Konstitusi Mengancam Kesadaran

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI 

RAKYAT Indonesia tak perlu kaget dan tak perlu terguncang terhadap pengesahan RKUHP baru-baru ini. Karena  konspirasi para petinggi kekuasaan yang mengusung konstitusi tanpa nurani itu, sejatinya, telah menghasilkan republik ini menjadi paripurna kehilangan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.

Indonesia kembali memasuki masa kegelapan. Kebenaran menjadi sesuatu yang langka untuk ditemukan. Praktik-praktik penyimpangan dipaksa menjadi konsumsi publik. Keharusan meninggalkan akal sehat dan pasrah menerima keburukan, telah menjadi menu sehari-hari rakyat. Kejahatan begitu angkuh dan bangga mengambil peran kepemimpinan. Mengambil harta dan aset rakyat melalui  jalan konsitusi, penghianatan terus melenggang atas nama kehormatan, otoritas dan kewenangan. Rakyat hidup bagaikan sapi potong, yang diperah susunya, dimakan dan dijual dagingnya. Lengkap sudah sebagai obyek penderitaan, dikuasai dan ditindak tegas untuk diambil nilai ekonomisnya.

Apa yang tidak diberikan rakyat kepada negara, termasuk kepada para pemimpin, pejabat dan aparatur penyelenggara negara?. Bahkan keberadaannya saja sudah menjadi pondasi sekaligus menopang kokoh berdirinya negara. Diam dan membisunya rakyat saja demi keselamatan negara. Jerih payah rakyat yang terkadang tidak sekedar mungucurkan keringat, namun air mata dan darah rela ditumpahkan karena kecintaannya pada negara. Kekayaan dan begitu banyak pengorbanan non materi lainnya,  begitu mudahnya tanpa pamrih dan perhitungan  diberikan rakyat untuk negara. 

Pajak berlimpah, partisipasi dan swadaya untuk pembangunan serta ketaatan pada peraturan negara, tak habis-habisnya dilakukan rakyat sepanjang hidupnya dan dari generasi ke generasi,  demi eksistensi dan kelangsungan negara.

Lalu apa lagi yang masih dan ingin diungkapkan tentang apa yang rakyat telah berikan buat negara?. Rasanya sudah sepantasnya ada pertanyaan, apa yang telah diberikan negara pada rakyatnya?. Kemakmuran kah?, keadilan kah?, atau mungkin sebuah negara kesejahteraan?.

Kalau saja penyelenggara negara mengetahui siapa rakyat sesungguhnya, dan apa yang telah dikorbankan rakyat untuk negara. Pastilah para pemimpin, pejabat dan semua aparatur penyelenggara negara itu, tahu menempatkan diri dan tahu batasannya bagaimana memperlakukan rakyat selayaknya. Pemerintah yang yang mendapat kepercayaan dan hanya meminjam kedaulatan rakyat yang sesungguhnya menjadi penguasa sebenarnya. Petinggi negara yang tahu diri darimana mereka berasal dan untuk apa mereka mengemban amanat rakyat. Memahami bagaimana kekuasaan itu hadir sesungguhnya untuk kemaslahatan rakyat, negara dan bangsa. Bukan kemudharatan,  berlaku khianat apalagi dzolim kepada rakyat.

Setelah rangkaian musibah yang bertubi- tubi melibatkan alam dan kemanusiaan. Bangsa Indonesia yang sempat mengenyam julukan masyarakat religius,  terguncang dan terkapar kesadaran spiritualnya.  Satu-satunya pencerahan terbaik mungkin, adalah bermunajat kepada Sang Khalik. Melakukan refleksi, intropeksi dan evaluasi diri secara masif baik secara personal maupun komunal dalam kehidupan kebangsaan. Menyadari bangsa ini telah diselimuti kerusakan,  kehilangan daya tumpu moralitas, ahlak dan substansi keagamaan. Manusianya tercerabut dari nilai-nilai universal kemanusiaan. Sistemnya resisten dan menanggalkan utuh nilai-nilai fundamental Ketuhanan.

Begitulah NKRI yang di dalamnya Pancasila dan  UUD 1945 telah lama menjadi warisan usang dan distorsi penyelenggaraan negara menemukan modus baru yang modern dan fungky. Mengumpulkan semua penyelewengan dan kejahatan negara dalam wadah apik dibumbui legalitas dan legitimasi negara. Republik dipenuhi para kriminal elit dan borjuis, berkedok pemerintahan dan menasbihkan diri dan kelompoknya sebagai raja beserta punggawa demokrasi. Mengintimidasi dan teror serta kriminalisasi,  atas nama undang-undang dan demi kesinambungan harta dan tahtanya. Mereka itulah kacang yang lupa kulitnya, yang menjadikan rakyatnya sendiri seperti seteru dan musuhnya. Ya mereka semua itu yang sekarang ada di singgasana. Minoritas yang mengangkangi dan membui mayoritas. Segelintir yang membagun dinasti kekuasaan, melalui konstitusi yang mengancam kesadaran. (*)

395

Related Post