Kompetensi Pedagogik, Sebuah Keniscayaan
By Dr. Elli Widia S.Pd. MM.Pd.*
Jakarta FNN – Jum’at (01/05). Orang-orang pandai dan sukses pasti sepakat bahwa tidak ada pahlawan yang lebih berjasa bagi mereka selain guru. Maka, tak heran ada adagium yang menyebutkan bahwa orang hebat bisa melahirkan beberapa karya bermutu. Tetapi guru yang bermutu dapat melahirkan ribuan orang-orang hebat.
Mendidik, membimbing, dan menjadi orangtua pengganti. Begitulah sejatinya peran seorang guru bagi anak-anak didiknya. Sehingga wajar ada semboyan “Tut Wuri Handayani” (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan) atau “Digugu dan ditiru”.
Semboyan itu mengandung makna bahwa guru bukan profesi yang sembarangan. Ia dijadikan model untuk ditiru. Oleh karena itu, para guru dituntut untuk selalu tampil prima. Tidak ada alasan bagi guru untuk menunjukkan suasana hati yang tidak menyenangkan (bad mood) di hadapan peserta didiknya.
Lantas, apa yang melatarbelakangi seseorang untuk menekuni profesi sebagai guru? Ternyata jawabannya bervariasi. Seseorang tertarik menjadi guru, antara lain sekedar mengisi waktu luang karena suami atau istrinya pulang kerja di sore atau malam hari. Tipe guru seperti ini bisanya saat sedang mengajar selalu melihat jam untuk mengetahui kapan waktu istirahat dan kapan waktunya pulang. Karena kegiatan mengajarnya cenderung hanya betujuan untuk mengisi waktu luang.
Ada pula motivasi seseorang menjadi guru karena faktor ekonomi. Tujuannya, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sehingga bisa jadi setiap mengajar, guru dimaksud sering melihat tanggal kapan waktunya gajian.
Tetapi ada pula alasan seseorang menjadi guru karena panggilan jiwa dan idealisme. Tipe guru seperti ini mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pendidik yang kompeten dan professional. Bagian dari upayanya memajukan anak didik serta lembaga tempat dirinya bekerja sebagai pendidik.
Pada sisi lain, saat ini kesejahteraan guru sudah relatif lebih baik. Beberapa insentif diberikan. Artinya, para guru menerima tambahan pendapatan, sehingga tidak sedikit orang kini mulai melirik profesi yang satu ini. Karena itu pula, apapun motivasi dan alasan menjadi guru, mereka dituntut untuk menjadi pengajar dan pendidik yang kompeten dan profesional.
Dalam kaitan ini, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, setidaknya ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Guru idealnya memilki keempat kompetensi tersebut secara holisitik (menyeluruh). Kompetensi itu tercermin pada penampilan dan kinerjanya sebagai seorang pendidik, sehingga yang bersangkutan layak disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional.
Dengan kompetensi pedagogik dimaksud, bahwa seorang guru harus memiliki kecakapan. Juga ketrampilan dan seni, sehinggga tercipta suasana yang nyaman dan menyenangkan ketika proses pembelajaran berlangsung di dalam kelas. Kompetensi pedagogik inilah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainnya.
Tidak dapat dipungkiri, kompetensi ini mengharuskan seorang guru menguasai karateristik peserta didik. Menguasai prinsip dan teori dasar pembelajaran. Faham tentang pengembangan kurikulum, dan rapi dalam urusan administrasi kelas.
Selain itu, seorang guru harus bisa melaksanakan kegiatan pembelajaran yang bervariasi, serta dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan. Harus mampu memanfaatkan teknologi informasi yang kini dipengaruhi oleh revolusi industri 4.0.
Era revolusi industri 4.0 itu sendiri membutuhkan tenaga kerja, termasuk guru yang memiliki keterampilan dalam literasi digital dan literasi teknologi informasi. Ketrampilan itu dalam upaya meningkatkan efektivitas proses pembelajaran.
Sementara itu, kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa. Menjadi teladan bagi peserta didiknya. Disamping itu, mampu mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara berkelanjutan.
