Kembali ke UUD 1945?
Persekolahan massal paksa sebagai instrumen teknokratik penyiapan buruh trampil, bukan instrumen pencerdasan kehidupan bangsa, adalah hambatan laten upaya kita kembali ke UUD ‘45.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts
USULAN baru-baru ini oleh beberapa tokoh pergerakan, purnawirawan jenderal, dan para raja dan sultan Nusantara agar Presiden Jokowi menerbitkan Dekrit Presiden secara terkoordinasi untuk memberlakukan kembali UUD 1945 untuk menghadapi beberapa hambatan berikut.
Hambatan pertama sekaligus terbesar adalah polarisasi yang tajam bangsa ini ke dalam kelompok “cebong” dan “kadrun”. Gita Wiryawan menyebut, kanker medsos yang menyebabkan keterbelahan parah ini. Bahkan para intelektual pun terbelah menjadi Jokowers dan oposannya.
Bagi Jokowers, Jokowi adalah presiden dengan capaian reformasi paling spektakuler nyaris tanpa cacat, sambil menuding bahwa para oposannya adalah sisa-sisa Orde Baru yang ingin kembali berkuasa. Artinya, tidak ada urgensi sama sekali untuk kembali ke UUD ‘45. Lagi pula, parpol yang kini menguasai jagad politik nasional akan keberatan untuk melepas semua privileges yang dihadiahkan oleh UUD 2002.
Hambatan kedua adalah luka lama yang hingga kini belum sembuh akibat kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melawan Anies Baswedan dalam Pilgub DKI 2017 silam.
Hujan di hulu belum teduh, luka lama belum sembuh. Luka lama ini tidak cuma melahirkan polarisasi yang parah antara cebong dan kadrun, sekaligus melahirkan harapan bahwa ummat Islam punya peluang memenangkan Pilpres dalam arsitektur legal perpolitikan yang liberal kapitalistik ini.
Mulyadi Tadampali mengatakan bahwa jagad politik saat ini dipenuhi para bandit politik yang logistiknya disokong oleh para taipan bandar politik, sementara Pemilu dikendalikan oleh para badut politik di MK, KPU, KPK, sampai POLRI.
Bahkan bagi para die hard Jokower, skandal Ferdy Sambo sekalipun tidak membuktikan bahwa Jokowi meraih kemenangan politik karena dukungan Satgassus Merah Putih. Berbagai produk regulasi yang dimungkinkan oleh UUD 2002, termasuk UU IKN, yang berpihak bagi kepentingan pemodal besar asing maupun aseng, tidak dilihat sebagai maladministrasi publik.
Hambatan ketiga adalah publik yang buta huruf politik karena cukup lama diposisikan sebagai jongos politik setelah menjadi jongos ekonomi sejak Orde Baru hingga hari ini. Depolitisasi masyarakat, dan pen-jongos-annya telah mendungukan masyarakat. Kemiskinan yang berlarut telah melahirkan budaya nriman yang mencengangkan.
Ini sekaligus membuktikan bahwa pendidikan kita telah gagal total untuk menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Slogan Merdeka Belajar Kampus Merdeka membuka kenyataan bahwa bangsa ini sedang belajar merdeka.
Persekolahan massal paksa sebagai instrumen teknokratik penyiapan buruh trampil, bukan instrumen pencerdasan kehidupan bangsa, adalah hambatan laten upaya kita kembali ke UUD ‘45.
Jika kelahiran Orde Baru, lalu Orde Reformasi hanya peristiwa revolusi istana yang elitis, kali ini kita membutuhkan perubahan yang lebih substansial yang sesungguhnya diharapkan Soekarno dkk the founding figures sebagaimana telah dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta batang tubuh dan penjelasannya.
Kembali ke UUD 1945 sejatinya adalah Reproklamasi Kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia ini.
Gunung Anyar, 1 Nopember 2022. (*)