Langit Suram Ekonomi Dunia

Argentina dalam kubangan krisis. Dan ekonomi terbesar ketiga di kawasan Amerika Latin tersebut tengah berjuang menghindari krisis yang kian dalam.

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior)

Jakarta, FNN - Awan pekat menyelimuti ekonomi global. Para investor berupaya menyelamatkan asetnya. Mereka menahan diri untuk mengembangkan duitnya. Sejumlah negara sudah masuk jurang resisi. Sampai kini, kondisi masih sulit diprediksi. Perang dagang antara China dan Amerika Serikat memperburuk keadaan. Belum lagi pengaruh hard Brexit dan krisis Argentina

Sejak Senin (2/9) dini hari, rakyat Argentina antre di bank-bank untuk menarik dana mereka, jauh sebelum bank buka. Para nasabah ini menunggu untuk menarik dana setelah pemerintah Argentina memberlakukan kontrol mata uang sebagai upaya menstabilkan pasar keuangan, sejak Minggu (1/9).

Argentina dalam kubangan krisis. Dan ekonomi terbesar ketiga di kawasan Amerika Latin tersebut tengah berjuang menghindari krisis yang kian dalam. Langkah-langkah sementara tersebut memungkinkan pemerintah membatasi pembelian mata uang asing setelah terjadi kemerosotan nilai mata uang peso yang sangat sensitif. Saat ini, semua perusahaan harus meminta izin dari bank sentral Argentina untuk menjual peso dan membeli mata uang asing untuk melakukan transfer ke luar negeri.

Langkah terbaru tersebut mengikuti pengumuman pemerintah untuk menunda pembayaran utang sebesar US$100 miliar. Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) mengatakan, surat utang tersebut telah masuk dalam ketegori default atau berpeluang gagal bayar.

Nilai tukar peso jatuh ke titik terendahnya bulan lalu, atau merosot hingga lebih dari 30% sejak pemilihan umum pada Agustus 2019. Pelaku pasar mengharapkan beberapa bentuk kontrol modal dari pemerintah Argentina. Namun, ada yang khawatir langkah itu dapat membahayakan pencairan dana IMF terbaru dari program bailout bersejarah senilai US$57 miliar.

Tak hanya Argentina. Aura gloomy sudah menerpa berbagai negara. Turki berada di pintu neraka resesi. Pada periode April-Juni 2019, ekonomi Negeri Kebab itu terkontraksi alias negatif 1,5% year-on-year (YoY). Pada kuartal sebelumnya, kontraksi ekonomi Turki lebih dalam yaitu minus 2,4% YoY.

Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun secara YoY pada tahun yang sama. Mengacu pada definisi ini, Turki sudah masuk ke jurang resesi.

Data Purchasing Managers' Index

Awan gelap juga menyelimuti sejumlah negara. Salah satu indikator yang dipantau oleh pasar adalah data Purchasing Managers' Index (PMI). Data ini memberi gambaran apakah dunia usaha melakukan ekspansi, menahan diri, atau justru mengalami kontraksi.

Di AS, angka PMI manufaktur versi ISM untuk Agustus berada di 49,1. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,2. Angka PMI di bawah 50 berarti dunia usaha tidak ekspansif, justru terkontraksi. Oleh karena itu, sudah nyata terlihat bahwa para industriawan di Negeri Paman Sam kurang gairah dan kurang tenaga. Lebih sedih lagi, PMI AS di bawah 50 baru kali pertama terjadi sejak Januari 2016.

Negara-negara lain tak jauh beda. PMI Singapura versi IHS/Markit periode Agustus tercatat 48,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang 51. Dunia usaha di Negeri Singa sedang letoy. Angka PMI Agustus ini menjadi yang paling rendah dalam tujuh tahun terakhir.

PMI Hong Kong versi Markit pada Agustus tercatat 40,8, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 43,8. Lagi-lagi angka di bawah 50. Sudah 17 bulan terakhir dunia usaha di bekas koloni Inggris ini mengalami kontraksi. Bahkan angka Agustus menjadi yang terendah sejak Februari 2009.

Selamatkan Aset

Ekonomi benar-benar dalam ketidakpastian. “Semakin ke sini semakin sulit memperkirakan arahnya ke mana. Ini juga dipengaruhi hard Brexit dan krisis Argentina," kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Nanang Hendarsah, seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (4/9).

Saat ini, nilai tukar negara maju dengan kekuatan ekonomi besar tengah melemah. Yen melemah, franc melemah, sebagai safe haven baru. Sedangkan rupiah membaik, tapi tidak bergerak banyak. Sejak awal tahun rupiah masih terapresiasi 1%. Padahal emerging market semua terdepresiasi secara year to date.

Nanang memperingatkan, meski ada outflow karena ketidakpastian global, tetap waspada. “Setiap hari bisa berubah. Risk dari trade war ini harus dianggap biasa, karena tak ada outlook yang jelas," terangnya.

Sinyal lain juga diperlihatkan Berkshire Hathaway Inc., perusahaan induk milik investor ternama di pasar saham dunia, Warren Buffett. Perusahaan ini membukukan total kas hingga US$122 miliar atau setara dengan Rp1.732,4 triliun hingga akhir Juni 2019.

Tingginya likuiditas perusahaan berkode saham BRK di New York Stock Exchange (NYSE) ini menjadi 'peringatan' bagi pelaku pasar karena secara tidak langsung investasi di pasar saham dinilai terlalu mahal dan bisa juga menjadi indikasi kesulitan keuangan dalam waktu dekat.

Pasalnya jumlah kas yang luar biasa besar tersebut sejatinya dapat digunakan untuk meningkatkan porsi kepemilikan atas saham Apple, Amazon, Bank of America atau bisa juga dimanfaatkan mengakuisisi perusahaan sebagaimana yang dilakukan Buffet sebelumnya.

Akan tetapi, Buffet memilih untuk tidak menggunakannya. BRK membawahi sekitar 66 perusahaan di antaranya General Re, Duracell, Helzberg Diamonds, Benjamin Moore & Co, Berkshire Hathaway Automotive, dan Justin Brands.

Posisi kas BRK pada semester I-2019 setara dengan 60% dari total portofolio perusahaan dengan nilai mencapai US$208 miliar.

Bloomberg mencatat bahwa dalam 32 tahun terakhir, jumlah kas yang mendominasi portofolio BRK hanya tercatat pada tahun-tahun menjelang krisis, seperti krisis keuangan 2008, dikutip dari Market Insiders.

Menerawang langit ekonomi yang tampak suram, sulit memprediksi apa yang bakal terjadi ke depan. Bagi investor, ketimbang menduga-duga dengan diliputi rasa cemas, lebih baik wait and see dulu. End

400

Related Post