Langkah Prabowo, dan Manuver Sandiaga Uno yang Tak Berdiri Sendiri
Oleh Ady Amar - Kolumnis
Sandiaga Salahuddin Uno, politisi Partai Gerindra, kabarnya pindah gerbong. Meninggalkan Partai Gerindra, memilih berlabuh di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sandi, sapaan akrabnya, menjabat sebagai Wakil Dewan Pembina Partai Gerindra. Perannya memang tak menonjol. Ia seperti ditempelkan saja namanya di sana, tanpa punya peran berarti. Setidaknya itu yang tampak. Kepindahannya itu memang belum pasti benar.
Tapi setidaknya elite Gerindra menyatakan kebenaran kepindahannya itu. Bahkan sudah dilaporkannya pada Prabowo. Mendapat laporan itu, Prabowo hanya senyum saja. Tak persis tahu apa makna senyumnya itu.
Diangkatnya Sandi sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) di Kabinet Indonesia Maju, seperti tidak mewakili Gerindra. Lebih sebagai sikap Presiden Jokowi untuk merangkul capres dan cawapres pesaingnya pada Pilpres 2019--Prabowo-Sandi--untuk berjuang bersama dalam kabinetnya. Prabowo memang lebih dulu bergabung, menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).
Prabowo dipastikan akan maju lagi sebagai capres di 2024. Meski usia bisa dibilang tidak mudah lagi, tapi semangat ingin mencicipi jabatan presiden tidak pernah kendor. Belum tahu persis siapa yang akan berpasangan dengannya.
Sebelumnya, deklarasi Gerindra bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sudah dilakukan. Terkesan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, seolah otomatis jadi cawapresnya. Belakangan, sepertinya itu tidak akan terjadi. Deklarasi koalisi dua partai itu seakan pupus sebelum berkembang. Wajar jika Prabowo berharap dapat cawapres yang "menjual", yang setidaknya punya elektabilitas memadai, yang bisa menyumbang suara signifikan untuk kemenangannya.
Memang koalisi Gerindra dan PKB telah mencukupi persyaratan parliament threshold 20% untuk mengikuti Pilpres. Tapi buat Prabowo Subianto, itu belum cukup, yang diharap tentu lebih jauh lagi, yaitu memenangkan kontestasi Pilpres 2024.
Prabowo dan para pendukungnya pastilah tidak berharap hanya sekadar sebagai capres dan capres lagi--jika Prabowo Subianto mengikuti Pilpres 2024, ini keikutsertaan ketiganya untuk capres (2014 dan 2019). Sedang sebelum itu, Prabowo pernah menjadi cawapres (2009) mendampingi Megawati Soekarnoputri.
Era keemasan Prabowo, juga Sandi, memang tidak segemerlap saat mengikuti Pilpres 2019. Gemerlap Prabowo saat itu utamanya lebih didasarkan pada status Gerindra yang memilih di luar kekuasaan. Prabowo disebut oposan terdepan rezim Jokowi.
Sedang Sandi, menjadi populer karena sebelumnya berjuang bersama Anies dalam Pilkada DKI Jakarta. Dan tentu, tampilan Sandi yang modis, tampan, dan kaya melintir, itu pula yang menaikkan popularitasnya. Sandi muncul jadi idaman emak-emak muda dan bahkan emak-emak yang tidak muda lagi.
Setelah kalah di Pilpres 2019, Pilpres yang dianggap sarat manipulasi, bukannya Prabowo makin keras sikap oposannya, tapi justru memilih pilihan sebaliknya, bergabung dengan Jokowi-Ma'ruf Amin. Jokowi saaat itu menginginkan satu paket, Prabowo-Sandi masuk kabinetnya. Sandi masih memilih di luar kabinet, mungkin pekewuh dengan pendukungnya, khususnya emak-emak.
Tapi tidak perlu waktu lama, ia pun bergabung dengan Jokowi, mengikuti jejak Prabowo. Meninggalkan kekecewaan mendalam para pendukungnya. Langkah pragmatis yang dipilih tanpa melihat perasaan massa pendukungnya, itu seolah hal biasa. Tapi tidak sebagaimana suasana batin yang dirasakan massa pendukungnya, yang semula mengelu-elukan beralih mengumpat sumpah serapah.
Langkah pragmatis yang dipilih, itu menegaskan seolah mereka memang ingin mencukupkan perjuangan sampai disitu saja. Tidak berharap menjajal peruntungan maju lagi di Pilpres berikutnya. Maka, bergabung bersama Jokowi jadi pilihan. Sedang suasana batin massa pendukungnya tidaklah perlu jadi pertimbangan.
