Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Untuk Siapa?
Oleh Edy Mulyadi *)
SOAL kereta api cepat Jakarta-Bandung, (KCJB) pertanyaan pertama dan paling utama adalah; untuk siapakah sebenarnya kereta api cepat ini? Penguasa pasti menjawab, untuk rakyat. Tapi, pertanyaan berikutnya, rakyat yang mana? Atau, siapa rakyat yang dimaksud?
Pak Dullah dan mpok Minah, tentu adalah rakyat. Joni, Siska, dan Rudy juga rakyat. Tapi pengusaha dan anggota DPR itu pun rakyat. Begitu juga dengan Luhut, Airlangga, dan Jokowi juga rakyat. Kendati tiga nama yang disebut terakhir itu juga pejabat. Bahkan Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia.
Jadi, rakyat yang mana yang dimaksud? Sebagai rakyat, kira-kira bersediakah Anda (nanti, jika jadi beroperasi) naik kereta api cepat Jakarta-Bandung dengan membayar tiket seharga Rp 400.000? Wuih, mahal banget? Ya, memang. Mahal banget. Tapi kira-kira harga tiketnya memang pada kisaran angka itu.
Ada yang bilang, harga itu normal dan wajar. Bukankah waktu tempuh bisa diperpendek? Jika lewat jalan tol biasa butuh sekitar 2,5 sampai 3 jam Jakarta-Bandung. Kelak, dengan KCJB waktunya kurang dari 40 menit, tepatnya 39 menit. Ok, sepertinya bagus. Tapi Anda belum memasukkan waktu tempuh dari rumah ke stasiun kereta, kan? Tolong hitung ulang dengan lebih teliti ya.
Biaya membengkak, lagi
Beberapa hari lalu kita baca berita, biaya investasi proyek kereta-api cepat ini membengkak, lagi. Lagi? Iya, lagi. Sebelumnya harga proyek KCJB juga naik US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 27,17 triliun dari proyeksi awal US$ 6,07 miliar menjadi Rp 113,9 triliun.
Lalu Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI (Persero) Salusra Wijaya mengatakan, kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) naik sekitar US$ 1,9 miliar. Dalam hitungan rupiah, angkanya mencapai Rp 27 trilliun lebih. Dengan begitu, untuk sementara, nilai investasi proyek superambisius ini telah menyentuh US$ 8 miliar, atau setara Rp 114,24 triliun. Top markotop!
Dengan biaya investasi sebesar itu, berapa harga tiket yang harus penumpang bayar? Tergantung dari berapa lama titik impas alias break event point (BEP) mau dicapai? Tentu saja, BEP pun akan sangat dipengaruhi berbagai biaya; mulai biaya pembangunan, biaya operasional (kalau jadi beroperasi), dan biaya lain-lain, termasuk aneka biaya siluman yang selalu saja ada pada setiap proyek.
Saya termasuk beruntung ikut hadir pada rapat yang digelar Menko Perekonomian (waktu itu) Darmin Nasution. Hadir antara lain Menko Maritim Rizal Ramli, Menteri/Kepala Bappenas Sofyan A. Djalil, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, dan sejumlah pejabat eselon satu dan eselon dua lintas kementerian.
Rapat yang digelar sekitar pukul 19an WIB di kantor Darmin ini terbilang lumayan penting. Agendanya membahas dua proposal proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Supaya tidak repot, sebelumnya Bappenas sudah menyewa Boston Consulting Grup (BCG) untuk melalukan review atas kedua proposal tersebut. Kepada pejabat Bappenas yang duduk di sebelah, saya bertanya berapa fee BCG untuk pekerjaan ini. “US$ 150.000 untuk review selama dua pekan,” jawabnya. Wow!
Menurut BCG, kedua proposal sama-sama punya kelemahan dan keunggulan. Poposal Jepang lebih mahal. Itu karena teknologi yang digunakan bisa dikatakan lebih unggul. Proposal Cina memang lebih murah, tapi tidak ada jaminan bahwa biaya akan berhenti sesuai nilai yang tercantum pada proposal.
Singkat kata, BCG menyatakan proyek ini tidak feasible. Tidak layak. Terlalu mahal! Berapa pun tiket yang kelak akan dijual kepada penumpang, tetap tidak akan mampu mengembalikan investasi yang digelontorkan. Mau dijual Rp 100.000 atau Rp 200.000 (rapat digelar pada 2015) tidak akan menutup investasi dan biaya operasionalnya. Bandingkan, misalnya, dengan harga tiket travel Baraya saat itu untuk Jakarta-Bandung hanya Rp 40.000.
