Letjen TNI Purn Djadja Suparman: “Ruislag-nya Tidak Ada, Koq Dituduh Korupsi?!”
LAMA tak terdengar kabarnya, mantan KSAD Letjen (Purn) Djadja Suparman rencananya akan dieksekusi untuk menjalani hukuman 4 tahun penjara atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait kasus korupsi.
Djadja mencium adanya sejumlah kejanggalan. “Saya siap masuk Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimahi tanggal 16 Juli 2022. Mereka ingin saya mati di penjara!” ungkap Djaja dalam siaran persnya kepada wartawan, Selasa (5/7/2022).
Kasus korupsi yang dijeratkan kepadanya adalah kasus pembebasan lahan untuk tol Waru-Juanda. Namun Djadja menilai hal itu akibat resiko jabatan sebagai Pangdam V/Brawijaya dan Pangdam Jaya 1997 - 1999.
Vonis 4 tahun penjara itu telah berkekuatan hukum tetap pada 2016 tetapi baru akan dieksekusi bulan ini. “Kenapa baru sekarang? Ke mana saja selama 6 tahun ini?” ujar mantan Pangdam Brawijaya 1997-1998 itu.
Djadja Suparman sudah meminta kepada Kepala Oditur Militer Tinggi pada 2016 agar dieksekusi. Tapi permintaan itu ditolak.
“Akhirnya terjadi pembiaran selama 6 tahun. Siapa yang bertanggung jawab dan apa kompensasinya bila harus masuk penjara selama 4 tahun dan harus mati dalam penjara?” tegas Djadja.
Djadja menilai, ia mengalami pembunuhan karakter selama 22 tahun terakhir. Tujuannya itu untuk menghambat dan menghancurkan karir dan eksistensi dalam kehidupan bermasyarakat setelah purna bhakti.
“Sehingga tanpa disadari oleh pejabat terkait dalam perkaranya negara telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM berat,” ujar Djadja, seperti dilansir Detiknews, Selasa (05 Jul 2022 09:47 WIB).
Djadja juga menuliskan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat tersebut, Djadja menuliskan, dirinya menjadi korban pembunuhan karakter, padahal belakangan Irjenad TNI dan BPK mengatakan Djadja Suparman tidak terbukti melakukan korupsi di Kostrad.
“Saya harus siap mati berdiri untuk memulihkan nama baik dan mati di penjara menanti keadilan dan kepastian hukum,” tegas Djadja.
Sebelumnya diberitakan, mantan Pangdam V/Brawijaya ini divonis 4 tahun penjara, dan denda Rp 30 juta. Djaja terbukti melanggar dakwaan subsider, yang dinyatakan bersalah telah melakukan korupsi uang negara senilai Rp 13,3 miliar.
Pembacaan vonis dengan 360 halaman yang dimulai, Kamis (26/9/2013) pukul 10.30 WIB hingga pukul 23.30 Wib, sempat diskors sebanyak tiga kali. Ketua Majelis Hakim dan dibantu dua anggota hakim Pengadilan Militer Tinggi II, Surabaya Jalan Raya Bandara Juanda Lama membaca dakwaan selama 13 jam.
“Dalam amar putusannya, terdakwa terbukti melanggar Pasal 1 ayat 1 A jo Pasal 28 Undang-Undang No 3 Tahun 1971 dalam dakwaan primer serta Pasal 1 ayat 1 B Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Ketua Majelis Hakim Letjen TNI (Titular) Hidayat Manao, Jumat (27/9/2013) dini hari.
Putusan Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan yang dibacakan Oditur Militer Letjen TNI (Titular) Sumartono, yakni 3 tahun dengan denda Rp 1 miliar. Perkara berawal dari kasus ruislag tanah di Waru, ketika Djaja menerima bantuan dana Rp 17,6 miliar dari PT Citra Marga Nusaphala Persada (CNMP) pada awal 1998 silam.
Dari total uang tersebut digunakan untuk membeli tanah seluas 20 ha yang nilainya Rp 4,2 miliar di Pasrepan, Pasuruan. Dan, juga digunakan untuk merenovasi Markas Batalyon Kompi C yang ada di Tuban, serta mendirikan bangunan Kodam Brawijaya di Jakarta.
“Sisanya yang tinggal Rp 13,3 miliar itu tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh terdakwa,” tuding Hidayat.
Masa penantian Letjen TNI Purn Djadja Suparman untuk menghadapi persidangan tuduhan korupsi atas dirinya baru terjadi setelah 48 bulan lamanya. Menurut Djadja, tadinya kasus ini sebenarnya mau diangkat bersamaan dengan isu korupsi saat menjabat Pangkostrad. “Itu tidak jalan,” katanya.