Seiring perjalanan waktu, tampaknya keinginan maju lagi, baik Prabowo maupun Sandi tak bisa dibendung untuk ikut dalam kontestasi Pilpres 2024. Taklah mengapa. Pastilah keduanya punya hitungan-hitungannya sendiri. Setidaknya lembaga survei menguatkan, bahwa Prabowo masih punya tingkat keterpilihan cukup tinggi. Setidaknya ia ada di 3 besar (Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo). Bahkan tidak sedikit lembaga survei meletakkan Prabowo di posisi pertama. Sandiaga Uno ditempatkan lebih sebagai cawapres, pun punya elektabilitas lumayan, meski belum yang teratas. Itu dimungkinkan, karena ia belum benar-benar resmi diusung partai tertentu untuk maju dalam Pilpres yang akan datang.
Meski masa keemasan keduanya, memang sudah lewat bersama pilihan pragmatis saat memilih bergabung dengan rezim Jokowi. Itu tidaklah jadi kekhawatiran berarti bagi keduanya. Meski pernah meninggalkan massa pendukungnya, yang bahkan berdarah-darah membelanya. Kematian sekitar 859 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), itu pun disinyalir dalam rangkah membelanya. Janji Prabowo saat itu untuk menyelidiki kematian petugas KPPS, cuma pepesan kosong, itu amat diingat pendukungnya.
Beberapa ulama kritis, yang dianggap masuk dalam barisan pendukung Prabowo-Sandi, mengalami kriminalisasi pasca Pilpres 2019, beberapa diantaranya dipenjarakan dengan tuduhan mengada-ada, tidak muncul pembelaan dari keduanya. Seolah penangkapan ulama, itu tidak ada korelasi dengannya. Habib Rizieq Shihab dizalimi dan FPI dibubarkan, tidak muncul pembelaan dari mulut mereka, meski hanya sekadar pernyataan empati.
Manuver Rasa Istana
Sandiaga Uno tidak tampak perannya di Gerindra. Tidak ada peran yang bisa dimainkannya. Seperti tertutup oleh kebesaran Prabowo Subianto, yang tidak saja sebagai Ketua Umum, tapi juga Ketua Dewan Pembina. Kekuatan Gerindra absolut ada di tangan Prabowo. Tak menyisakan sedikit ruang untuk Sandi. Sulit bagi Sandi bisa menggeliat lebih besar lagi, yang dimungkinkan.
Pilihan politiknya meninggalkan Gerindra, itu bisa jadi dalam rangka pembuktian, bahwa ia masih punya kans berkontestasi dalam Pilpres 2024. Karenanya, ia siap bersimpangan jalan dengan Prabowo, setidaknya orang yang sedikit banyak mengajarkan a,b,c nya politik dengan mengajaknya bergabung di Gerindra. Tak ada kawan abadi dalam politik, meski itu tak diharap Sandi, setidaknya adagium itu membuktikan.
Maka, manuver Sandi hengkang dari Gerindra dan berlabuh di PPP, jika itu benar, itu jadi pilihan yang seharusnya. Entah nantinya diusung sebagai Capres atau Cawapres, itu menjadi lebih punya kemungkinan, ketimbang ia masih bersama Gerindra. Manuver Sandi itu diyakini tidak lepas dari peran istana dibelakangnya. PPP bagian dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)--konon terbentuknya KIB pun ditengarai ada peran istana di sana--yang mempertemukan Golkar, PPP, dan PAN. Lewat KIB itu peruntungan Sandi mengikuti Pilpres 2024 dimungkinkan.
Analisa pun bisa dibuat, bahwa ini cara istana menggerogoti Prabowo (Gerindra), dan juga mengambil ceruk suara Anies, jika takdir membawa Anies, juga Prabowo dalam Pilpres yang akan datang. Basis suara Anies, Prabowo dan tentunya Sandi, itu lebih kurang sama. Seolah istana cukup memasang kail berupa Sandi, berharap mengambil suara Anies dan Prabowo.
Manuver Sandi memang tidak sekadar ingin menunjukkan bahwa eksistensinya masih ada, masih diperhitungkan, meski di Gerindra keberadaannya cuma dilihat sebelah mata. Sandi dan Erick Thohir, Menteri BUMN, bisa disebut dua menteri kesayangan Jokowi, yang sepertinya akan dipasangkan dengan si rambut putih, Ganjar Pranowo.
Ganjar yang akan dipasangkan dengan Sandi atau pun Erick, itu bisa disebut representasi dari kehendak istana. Semuanya masih dimungkinkan bisa berubah. Politik memang cair, dan kejutan-kejutan menuju 2024 akan terus menghiasi pemberitaan. Tapi satu hal patut dicatat, bahwa rakyat makin pintar, itu berkat pengalaman masa lalu, yang terus disimpan dalam memorinya. (*)