Koalisi Keranjang Telur
Oleh Ady Amar - Kolumnis
MASIH ingatkah pada Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), terdiri dari Partai Golkar, PAN, PPP, yang kelahirannya begitu cepat. Cukup dalam satu kali pertemuan terbentuklah koalisi itu. Saat ini inisial B pada KIB boleh jika mau diganti yang tadinya Bersatu menjadi Bubar. Tidak perlu diumumkan secara resmi bubarnya--karena ini koalisi main-main, dibuat asal-asalan--tidak seperti kelahirannya. Konon KIB itu diinisiasi istana.
Pada awalnya itu dimaksudkan menekan PDIP, agar cepat-cepat mencapreskan Ganjar Pranowo. Jika tidak, maka lewat KIB kursi buat Ganjar itu disiapkan. Ganjar saat itu masih jadi "idola" utama, yang digadang sebagai pengganti Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Saat ini peta politik sudah berubah. Endorse Jokowi sepertinya tidak lagi pada Ganjar, tapi beralih pada Prabowo Subianto. Pertimbangan pilihan siapa pengganti Jokowi, itu bisa berubah demikian cepatnya, tentu bukan sekadar suka tidak sukanya Jokowi pada Ganjar, yang lalu beralih pada Prabowo. Tapi ada pertimbangan lain, ingin diakhirinya dominasi PDIP jadikan presiden sebagai "petugas partai".
Jika tetap pilihan pada Ganjar, maka presiden selaku "petugas partai" akan tetap mengikat pada PDIP, itu yang mesti disudahi. Bukankah Jokowi juga petugas partai (PDIP), itu hal yang kerap disebut-sebut Megawati Sukarnoputri dalam berbagai kesempatan. Label Jokowi sebagai petugas partai, itu mengecilkan peran presiden dalam fungsi ketatanegaraan. Pelabelan sebagai petugas partai, itu dimaksudkan sekadar mengikat presiden untuk tahu diri dari mana ia berasal.
Tapi tentu ada pertimbangan lain yang lebih utama, dan itu kepentingan "kelompok tak tampak tapi berkuasa" mewarnai seluruh kebijakan hampir sepuluh tahun terakhir ini. Suasana demikian yang ingin dipertahankan pasca Jokowi lengser. Buat mereka akan jauh lebih leluasa, jika presidennya tidak merangkap sebagai "petugas partai".
Maka, KIB perlu "dibubarkan", dianggap tidak perlu. Anggota koalisinya dibuat bercerai berai, memilih berinduk pada koalisi lainnya. PPP jauh hari sudah memilih koalisi bersama PDIP melenggang meninggalkan Golkar dan PAN. Maka disusul berikutnya, Golkar dan PAN, yang memilih menginduk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), yang digawangi Gerindra dan PKB. Tuan rumah (KKIR) memilihkan tempat deklarasi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Menteng Jakarta Pusat, Minggu (13 Agustus 2023), mengusung Prabowo Subianto sebagai capres.
Bergabungnya Golkar dan PAN ke KKIR, bisa disebut atas arahan Presiden Jokowi. Begitu pula bergabungnya PPP ke PDIP, itu pun atas arahan Jokowi. Pokoknya gabung berkoalisi dulu, sedang soal siapa nanti cawapresnya akan dipikirkan belakangan, mengikuti dinamika politik yang berkembang. Tentunya juga melihat tingkat keterpilihan cawapres dalam kontestasi pilpres.
Dengan memasukkan Golkar dan PAN, maka PKB tidak punya nilai tawar yang kuat untuk menggertak dengan akan meninggalkan Gerindra, jika Muhaimin Iskandar (Cak Imin) tidak menjadi cawapresnya. Meski itu sekadar gertakan saja, supaya PKB masih dilihat "berdaulat", yang ditandai masih mampu bermanuver. Melihat semua itu, Jokowi perlu menenangkan hati Prabowo dengan mengunci memasukkan Golkar dan PAN di sana.
Prabowo mengatakan bergabungnya Golkar dan PAN itu bukan atas dorongan Presiden Jokowi, itu sekadar mengesankan bahwa tidak ada campur tangan istana. Prabowo ingin menunjukkan bergabungnya mitra koalisi baru itu atas inisiatif partai bersangkutan dalam memilih dirinya sebagai capres. Tapi semua mafhum, ada skenario istana sebagai pengarah.
