KPP, dan Strategi Baru Menuju Pilpres 2024: Antara Kecewa-Marah, dan Harapan

Oleh Ady Amar - Kolumnis

SEMALAM sempat melihat curhatan hati seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6, di sebuah televisi swasta. SBY terlihat begitu emosional. Suaranya kerap ditekan sekuatnya, menimbulkan suara lirih rengekan terlontar mendayu. Ini semacam ciri khas SBY, seperti yang sudah-sudah di masa lalu, jika hal yang "menyerangnya" ia mengklarifikasi dengan bahasa penuh iba.

SBY tampak kesal dengan dinamika politik yang terjadi, yang disebutnya dengan "melebihi kepatutan (yang dibolehkan) moral politik". Itu setelah sang putra tercinta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat terhempas dari skenario awal yang digadang sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) mendampingi Anies Baswedan, yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).

Tiba-tiba seperti sapuan kilat menyambar, membuat AHY terhempas dimentahkan oleh strategi yang lebih dipilih dengan menduetkan Anies dan Muhaimain Iskandar--akrab dipanggil Cak Imin--Ketua Umum PKB. Strategi baru yang dipilih, itu mengindikasikan ada yang kurang yang perlu ditutup. Karenanya, strategi baru perlu dimainkan, dan itu ceruk suara dari kaum nahdliyyin, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Strategi itu perlu dimainkan, dan itu hal biasa dan wajar. Jika ada yang kurang, maka perlu ditambal dengan hal yang memungkinkan agar kekurangan itu tertutupi. Sebuah ikhtiar yang seharusnya dilakukan. Hanya saja ada yang pakewuh dan memilih tidak melakukannya, meski analisa menafsir kekalahan ada di depan mata. Anies, dan itu juga NasDem, dan kemudian diikuti PKS salah satu partai koalisi, memilih mengambil strategi baru itu. Sebuah ikhtiar menuju kemenangan.

Sedang Partai Demokrat memilih jalan lain, dan itu meninggalkan koalisi yang telah dideklarasikan dengan penandatanganan "nota kesepahaman" memilih Anies Baswedan selaku capres, dan menyerahkan cawapresnya pada Anies untuk memilihnya. Artinya, Anies boleh memilih siapa cawapres yang dikehendakinya. Demokrat mendesak agar cawapres Anies diumumkan segera.

Tarik-ulur muncul antara yang menghendaki cawapres segera diumumkan (Demokrat), dan yang menganggap cawapres diumumkan menunggu momen yang pas (NasDem). Sedang PKS berada dalam suasana lebih menjaga harmonisasi tarik ulur antara dua partai koalisi lainnya (Demokrat dan NasDem). Sikap bijak  diperagakan PKS. Cakep.

Dan, malam hari tanggal 31 Agustus, berita Cak Imin disandingkan sebagai cawapres membersamai Anies menyebar. Dinamika muncul dengan begitu cepatnya, itu di luar nalar yang bisa dipercaya. Tapi dalam politik apa yang tidak mungkin, itu bisa dimungkinkan. Tanpa ba bi bu, Anies dipanggil Surya Paloh di NasDem Tower, malam 30 Agustus, lalu nama Cak Imin disodorkan sebagai cawapresnya. Anies terhenyak kaget, dan mengatakan akan membicarakan terlebih dulu dengan kawan koalisi lainnya. Diutuslah Sudirman Said menemui Tim 8, disampaikan putusan sudah diambil, Cak Imin yang dipilih mendampingi Anies. Tidak bisa digambarkan suasana tegang yang ditimbulkan, terutama yang dirasakan Demokrat. Lalu, Demokrat coba menelepon Anies menanyakan kabar yang bak kilat menyambar itu. Anies menjawab, hal itu benar. Artinya, benar Cak Imin dipilih jadi Bacawapres.

Suasana psikologi batin Demokrat tak bisa dilukiskan. Sikap emosional dengan berbagai pernak-pernik dimunculkan, menurunkan seluruh baliho Demokrat yang menampilkan gambar Anies dan AHY--bahkan ada wajah Anies yang sedang ditutup dengan cat, ada yang merobek-robeknya dan membuangnya ke tong sampah, ada pula "fatwa" dari politisi Demokrat Sumatera Utara yang mengatakan halal darah pengkhianat--sampai memilih keluar dari KPP, yang disertai melabeli Anies sebagai "pengkhianat", "musang berbulu domba" dan seterusnya.

Tidak tahu persis Demokrat akan berlabuh di koalisi yang dikomandani Prabowo, atau memilih bergabung dengan PDIP. Bagaimanapun juga PDIP dalam Rakernas III, Jakarta, 2023, memasukkan AHY sebagai salah satu kandidat bacawapres menyertai Ganjar Pranowo. Mungkin Demokrat bisa lakukan penjajakan dulu pada PDIP, apakah masih terbuka tawaran pada AHY itu. Tapi semua tahu, tawaran PDIP itu lebih bersifat menggoda soliditas KPP. Atau mungkin pilihan berlabuh pada Koalisi Indonesia Maju yang dimotori Prabowo, bersama Gerindra, PAN, dan Golkar.