Saya sempat ngobrol dengan Menko RR soal kedua proposal asal Jepang dan Cina, beberapa hari sebelum rapat di kantor Darmin. Sebagai Menko Maritim, dia sempat menerima perwakilan Jepang dan Cina, tentu saja secara terpisah.
Oya, sebagai informasi saja, Kemenko Maritim saat itu mengkoordinasikan empat kementerian. Yaitu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pariwisata. Jadi, jangan heran kalau dia ikut cawe-cawe pada proyek KCJB.
Sejak awal RR sudah mengingatkan ‘bahayanya’ menggandeng Cina. “Proposal Cina memang terlihat lebih murah. Tapi, di sana belum dijelaskan bagaimana biaya pembebasan lahan dan kemungkinan terjadinya cost overrun. Siapa yang akan tanggung. Kita mesti hati-hati,” ujarnya waktu itu.
Dan, cost overrun alias tambahan biaya yang dikhawatirkan Rizal Ramli pun jadi kenyataan. Bukan hanya sekali, tapi berkali. Hingga akhirnya kita dengar, biayanya membengkak jadi Rp 114,24 triliun.
Tidak pakai APBN
Saya juga ingat, waktu rapat Menko Rizal Ramli mewanti-wanti bahwa tidak akan ada dana APBN yang disertakan. Menkeu Bambang Brojo bahkan berulang-ulang menyatakan tidak setuju menggunakan APBN, baik sebagian apalagi seluruhnya. Yang seru, Menhub Jonan berkali-kali menyatakan tidak setuju proyek ini.
“Jakarta-Bandung sudah dilayani Kereta Parahiyangan. Ada beberapa maskapai yang terbang untuk rute ini. Begitu juga cukup banyak perusahaan travel yang mondar-mandir. Jadi untuk apa lagi kereta api cepat?” tukar Jonan, sengit.
Menhub yang satu ini ternyata konsisten dengan sikapnya. Itu dibuktikan dengan ketidakhadirannya pada ground breaking proyek yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Jonan mbalelo? Mungkin saja.
Uniknya, Rini malam itu terlihat ngotot. Dia mati-matian berusaha meyakinkan rapat, bahwa proyek kereta api cepat ini sangat penting, dibutuhkan rakyat, akan memperpendek waktu tempuh, bla bla bla... Begitu bernafsunya Rini, sampai-sampai Jonan bertanya, “kenapa ibu Rini begitu semangat?” Kalau tidak salah ingat, dia mengulanginya hingga 2-3 kali.
Saya melihat Rizal Ramli senyum-senyum sendiri melihat ‘debat’ Jonan vs Rini. Saya tidak tahu, apa makna senyum-senyum ‘misterius’ tersebut. Namun belakangan, saya baru paham. Rini memang bisa disebut saat itu orang yang paling bertanggungjawab atas proyek ini. Saya katakan “saat itu” karena memang waktu itu belum muncul manusia super bernama Luhut Binsar Pandjaitan. Hehehe...
Kalau tidak salah, Sofyan sempat bertanya, jika ternyata kelak konsorsium BUMN sebagai pemilik KCJB tak bisa membayar kewajiban kepada Cina, apa solusinya? Dengan enteng Rini menjawab, kita minta mereka duduk lagi untuk merestrukturisasi utang, termasuk penjadwalan ulang pembayarannya.
Sebagai Menteri BUMN Rini Soemarno sempat menyampaikan pujian dan berterimakasih kepada China. Alasannya, Negara Tirai Bambu tersebut mau terlibata dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC).
Kembali senyum misterius Rizal Ramli. Juli silam, dia menulis, “Rini Soewandi jangan ngilang dong? Ada berita kick back-nya lho,” kata RR lewat akun Twitter pribadinya @RamliRizal, Sabtu (10/7/2021).
Rini memang layak dimintai pertanggungjawabannya atas babak-belur dan ruwetnya proyek kereta api cepat ini. Apalagi, dia pernah bilang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung akan selesai 50% pada 2019 dan rampung pada 2021.
Ngomong-ngomong soal kick back, saya pernah berhalusinasi (?). Jika benar ada uang pelumasnya, 1% saja, wuiiihhh.... Biaya awal pembangunan KCJB adalah US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun. Jika --ini jika, lho-- ada kick back 1% saja, maka nilainya mencapai Rp865 miliar. Wuidihhh... Berapa kalau 2%, 5% dan seterusnya? Ah, sudahlah. Kalau pun ada, itu kan “rejeki” orang lain.