Pada 3 Januari 2005, Djadja kedatangan Direktur PT CMNP, pelaksana pembangunan yang baru. “Dirutnya Kolopaking, yang mengatakan, ini rada aneh. Ada dua Berita Acara. Penyerahan fisik dan penyerahan dana. Padahal, “Dalam daftar pembukuan di perusahaan tidak ada aliran dana ke pak djadja,” kata Kolopaking. (Konon Dirut ini kemudian dipecat karena menyelidiki kasus ini).
“Memang saya tidak pernah menerima dana, terus saya bilang berita acara ini, ini palsu,” lanjut Djadja. Bagaimana sebenarnya kasus dugaan korupsi yang dituduhkan kepada Djadja Suparman?
Apa benar ia menerima uang seperti yang dituduhkan Oditur Militer Letjen TNI (Titular) Sumartono itu? Berikut petikan wawancara dengan Djadja Suparman, usai persidangan di Surabaya:
PT CMNP pada 2006 menggugat Kodam V Brawijaya secara perdata yang dimenangkan oleh CMNP?
Gugatan itu sebenarnya tidak perlu terjadi, karena kalau saja pada tahun 1998 itu Dirjen Bina Marga mengajukan permohonan Hibah atas tanah Kodam di Waru Surabaya sesuai kebijakan Kasad, kepada Menkeu RI dan Pemilik SPH sesuai peraturan dan prosedur, pasti proses itu berjalan sesuai berita acara, karena tanah itu sudah matang dengan ukuran 100 x 882 m2.
Tapi faktanya sampai 2005 PT CMNP kolaps dan baru mulai untuk melanjutkan kegiatan. Pada 2006 mereka ajukan Gugatan agar Kodam melakukan proses hibah kepada PT Bina Marga sesuai kesepakatan. Pada waktu itu saya sudah pensiun dan tidak dilibatkan atau diminta pendapat dalam persidangan dan mereka menang.
Apa itu proses hibah?
Proses Hibah dalam kasus ini adalah pengalihan hak atas tanah dari Kodam kepada Dirjen Bina Marga untuk jalan tol (antar institusi Negara), sesuai kebijakan dan persetujuan Kasad, dengan pertimbangan tanah tersebut sudah disiapkan untuk jalan tol sesuai persetujuan Menkeu RI pada 1987.
Dalam proses hibah ini tidak ada ganti rugi dan harus diajukan permohonan oleh Dirjen Bina Marga kepada Menkeu RI dan Pemegang SPH sesuai kesepakatan. Jadi, selama Bina Marga belum mengajukan proses hibah itu, maka hibah itu tidak akan berjalan. Menurut saya putusan pengadilan melanggar UU. Di sisi lain, saya tidak tahu apakah sejak Juli 1998-2006, ada perubahan kebijakan Kasad dan UU? Karena saya sudah berganti jabatan sampai Pensiun.
Jadi, selama ini sudah clear dong?
Apanya yang clear, buktinya saya didakwa korupsi karena dituduh telah me-ruislag tanah itu dan ada kerugian Negara, dituduh telah menyerahkan tanah kepada PT CMNP dengan kompensasi sejumlah uang dan telah menyalahgunakan wewenang jabatan. Padahal, karena ada waktu vacuum selama 8 tahun dan ada kebijakan baru atau UU yang baru, sekarang pemanfaatan tanah tersebut sedang dibicarakan dalam bentuk kerjasama dengan PT CMNP.
Menurut saya kalau ada perubahan kebijakan atau perubahan UU setelah tahun 1998, itu bukan ranah saya lagi. Dalam proses hibah ini tidak ada keterlibatan PT CMNP, sepenuhnya tanggung jawab Bina Marga dengan Kodam atas persetujuan Menkeu-Kasad secara hirarkis.
Sidang kasus Anda ini koq baru dilakukan sekarang ini?
Saya juga heran kok proses hukumnya sejak Maret 2009 tersedat-sedat, dampaknya merugikan nama baik saya dan keluarga, melanggar hak-hak saya sebagai manusia, untuk hidup, berusaha, bekerja, berkelompok, dan seterusnya. Opini ini sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai warga Negara yang tunduk kepada hukum saya juga minta keadilan, segera proses hukum sesuai dengan UU dan peraturan, jangan menunggu saya minta keadilan kepada Tuhan. Oleh karena itu pada Agustus 2012 saya memohon keadilan kepada Panglima TNI, supaya Kasus saya jangan digantung seperti ini sampai saya mati. Alhamdulilah pada 9 Oktober 2012 Kasad menyerahkan perkara kepada Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya.
Menyangkut tuduhan Oditur, apa benar Anda melakukan korupsi?
