik dunia dewasa ini bahwa memang ada dua super power, Cina cs dan AS cs. Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) sendiri sudah berupaya all out mengimbangi melobi AS dan csnya. Tidak tanggung-tanggung beliau sudah membawa serombongan pejabat dan pengusaha melobi Tesla dan Air Products, dua raksasa Wall Street. Sayang misi itu nelum berhasil. Rumor yang berkembang di AS katanya ada berbagai ketidaknyamanan para investor dalam menanggapi penyampaian presentasi LBP yang walau sudah didukung dengan slides power point yang canggih-canggih.
Seorang CEO dari Minnesota di acara Gathering Exekutif di Washington, DC nyeletuk "He sounded so good to believe, over promises. But corruption and uncertain justice system are still the key issues". Sehingga Tesla dan Air Products, dua raksasa Fortune 500 batal berinvestasi ke Indonesia. Tetapi hebatnya justru LBP berhasil melobi Cina selama ini. Ternyata pendekatan gaya melobinya ini yang memang cocok di mata para investor Cina yang budaya bisnisnya mirip kita yang cenderung menghargai faktor kekuasaan dan kerap kurang memberdayakan prinsip-prinsip GCG dan GPG.
Sedangkan di mata para investor AS atau blok barat, faktor kekuasaan ini adalah momok karena berkonotasi negatif, antara lain merangsang potensi korupsi dan conflict of interest benturan kepentinganyang sarat dengan pelanggaran prinsip GCG & GPG. Jadi bagi investor AS ini adalah "red flags". Contoh konkrit yang lagi hangat adalah proyek PSN Rempang. Xinyi Glass Co. yang dienduskan oleh Bahlil Lahadalia sebagai pabrik kaca Cina terbesar di dunia itu.
Ternyata ini tidak benar ketika Mardigu Bosman melakukan riset menerangkan fakta bahwa Xinyi Glass itu bukanlah pabrik kaca terbesar di dunia. Bahlil salah ucap, yang benar terbesar itu adalah Beijing Glass Co. Google juga mengungkap Xinyi Glass bukan sebesar yang Bahlil gembar gemborkan, lupa minta melihat Proof of Fundnya. Bayangkan perusahaan Xinyi hampir berhasil memberdaya kekuasaan BP Batam dan petinggi-petinggi politik untuk menguasai pulau Rempang.
Demikian juga nasib proyek IKN yang dalam pembangunan perlu investasi yang masif, walaupun telah dipasang Sir Tony Blair, eks PM Inggris sebagai penasihatpun tidak dapat menarik investor AS, Jepang cs seperti Softbank yang tadinya sudah mau gelontorkan seratus Triliun lebih tiba-tiba batal. Tapi tidak heran bila kita memang bisa merangkul Cina karena budaya bisnis mereka beda-beda tipis mirip dengan kita yang "cincai", kerap melanggar GCGpun adalah biasa apalagi kalau berkuasa. Di pihak Cina kemungkinan misi terselubung territorial expansion-nya itu tadi menjadikan mereka all-out.
Santer ada isu yang bilang letak strategis Rempang mirip dengan Subic Bay. Mungkin cocok untuk depot logistik Angkatan Laut Cina? Ah janganlah. Celakanya bila pembangunan Pulau Rempang dan IKN jadi dipegang oleh Cina, manuver territorial expansion mereka jelas akan menjadi tambah mulus. Bisa jadi Indonesia menjadi koloni terselubung mereka. Persis the history of Singapore.
Bagaimana proses menggusur orang-orang Melayu dan menguasai tanah moyangnya di zaman kekuasaan Inggris dan VOC. Ini yang tidak kita kehendaki seperti jeritan pilu penduduk Melayu di Rempang.
Dateline 28 September 2023 bahwa Rempang harus kosong itu tidak bijak. Sebaiknya pemerintah tidak kesusu tapi mengkonsolidasi Pulau Rempang tanpa penggusuran, tetap membangun pabrik kaca, dan pada saat yang bersamaan membangun Kampung Tua Melayu itu sebagai cagar budaya pariwisata melestarikan kebudayaan Melayu.
Seperti American Indians di AS, pemerintah federal mengizinkan para investor membangun casino dan pembangkit listrik di tanah leluhur orang Indian, tapi tetap melestarikan budaya suku mereka.
Semoga Rempang bisa damai sentosa dan menjadi daerah tujuan pariwisata yang bermartabat kelas dunia. (*)