Ganti Jagoan
Bagaimana sekarang? Sepertinya KCJB terancam. Seperti bisa, kalau merasa kepepet, Jokowi akan mengeluarkan jurus pamungkas. Menugaskan jagoan andalannya, Luhut Binsar Pandjaitan. Lelaki yang oleh sebagian publik digelari Menko Atasi Segala Urusan (Menko ASU) ini kembali mendapat tugas baru sebagai Ketua Komite Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Surat tugasnya dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
Saya tidak tahu persis, apa pertimbangan Jokowi nekat meneruskan proyek ini. Dia bahkan tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Lewat Perpres Nomor 93 Tahun 2021 Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai KCJB. Padahal sebelumnya dia sudah menyatakan tidak akan menggunakan ABPN. Tapi, untuk urusan mencla-mencle alias tak konsisten, eks tukang mebel asal Solo ini kan memang jagonya.
Yang jadi soal kini, apa makna dilibatkannya APBN dalam proyek KCJB? Bukankah review Boston Consulting Grup sejak awal menyatakan proyek ini tidak layak? Tidak ekonomis? Bukankah sebelumnya telah dideklarasikan, bahwa proyek ini murni business to business alias B to B? Hanya antar perusahaan, yaitu konsorisum empat BUMN dan perusahaan Cina?
Rakyat harus mensubsidi?
Satu hal yang pasti, suntikan APBN ke proyek kereta cepat bakal mengganggu efektivitas APBN bagi pembangunan. Bukankah keputusan Jokowi ini berdampat pada terjadinya pergeseran alokasi anggaran APBN 2022 yang telah ditentukan? Bukankah di saat pandemi, pemerintah fokus dan serius dengan alokasi untuk perlindungan sosial? Belum lagi alokasi anggaran dan belanja rutin lainnya, termasuk pembayaran pokok dan bunga utang. Nah, kira-kira pos anggaran mana yang bakal digeser?
Pertanyaan lain, kalau KCJB adalah proyek bisnis, kenapa rakyat yang harus ikut menanggung? Dengan harga tiket minimal Rp 400.000 sekali jalan, siapakah kelak yang bakal menjadi penumpangnya? Rakyat yang mana? Kalangan menengah-atas? Berapa banyak dari mereka yang mau? Bukankah penumpang yang tak punya kendaraan sendiri juga harus membayar ongkos taksi dari dan ke stasiun kereta? Dengan jumlah penumpang yang pasti tidak banyak, sampai kapan titik impas bakal tercapai? Bagaimana jadinya kalau dalam operasionalnya terus dan terus merugi? Bukankah light rail transit (LRT) di Palembang yang babak-belur karena terus-terusan rugi bisa jadi pelajaran berharga?
Pertanyaan sederhananya, kenapa proyek ini ngotot dan terus dipaksakan? Bukankah akhirnya jadi beban negara dan rakyat? Sebagai pembayar pajak, apakah Anda rela uangnya digunakan untuk mensubsidi kereta cepat? Kalau saya tidak. Tidaaaak! Tapi sebagai rakyat, kita bisa apa? Protes? Aksi demonstrasi? Emang ngaruh? Sudah bagus kalau tak diciduk dengan dalih melanggar UU ITE.
Jokowi memang dikenal sangat ugal-ugalan dalam hal pembangunan infrastruktur. Jalan tol, bandara, dan pelabuhan dibangun dengan serampangan. Entah ada studi kelayakannya atau tidak. Faktanya berbagai proyek tadi akhirnya mubazir. Ada bandara Kertajati yang disulap jadi bengkel pesawat karena sepi penumpang. Ada pelabuhan yang tak punya akses jalan. Ada bendungan yang tak ada saluran irigasi.
Atau, kalau pun ada studi kelayakannya, apakah mampu membatalkan syahwat membangun proyek? KCJB adalah contoh yang terang benderang. Boston Consulting Group sejak awal menyatakan proyek ini tidak layak. Tapi kenyataannya kan tetap saja menggelinding. Walau pun makin ke sini makin ngawur dan amburadul.
Tapi Jokowi tak peduli dan tidak mau tahu. Dia terus saja sibuk dan membabi-buta mencari utangan. Padahal kalau mau jujur, infrastruktur yang dimaksud itu tak lebih dari bisnis. Bisnis bagi pemilik proyek, bagi RRC yang datang dengan utangan, tenaga kerja, dan bahan baku. Juga, bisnis bagi para pemburu rente. Termasuk bisnis buat pejabat yang getol mempromosikan dan sekaligus jadi makelar proyek.
Anda tentu tahu siapa yang saya maksud, kan? (*)
*) Wartawan senior FNN