Kebijakan Pangan Tersandera Kartel Politik
Oleh Vitri Aryanti - Analis Kebijakan Ahli Muda-Kementan, Doktor Ekopol Universitas Nasional Jakarta
TUJUAN swasembada pangan menjadi cita-cita Republik ini sejak awal berdiri. Kebijakan pangan menjadi prioritas sejak era Presiden RI pertama. Namun, sampai dengan saat ini, kebijakan itu hanya menjadi jargon dengan semakin masifnya kebijakan impor pangan. Bahkan yang lebih mengerikan, beras yang merupakan komoditas utama dijadikan target pencapaian impor beras oleh Kementerian Perdagangan dengan dalih memenuhi kebutuhan Cadangan Pangan Nasional (CPN). Adanya Badan Pangan Nasional tidak dapat menumpulkan aliran impor pangan yang bahkan semakin bertambah dan masif di semua komoditas pangan.
Mengapa hal ini terjadi? Dalam konteks konspirasi kepentingan tertentu, State Capture Corruption berperan besar timbulnya kondisi tersanderanya Republik oleh kebijakan impor pangan. Target Presiden Joko Widodo saat awal memimpin negeri ini untuk meminimalisir impor pangan utamanya beras dan menargetkan Republik ini ke depan menjadi pemasok beras dunia menjadi pupus. State Capture Corruption merupakan upaya manipulasi prosedur oleh pejabat, politis, perusahaan milik negara/swasta serta individu di luar pemerintahan agar kebijakan dibuat untuk menguntungkan mereka (Hellman, Jones and Kaufmann, 2000/Bivitri Susanti, 2023). Kementerian Perdagangan dengan dalih menjaga stok pangan nasional melegalkan impor beras dengan capaian volume fantastik. Impor beras ini disimpan dalam Gudang Bulog. Sementara pada saat panen raya, terlihat tidak adanya koordinasi dan harmonisasi penyerapan panen raya petani antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bulog dan Badan Pangan Nasional. Konsep dan grand desain dibunyikan di setiap webinar terkait harmonisasi dan koordinasi tersebut, namun dalam kenyataan, ketika dicermati di lapangan, kondisi tersebut tidak berbunyi.
Dalam kebijakan pangan ini, siapa bisa menyandera negara, dalam hal ini, aktor-aktor politik formal penentu kebijakan. Adanya koalisi partai, sistem endorsemen partai sebagai imbalan transaksi politik dan penempatan partai menjadi kepala daerah menjadikan peraturan, regulasi dan kebijakan bersifat menguntungkan kelompok tertentu. Politik kartel menggurita di Indonesia (Slater, 2004: Ambardi 2009). Kartel dengan pola kerja sama antar partai dan kerjasama antara partai dengan pemerintah. Kartel untuk mendapatkan keuntungan secara curang. Pola kerja sama yang terjadi berlangsung tidak sehat. Apalagi di dalamnya masuk peran oligarki di mana masing-masing kelompok berlomba-lomba mengambil keuntungan, berkomplot mencuri uang warga. Oleh karena itu, penting kiranya, dipikirkan kembali peran dan tugas kementerian/Lembaga dan pihak-pihak yang menangani pangan. Ada baiknya untuk peran pangan dari hulu – proses sampai dengan hilir dipegang oleh satu kementerian, sehingga ketika ketika terjadi kekurangan ketersediaan pangan karena suatu hal, solusi dan evaluasi lebih mudah dilakukan. Impor pangan bisa lebih ditekan. Kebijakan pangan di era sebelumnya yang menerapkan proses hulu-proses-hilir (proses produksi pangan sampai dengan pemasaran dan distribusi) diterapkan dalam satu kementerian hendaknya diberlakukan kembali. Kekurangan kebijakan tersebut dievaluasi dan disempurnakan.
Selain itu, aktor pengambil kebijakan harus dirombak agar tidak menjadi lahan sjbur bagi penyandera kebijakan. Kewajiban partisipan bermakna dan akuntabilitas mutlak diterapkan. Semua proses pengambilan keputusan kebijakan lengkap dengan dokumen dan rekaman proses, hendaknya dibuat setransparan mungkin untuk mencegah manupulasi. Benturan kepentingan harus diberantas. Semua pemegang jabatan publik wajib menghindari potensi yang menimbulkan situasi benturan kepentingan. Kartel harus diberantas. Kartel politk yang utama sehingga proses pembuatan kebijakan menjadi transparan. Para pembuat kebijakan baik itu Undang-Undang, Peraturan, Regulasi dan Kebijakan hendaknya menyertakan pemangku kebijakan dalam pembahasannya. Hal ini perlu segera dilakukan sebelum semua sumber daya habis dikeruk untuk pemegang kekuasaan yang serakah. (*)