Kleptocracy di Balik Dinasti Politik
Oleh Ubedilah Badrun - Analis Sosial Politik UNJ
"Anak dan menantu itu dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah, tidak diangkat, tapi ikut sebagai calon walikota yang dipilih rakyat, masa disebut dinasti?". "Anak bungsu itu dipilih Pembina partai untuk jadi Ketua Umum Partai meskipun baru jadi anggota partai, langgar pasal aturan partai tidak apa-apa, yang penting semua pembina partai setuju, masa disebut dinasti?" "Sekarang wali kota boleh jadi capres/cawapres karena putusan MK membolehkan meski belum berusia 40 tahun jika ia seorang kepala daerah / mantan kepala daerah, masa disebut dinasti?"
Begitulah para pemuja membuat pertanyaan yang bersifat pembelaan, meskipun nafsu kuasa dinasti terus dipertontonkan secara vulgar, para pemuja itu tak juga kunjung gunakan akal sehatnya. Padahal bekerjanya akal sehat itu menjadi instrumen kunci untuk membangun demokrasi yang sehat dan berkualitas. Politik dinasti itu sesungguhnya merusak kaderisasi partai, dan sekaligus merusak kualitas demokrasi.
Dinasti Berselimut Regulasi?
Politik dinasti adalah proses kerja politik untuk membangun kekuasaan yang aktor utama politiknya masih memiliki hubungan darah dengan penguasa, hasilnya disebut dinasti politik atau kekuasaan yang subyeknya memiliki hubungan darah dengan penguasa atau dengan yang pernah berkuasa, biasanya secara vulgar dipertontonkan di arena publik karena merasa tidak melanggar regulasi manapun bahkan merasa didukung rakyat banyak. Dalam Dinasti politik kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak atau keluarganya dengan berbagai cara baik dengan cara pengangkatan maupun pemilihan. Hal itu dilakukan agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.
Secara historis dinasti politik tumbuh dan berkembang pada era monarki absolut, seiring dengan era Dark Age (abad kegelapan) sampe kemudian hadir era Renaisans (abad pencerahan) yaitu era peralihan dari Abad Pertengahan Akhir ke Zaman Modern, sekitar abad 14 hingga abad 18.
Upaya abad pencerahan itu memunculkan perubahan sosial besar-besaran diantaranya karena menghendaki kekuasaan berjalan secara demokratis dan mengakhiri kekuasaan monarki absolut, dinastik, otoriter, dan diktator. Peristiwa itu memuncak melalui Revolusi Perancis 1789. Jadi, politik dinasti sesungguhnya sudah ditolak sejak abad pencerahan itu. Mereka yang masih memelihara politik dinasti sesungguhnya seperti hidup di abad kegelapan dan abad pertengahan.
Seiring dengan memasuki era modern dan berkembangnya demokrasi, dinasti politik tumbuh dengan model baru, dengan cara baru, berselimut regulasi, berselimut demokrasi, berselimut pemilihan umum. Menariknya dinasti model baru di Amerika misalnya, mereka membangun dinasti tidak saat sang Ayah berkuasa, tetapi anak-anak mereka masuk arena politik setelah Ayahnya tidak lagi berkuasa. Kasus dinasti politik di Indonesia saat ini sangat parah karena dibangun saat sang Ayah sedang berkuasa yang kekuasaanya bisa mempengaruhi segala keputusan dan dinamika politik.
Betul sang anak terpilih melalui proses pemilihan umum tetapi ia terpilih karena ada hubungan darah dengan sang ayah yang punya kuasa. Benar, maju dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada), maju menjadi ketua umum partai adalah hak konstitusional setiap warga negara, tetapi semuanya dilakukan saat ayah atau mertua berkedudukan sebagai penguasa.
Praktek kuasa semacam itu dapat dinilai sebagai kesengajaan atau secara sadar melakukan pengabaian terhadap etika berpolitik. Belakangan semakin diperparah ketika Ketua Mahkamah Konstitusi menjadi adik ipar penguasa dan kini mengabulkan tuntutan soal usia calon wakil Presiden agar boleh usia minimal 35 tahun dengan tambahan klausul sedang/pernah menjadi kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan umum.
Maju jadi calon wali kota saat ayah dan mertuanya jadi Presiden, menjadi ketua umum partai saat ayahnya menjadi Presiden dan 'Pembina informal' partai, dan dikabulkanya tuntutan batas usia, ini mesti dilihatnya bukan semata- mata soal hak konstitusional tetapi penting untuk dicermati bahwa itu terjadi di era dimana harapan demokrasi yang berkualitas itu begitu tinggi, sedangkan politik dinasti itu sesungguhnya sebagai praktek kekuasaan yang bertentangan dengan upaya membangun demokrasi yang berkualitas.
Fakta politik dinasti ini semakin parah jika ternyata kemudian sang Ayah yang merestui bahkan mendorong hal itu terjadi. Jika bukan anak penguasa, kira-kira akankah ia terpilih sebagai wali kota atau ketua umum partai politik?
Lalu ada apa sesungguhnya sampai harus bersikeras untuk terus berkuasa dan bangun dinasti politik?
Kleptocracy
Penguasa yang ngotot ingin terus berkuasa bahkan berkeinginan kuat agar lingkaran keluarganya terus berada di pusat-pusat kekuasaan (dinastik) biasanya karena ada dua kemungkinan yaitu karena ingin terus menikmati hidup sebagai penguasa dengan berbagai privilege nya atau karena ingin mengamankan nasib diri dan keluarganya dari kemungkinan terburuk jika kekuasaan yang berkuasa sesudahnya justru mengadili praktek jahat kekuasaanya.
Alasan untuk terus menikmati hidup sebagai penguasa dengan berbagai privilege nya saja sudah bertentangan dengan etika politik karena menunjukkan haus kuasa dan korup, apalagi untuk mengamankan nasib diri dan keluarganya.
Pertanyaanya praktek jahat apa yang membuat seorang penguasa takut diakhiri kekuasaanya? Biasanya itu menyangkut perbuatan penguasa yang secara hukum atau konstitusi dinilai sebagai telah melanggar hukum yang memungkinkan ia dijebloskan kedalam penjara. Misalnya praktek korupsi atau praktek maling atau memanfaatkan kekuasaanya untuk memperkaya diri dan keluarganya. Kekuasaan seperti itu oleh para ilmuwan politik disebut Kleptocracy.
Secara etimologis, istilah kleptokracy berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti kekuasaan yang diperintah oleh para pencuri, para maling yang bertopeng penguasa meskipun terpilih secara elektoral melalui pemilu.
Istilah kleptocracy dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam karya klasiknya, Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah menumpuk kekayaan pribadi, praktek kekuasaan yang koruptif.
Data Indeks korupsi Indonesia saat ini menunjukan skor yang sangat buruk, karena hanya mendapat skor 34 (TI,2023). Artinya rapotnya sangat merah, korupsi merajalela. Data KPK menyebutkan ada 60 % koruptor adalah politisi. Itu fakta praktek kleptocracy yang tidak bisa dibantah.
Sejak lama Lord Acton (1833-1902) mengingatkan melalui adagiumnya yang populer, Power tends to corrupt absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut korupsinya juga absolut). Politik dinasti itu bisa menjadi persembunyian praktek kekuasaan yang kleptokratif, apalagi kemudian ngotot untuk terus berkuasa padahal faktanya rezim sangat korup, apalagi kemudian terbukti di bawah kekuasaanya misalnya banyak para menterinya tersangkut korupsi. Lalu, untuk apa ngotot terus berkuasa dan melanggengkan kekuasaan melalui anak-anak dan menantunya? (*)