Kebijakan Inkonstitusional dan Tirani Membuat Gaduh: Jangan Salahkan Rakyat
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Sejak lama rakyat marah, sejak UU Omnibus Cipta Kerja, atau UU KPK, serta UU lainnya yang bersifat sewenang-wenang, masih dalam rancangan. Buruh, mahasiswa, emak-emak dan elemen masyarakat lainnya, tanpa kenal lelah, turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan, serta menentang UU yang dapat membuat nasib mereka tambah menderita dan miskin.
Beberapa aktivis dan tokoh masyarakat bahkan ditangkap dan dipenjara. Antara lain, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana. Mereka dituduh provokasi demo untuk membuat keonaran, selepas UU Omnibus Cipta Kerja disahkan pada Oktober 2020.
Tuduhan ini jelas terkesan mengada-ada, untuk membungkam suara kritis pembela kaum tertindas. Buktinya, UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 tersebut dinyatakan inkonstitusional (bersyarat) oleh Mahkamah Konstitusi. Buktinya, demo terus berlangsung, sampai sekarang.
Karena, akar masalah dari semua kegaduhan ini ada di pemerintah, dalam hal ini presiden, dan DPR. Mereka menetapkan UU yang dirasakan sewenang-wenang, yang secara langsung merugikan ratusan juta orang, khususnya kaum buruh dan pekerja, serta merugikan masyarakat Indonesia secara umum (klaster pertambangan dan perkebunan). UU ini dipercaya akan membuat masyarakat kelompok miskin dan hampir miskin menjadi semakin miskin.
Bukan saja substansi UU Omnibus Cipta Kerja tersebut membuat masyarakat kelompok bawah bertambah menderita, tetapi cara pembuatan undang-undang tersebut juga melanggar konstitusi, dan sudah dinyatakan inkonstitusional (bersyarat) oleh Mahkamah Konstitusi.
Masalah menjadi tambah runyam ketika DPR tidak lagi menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai pengawas pemerintah. DPR bahkan ikut melanggengkan undang-undang yang dirasakan sewenang-wenang dan melanggar konstitusi. DPR juga tidak menggubris protes keras masyarakat yang keberatan dengan UU yang bermasalah tersebut.
UU yang sudah dinyatakan inkonstitusional (bersyarat) tersebut kemudian diundangkan lagi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Cipta Kerja, dan kemudian disahkan oleh DPR, dengan melanggar ketentuan konstitusi pula. Karena pasal 22 ayat (2) UUD menyatakan bahwa PERPPU harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Dalam hal ini, tidak terjadi. DPR baru menyetujui PERPPU Cipta Kerja pada persidangan berikutnya lagi, yang seharusnya bertentangan dengan konstitusi, dan karena itu melanggar konstitusi.
Alasan bahwa PERPPU harus disetujui DPR dalam persidangan berikutnya, karena PERPPU ditetapkan dengan alasan ada kegentingan memaksa. Kalau PERPPU bisa ditetapkan kapan saja, maka makna “kegentingan memaksa” sudah hilang. Artinya, tidak ada kegentingan memaksa. Ini masalah pertama dengan PERPPU Cipta Kerja: proses persetujuan PERPPU bermasalah dan melanggar konstitusi.
Kemudian, substansi kegentingan memaksa juga bermasalah. Krisis ekonomi global yang menjadi faktor “kegentingan memaksa” sebagai dasar penetapan PERPPU terkesan manipulatif, dan tidak berdasarkan kondisi obyektif.
Pertama, apa yang dimaksud dengan krisis ekonomi global sangat kabur, tidak ada definisi yang jelas dan konklusif. Sehingga, alasan “krisis ekonomi global” tidak bisa dijadikan faktor kegentingan memaksa.
Kedua, sampai saat ini tidak ada krisis ekonomi global, baik menurut pandangan umum maupun spesifik. Amerika Serikat mencatat pertumbuhan ekonomi 2 persen pada Q1/2023, bahkan kemudian meningkat menjadi 2,4 persen pada Q2/2023. Artinya, alasan krisis ekonomi global sebagai faktor kegentingan memaksa hanya ilusi dan manipulatif.
Ketiga, ekonomi Indonesia, atau negara manapun, bisa mengalami penurunan atau bahkan krisis, meskipun ekonomi global stabil, akibat struktur dan fundamental ekonomi domestik yang lemah. Dalam hal ini, UU Cipta Kerja tidak bisa melindungi atau menahan penurunan ekonomi. Artinya, UU Cipta Kerja tidak relevan untuk menahan krisis ekonomi.
Sebagai contoh, Pendapatan Negara pada Q2/2023 (April-Juni) turun 6,8 persen dibandingkan Q2/2022. UU Cipta Kerja ternyata tidak bisa mencegah penurunan ekonomi. Bahkan, Pendapatan Negara pada Juni 2023 mengalami penurunan semakin tajam, turun 19,5 persen dibandingkan Juni 2022. Sekali lagi, UU Cipta Kerja terbukti gagal mencegah penurunan ekonomi tersebut.
Data ini membuktikan bahwa UU Cipta Kerja tidak relevan, dan tidak bisa, mengatasi krisis atau pelemahan ekonomi. Sehingga, alasan penetapan PERPPU Cipta Kerja terindikasi jelas melanggar konstitusi terkait “kegentingan memaksa”, dan membohongi masyarakat luas.
Yang pasti, UU Cipta Kerja ini sangat merugikan buruh, petani dan kelompok masyarakat kecil lainnya. Upah riil buruh dalam tiga tahun terakhir cenderung turun. Artinya, kenaikan upah (kalau ada) jauh lebih rendah dari kenaikan indeks harga konsumen (inflasi). Karena itu, tidak heran tingkat kemiskinan naik 1,39 persen untuk periode 2019-2022.
Karena UU Cipta Kerja ini merugikan ratusan juta masyarakat, mereka protes dan demo untuk merebut haknya mendapatkan penghasilan yang layak. Mereka menolak untuk dimiskinkan secara struktural melalui UU Cipta Kerja yang bermasalah.
Inilah akar masalah yang sesungguhnya. Kegaduhan muncul karena adanya UU yang bermasalah, bukan karena adanya pembelaan Rocky Gerung kepada nasib ratusan juta rakyat Indonesia yang di atas kertas akan semakin miskin. Masyarakat seharusnya menggugat akar masalah ini. Bukan justru mempersekusi Rocky Gerung.
Kalau Presiden Jokowi dan DPR tidak mengeluarkan UU yang begitu sewenang-wenang, maka dapat dipastikan tidak akan ada protes dan demo, serta tidak ada kritik tajam dari Rocky Gerung.
Publik harus paham, kritik yang disampaikan masyarakat kepada pejabat, termasuk presiden, pasti akibat dari kebijakan yang merugikan masyarakat luas, bahkan bisa membuat rakyat semakin miskin.
Kalau Jokowi bukan presiden, Rocky Gerung dan masyarakat lainnya pasti tidak akan mau mengkritiknya. Kalau hari ini Jokowi tidak lagi menjabat presiden, pasti tidak akan ada kritik kepadanya .
Seperti Yang sekarang dialami oleh mantan presiden SBY dan Megawati, keduanya sudah terbebas dari kritik sebagai pejabat publik (bukan sebagai petinggi partai politik yang dapat menentukan nasib rakyat banyak).
—- 000 —-