Maka tidak perlu ditanya, mengapa pilihan Golkar dan PAN jatuh pada KKIR, tidak pada koalisi PDIP bersama PPP, tentu tidak sekadar suka-suka Jokowi. Dan bandul memang sedang berpihak pada Prabowo, maka mengarahkan Golkar dan PAN ke KKIR itu lumrah. Bolehlah jika lalu disimpulkan ekstrem, bahwa Jokowi sudah "berpisah" dengan PDIP, dan itu diperlihatkan dengan menguatkan KKIR. Meski memang dalam politik aliansi bergabungnya satu partai dengan partai lainnya, itu hal biasa bahkan bisa secepat membalik telapak tangan. Segalanya bisa terjadi, skenario babak-babak lanjutan pun kemungkinannya masih terbuka untuk tercerai berai satu dengan lainnya.
PDIP jika masih punya marwah, tentu tidak akan tinggal diam melihat manuver Jokowi, melihat lagak "petugas partai" yang dibesarkan coba meninggalkan di ujung akhir masa jabatannya, dan di masa krusial akan eksistensi PDIP ke depan. Tapi soliditas PDIP saat ini memang tidak sekuat 2019 lalu, saat mencapreskan Jokowi untuk periode keduanya. Saat ini godaan pada PDIP itu berlapis. Muncul manuver di internal PDIP sendiri, kelompok yang tak menerima pencapresan Ganjar. Bisa dilihat dari manuver beberapa tokohnya yang terang-terangan memuji Prabowo itu lebih pantas menggantikan Jokowi sebagai presiden. Hal tabu itu bisa dilakukan pada masa PDIP di masa lalu, yang menganut falsafah tegak lurus bersama Megawati.
Ditambah lagi gangguan eksternal yang menyengat PDIP--kasus BTS yang menyeret suami Puan Maharani, Happy Hapsoro--hal yang juga mustahil di masa lalu itu bisa menyentuh mengena keluarga Megawati. Dinamika politik sudah tidak lagi berpihak pada PDIP tanpa batas seperti di masa lalu, itu yang mesti dipahami Megawati. Jika masih berlagak seperti Megawati yang dulu, yang bisa mengendalikan sang "petugas partai", maka tidak mustahil hasilnya berbalik mengenaskan.
Seiring itu muncul pula riak-riak kecil manuver dari PPP, yang diwakili politisi seniornya Arsul Sani. Minta ketegasan PDIP mencawapreskan Sandiaga Uno. Jika tidak, maka PPP akan berpikir untuk pindah koalisi. Meski akhirnya Arsul Sani "diadili" partainya dengan mengatakan, bahwa itu suara pribadinya, bukan suara resmi partai (PPP). Tapi tetap saja manuver itu tidak berdiri sendiri, tapi punya korelasi bandul endorse yang beralih dari Ganjar ke Prabowo. Tapi gertak sambal PPP ini ditantang balik petinggi PDIP, dipersilahkan jika PPP akan hengkang.
Prabowo dengan Gerindra-nya pastilah sumringah melihat bandul istana memihaknya, dan itu jerih atas pengabdian tanpa batas pada Jokowi. Kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala pun dilakukan agar Jokowi lebih melihatnya ketimbang melihat Ganjar. Semua itu dilakukan Prabowo Subianto, agar ia terpilih sebagai penerus orde keberlanjutan Jokowi. Sepertinya itu akan berhasil. Tapi tetap saja dinamika politik akan bisa berubah kapan saja, dan Prabowo harus terus tetap merawat kemesraan tanpa batas, itu jika ingin tetap dalam radar pilihan Jokowi.
Nyebur-nya Golkar dan PAN ke KKIR dan PPP bersama koalisi PDIP, itu apakah sampai basah kuyup. Artinya, apa juga diikuti oleh konstituen di bawah, yang itu riil suara penyumbang kemenangan, kok rasanya tidak demikian. Mayoritas konstituen PAN dan PPP khususnya, bisa jadi juga Golkar, itu auranya memilih Anies Baswedan. Tapi jika saja yang dibutuhkan KKIR khususnya, dan itu Prabowo Subianto, sekadar banyaknya jumlah partai yang mendukungnya, itu lain soal. Itu bisa diibaratkan Koalisi Keranjang Telur. Akan tetap disebut keranjang telur, meski tak ada isi telur di dalamnya. Sekadar keranjang, namun tanpa isi.
Memilih capres tidak identik dengan memilih partai pendukungnya. Tapi jika partai politik memilih capres berdasar suara konstituennya, maka itu berdampak signifikan dengan memilih partai itu. Begitu pula sebaliknya, jika abai dengar suara konstituen, maka partai bersangkutan ditinggal konstituennya. Artinya, siap-siap hengkang dari Senayan.
Lalu untuk apa sampai partai politik memilih capres yang bukan suara konstituennya, ini soal yang semua pastilah tahu. Malas ah jika mesti mengulang-ulang kasus yang tak tersentuh hukum--kasus minyak goreng, hutan dan seterusnya--dan itu menjerat ketua umum partai bersangkutan, jadi sandera politik selamanya. Duh Gusti...**