Kematian KPK dan Akhir Republik

by Prof. Daniel Mohammad Rosyid

Surabaya, FNN - Hari ini Mahkamah Konstitusi menolak Judicial Review atas UU KPK 2020 yang diajukan oleh Moh. Yasin dkk- mantan unsur pimpinan KPK periode sebelumnya. Baginya, UU KPK 2020 itu nyata-nyata upaya untuk melemahkan KPK. Hanya satu hakim konstitusi, yaitu Hakim Wahiduddin Adams yang memiliki _dissenting opinions_, sementara 8 lainnya menolak JR tersebut.

Sebagai produk amandemen UUD 45 era reformasi maka hari ini MK terbukti memantabkan upaya pelemahan KPK. Dugaan Effendi Gazali bahwa KPK menderita sontoloyoitis ternyata benar. Bagi saya paling tidak KPK telah berubah menjadi Komisi Pelestarian Korupsi. Ditambah dengan kegagalan banyak penyelidik KPK senior untuk diterima sebagai kembali sebagai staf KPK, maka sinyalemen beberapa pengamat benar bahwa kedua peristiwa ini adalah upaya pembunuhan KPK.

Saya sebut pelestarian korupsi karena KPK yang semula diposisikan sebagai lembaga adhoc, kini akan difungsikan oleh penguasa, untuk selama-lamanya 1) melindungi para koruptor dari kalangan eksekutif dan legislatif yang pro Pemerintah, dan 2) sebagai alat untuk jual beli dengan oposisi jika masih ada, 3) make-up dan gincu seolah Pemerintah masih peduli dengan pemberantasan korupsi. Sementara itu Transparansi Internasional justru menunjukkan bahwa korupsi di Republik ini makin parah, dan demokrasinya makin lemah.

Sebagai lembaga adhoc ekstra konstitusional, *KPK seharusnya menjadi institusi independen yang kuat justru supaya umurnya bisa diperpendek*. Katakan 20 tahun. Sejak dibentuk, kasus korupsi di Republik ini justru tidak ada tanda-tanda perbaikan. Baik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman masih korup seperti sebelum reformasi.

Pada saat kepolisian makin powerful seperti saat ini, bisa dibayangkan jika polisi masih saja korup. Pada saat korupsi oleh tokoh parpol koalisi tetap marak, kasus kriminalisasi ulama dan tokoh kritis yang berbeda pendapat dengan Pemerintah justru makin meriah. Malpraktik administrasi publik sebagai biang korupsi justru makin mengakar.

Rezim saat ini justru makin otoriter dan power abusive pada saat hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum dibuat dan ditafsirkan untuk kepentingan penguasa dan kroni-kroninya, bukan untuk publik. Kita melihat gejala yang makin kuat, sesuai adagium Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Wacana Presiden 3 periode dan presidential threshold 20% adalah indikasi bahwa adagium ini keras berlaku.

Padahal Republik ini didirikan untuk mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan, bukan pada penindasan, apalagi oleh bangsa sendiri. Korupsi dan malpraktek administrasi publik yang luas telah jelas menggerogoti kemerdekaan bangsa ini. Perilaku penguasa saat ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Republik.

Pancasila tidak mungkin dipraktekkan oleh rezim seperti itu. Bahkan Pancasila dijadikan alat untuk menggebuk elemen bangsa lain yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Bersama dengan kematian KPK itu menunggu giliran pula Republik ini.

Penulis adalah Direktur Rosyid College of Arts.

808

Related Post