Ini sudah Substansi Perkara, saya tidak boleh mengatakan tidak, tapi faktanya saya tidak melakukan itu, seperti penjelasan Majelis Hakim dalam Putusan Sela atas eksepsi saya dan Oditur Militer yang menyatakan: Memang benar sampai saat ini terdakwa tidak pernah melakukan pelepasan hak atas tanah dengan cara jual beli,atau hibah maupun ruislag kepada PT CMNP, tapi sekarang di atas tanah itu sudah dibangun jalan tol dan terdakwa telah menerima uang kompensasi Rp 17,640 miliar. Silahkan tafsirkan sendiri dan nanti kita uji dalam persidangan.
Sebenarnya prosesnya sejak kapan sih?
Sejak ada atensi BPK RI pada Desember 2008, Maret – September 2009 saya diperiksa sebagai saksi sampai jadi tersangka dengan dugaan telah terjadi penyimpangan wewenang jabatan dalam Proses Hibah. Sejak Oktober 2009 hingga September 2012 proses Papera untuk mempelajari hasil penyidikan dan permintaan Berita Acara Pendapat dari Oditur, baru pada 9 Oktober 2012 perkara dilimpahkan kepada pengadilan, kemudian keputusan itu diperbaiki lagi karena ada kesalahan tempat kewenangan pengadilan…… lama banget …!!!
Padahal saya juga pernah menjadi Papera, tidak lama lama banget, karena ada aturannya. … he-he-he. Kemudian pada 22 Maret 2013 mulai disidangkan he-he-he lama juga ya? Saya kurang jelas apa pada jaman reformasi ini sudah ada perubahan baru tentang batasan waktu dalam setiap tahapan proses hukum? Sehingga boleh melanggar hak azasi seseorang Prajurit?
Apa ada aset TNI yang kemudian dipakai oleh swasta?
Aset tanah Kodam itu milik Negara. Kalau Negara merencanakan untuk membangun jalan tol, maka Negara bisa menggunakan tanah itu, hanya tinggal mengalihkan hak pakainya saja kepada instansi pengguna dalam hal ini, Dirjen Bina Marga pada waktu itu, apalagi tanah itu sudah disiapkan sesuai RUTR Pemda Jatim pada 1986 dengan ukuran 100 x 882 m2.
PT CMNP adalah Holding Perusahaan sebagai pelaksana pembangunan jalan tol dengan biaya sendiri (pada 1998) yang mendapat konsesi pengelolaan selama kurun waktu tertentu sampai mereka mendapat keuntungan dari dana yang dikeluarkan. Kemudian jalan tol itu kembali menjadi milik Negara dan bisa digunakan bebas oleh Rakyat. Kira-kira seperti itu pemahamannya ya!
Cuma CMNP mengajukan gugatan perdata, karena tanahnya belum dihibahkan kepada Bina Marga. Dan BPK/TNI AD menilai, di atas tanah itu sekarang sudah jadi jalan Tol. Akhirnya sekarang saya berhadapan dengan Negara, bukan dengan PT CMNP, agak aneh juga, tapi kta ikuti saja proses sidang ya.
Koq bisa keluar angka sebesar itu?
Katanya mereka mau membantu Kodam dalam bentuk bantuan murni, soal besarannya saya pikir dia menghitung berapa pantasnya, itu bukan urusan saya. Pada waktu itu saya sampaikan kepada sdr Eko , ”Tolong sampaikan kepada ibu Tutut, tolong dibantu Kodam“. Angka sebesar itu sekarang menjadi bola liar, saya merasa tidak pernah menerima, sedangkan mereka katakan diserahkan kepada saya melalui seseorang yang mengaku kepercayaan Pangdam. Aneh bin ajaib kan, mereka tidak pakai aturan dengan mudah menyerahkan bantuan lewat orang. Kita buktikan di dalam sidang deh..
Apa yang Anda inginkan dari persidangan ini?
Saya ingin keadilan tegak di Bumi Pertiwi ini tanpa melihat siapa orangnya, dan darimana asalnya, rakyat jelata sampai dengan presiden harus sama. Makanya, saya minta keadilan yang dilakukan melalui proses yang berdasarkan hukum juga, yaitu Undang-Undang dan peraturan lainnya. Seandainya dalam proses Hukum ini ada cara-cara yang dilakukan telah melanggar hukum, sebaiknya kita harus taat kepada hukum dan membatalkan persidangan ini demi hukum.
Walaupun saya sudah dapat menduga arah dari keadilan ini, saya akan mengikuti proses ini secara bertanggung jawab, selama dasar dasar yang digunakan sesuai hukum yang berlaku dan bukan karena asumsi. Saya masih berharap, keadilan dapat tegak di Bumi Pertiwi ini melalui para Hakim dan Oditur, sesuai dengan sumpahnya. (*)