Atau bisa saja jika Demokrat memotori membuat koalisi baru, dan itu bersama PPP. Jika cuma PPP yang dirangkul, maka suara untuk membuat koalisi belum tercukupi. Membujuk PKS bisa jadi yang akan dilakukan, tapi PKS sudah mengumumkan akan tetap membersamai Anies Baswedan. Meski demikian, dalam politik tidak ada yang tidak mungkin bisa berubah, jika tawaran menggiurkan, dan tentu kesempatan memenangkan kontestasi Pilpres dimungkinkan.

Sebagaimana yang dilakukan Anies, dan NasDem juga PKS, memilih jalan cepat mengikhtiarkan Anies tidak sekadar mengikuti kontestasi Pilpres, tapi yang lebih utama adalah memenangkan kontestasi itu. Maka, menutup kekurangan Anies harus diupayakan. Cak Imin (PKB) lalu jadi pilihan. Tidak ada yang salah yang dilakukan Anies, meski cara yang dilakukan dengan tidak perlu mendialogkan terlebih dahulu dengan Demokrat, dan PKS. Pertanyaan susulan, jika itu mau diberikan, apakah jika itu didialogkan terlebih dulu akan diterima anggota koalisi. Belum tentu, khususnya akan ditolak oleh Demokrat. Maka, Surya Paloh perlu melakukan langkah cepat dan meminta Anies menyetujui apa yang disorongkannya. Apakah Anies "tertekan" dengan apa yang disorongkan Paloh, sepertinya tidak, meski Anies cukup terkaget.

Dalam politik adalah hal biasa jika mesti melakukan langkah di luar etika umum, maka mengesampingkan budaya sungkan atau pakewuh jadi kelaziman yang dimungkinkan. Maka, mengambil keputusan cepat di saat yang tepat jadi prioritas dikedepankan. Itu tampak dari apa yang terjadi di KPP. Muncul satu pihak (Demokrat) merasa ditinggal, lalu mengumpat di ruang publik memilih keluar dari koalisi.

Apa yang dilakukan Anies, dan itu Surya Paloh, sebenarnya bukan hal baru yang pernah terjadi, itu jika mau melihat lebih ke belakang di mana saat SBY melakukan manuver meninggalkan kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri. Memilih berhadap-hadapan dengan Megawati dalam Pemilu 2004, itu juga menyakitkan Megawati. Peran "dizalimi" Megawati, dan memilih meninggalkan kabinet mengantarkan SBY sebagai presiden RI ke-6.

Megawati menganggap apa yang dilakukan SBY, itu membesar-besarkan persoalan agar mendapat simpati publik, dan memang berhasil. SBY tentu tidak merasa bersalah melakukan hal yang dianggap kubu Megawati sebagai playing victim.  SBY pastinya punya argumen sendiri, bahwa apa yang dilakukannya itu sah-sah saja. Dan langkahnya itu langkah tidak menyia-nyiakan kesempatan. Jika tidak, maka kesempatan menjadi presiden tak akan pernah diraihnya. Bagi politisi yang berpandangan, bahwa kesempatan tidak datang dua kali, itu menemui kebenaran, jika mau menengok langkah yang dipilih SBY.

Karenanya, kemarahan SBY meskipun dibungkus dengan intonasi terjaga dan dengan menekan suara sedemikian rupa, agar yang keluar dari mulutnya tidak meledak-ledak, tapi tetap menyuratkan nada kecewa bercampur marah merasa ditelikung. Katanya, "Kita bersyukur diselamatkan Tuhan, tak mendukung orang yang tak jujur." Anies tentunya yang dianggapnya tak jujur, dan itu sah-sah saja. Seperti sah-sah juga jika Megawati begitu marah pada SBY, karena juga merasa ditelikung. Sakitnya SBY saat ini pernah dialami Megawati saat yang lalu.

Ikhtiar Anies, dan itu NasDem dan PKS, siang ini jika sesuai rencana akan diikat oleh anggota baru koalisi, yaitu bergabungnya PKB. Dan, Surabaya dipilih jadi tempat perhelatan Deklarasi Anies Baswedan dan Muhaimain Iskandar sebagai Bacapres-Bacawapres, yang diusung KPP. Berharap tidak lagi ada onak dan duri yang dihadapi Anies-Imin sampai didaftarkan resmi di KPU. Jika muncul analisa pesimistis tak mengenakkan tentang kelanjutan nasib pasangan Anies-Imin, itu sah-sah saja. Karena tidak ada yang bisa menjamin daulat rakyat saat politik berada di ketiak kekuasaan.**

365

Related Post