Pada umumnya, lembaga pendidikan, setiap sekolah memiliki standar tersendiri dalam merekrut calon guru untuk tenaga kependidikan di sekolah dimaksud. Sudah barang tentu syarat yang mutlak harus dimiliki adalah ijazah sebagai pendidik atau sertifikat sebagai pendidik.
Tetapi syarat berupa ijazah sebagai pendidik saja belum cukup. Karena jika seseorang tidak memiliki jiwa sebagai pendidik, maka yang bersangkutan tidak akan bisa menjadi seorang guru yang kompeten dan berintegritas. Namun dari mana kita bisa melihatnya? Tidak lain dari kepribadiannya. Maka di sinilah terasa arti pentingnya kompetensi kepribadian itu.
Guru juga harus memiliki kompetensi profesional. Dengan kompetensi ini, yang bersangkutan tentu harus mempunyai ijazah sebagai pendidik atau sertifikat pendidik. Harus juga menguasai falsafah pendidikan. Mempunyai pengetahuan terkait bahan pelajaran yang akan diberikan, serta memiliki kemampuan menyusun program pembelajaran, sekaligus mampu melaksanakannya.
Guru yang profesional juga dapat melakukan penilaian dalam proses pembelajaran dan memberikan bimbingan kepada anak-anak didik untuk mencapai tujuan program pembelajaran. Selain itu, juga dapat bertindak sebagai administrator dan komunikator yang baik. Mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
Guru yang dengan kompetensi seperti itu, akan mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif. Mampu melaksanakan tugas secara optimal untuk kepentingan pencapaian hasil belajar siswa khususnya, dan pencapaian mutu pendidikan pada umumnya.
Peran guru itu sejatinya adalah melayani perserta didik dan orangtua yang sudah mengamanahkan anak-anaknya untuk bisa dijadikan anak didik. Harapannya, kelak kemudian hari menjadi orang-orang yang berguna bagi sesama. Bermanfaat orang banyak.
Dalam kaitan itu pula, seorang guru wajib untuk selalu berusaha membangun komunikasi yang baik dengan orangtua murid. Tujuannya, agar proses dalam mendidik dan membimbing anak-anak bisa sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka, di sinilah arti pentingnya seorang guru harus memilki kompetensi sosial itu.
Khusus terkait pembelajaran, sejak Mendikbud mengeluarkan Surat Edaran No. 36962/MPK.A/HK/2020 agar seluruh kegiatan belajar-mengajar menggunakan metoda daring (dalam jaringan) alias online sebagai upaya pencegahan terhadap penyebaran Covid-19, banyak kisah menarik, lucu, maupun sedih yang terjadi dalam proses belajar dengan metode ini.
Bisa dilihat bagaimana stresnya orangtua yang mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Bagaimana siswa kebingungan menghadapi tumpukan tugas yang dianggap rumit dari para pendidik. Apalagi sebagian orang juga juga masih gagap teknologi.
Pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terkait adanya wabah Covid-19 ini, guru dituntut untuk berinovasi dalam memberikan pembelajaran kepada peserta didik di rumah. Inovasi dimaksud makin terasa penting, karena tidak semua orangtua mampu memberikan alat komunikasi berupa laptop, komputer atau handphone (telpon genggam) bagi anak-anaknya.
Maka, tuntutan agar guru memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial semakin terasa di era masih mewabahnya Covid-19 ini, yang mengharuskan anak-anak belajar di rumah. Dengan kata lain, kini makin disadari bahwa kehadiran guru yang bermutu merupakan sebuah keniscayaan.
Lebih dari itu, berbicara tentang guru adalah berbicara tentang masa depan. Karena guru yang bermutu dan berintegritas akan melahirkan generasi yang baik dan merdeka dari segala kebodohan. Generasi yang baik tersebut akan senantiasa memberikan kontribusi yang luar biasa bagi dirinya, keluarganya, bangsanya, dan negaranya.
*Penulis adalah Guru SD Islam Nabilah dan Dosen Pascasarjana Fak. Ekonomi Universitas Batam