Lima dari Sembilan Hakim MK Termasuk Anwar Usman Mengkhianati Konstitusi: Revolusi di Depan Mata
Jakarta, FNN - Tim Petisi 100 dan UI Watch kembali menggelar diskusi menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Diskusi bertemakan "Lima dari Sembilan Hakim MK, Termasuk Ketua MK Anwar Usman, Mengkhianati Konstitusi Demi Gibran: Revolusi di Depan Mata??" itu dilaksanakan pada Rabu (18/10/2023).
Hadir dalam diskusi tersebut antara lain Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, Anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara dan Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang hadir secara online. Acara dipandu oleh Pimpinan Center of Study for Indonesian Leadership (CSIL) HM Mursalin.
Narasumber pertama Anthony Budiawan, ia mengatakan bahwa putusan MK tersebut berbau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). "Kita semua sudah mengerti apa yang terjadi di MK, putusan MK ini adalah putusan yang sangat berbau KKN yaitu untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Gibran untuk menjadi Cawapres," ujarnya.
Kata Anthony, meskipun belum tentu Gibran dicalonkan sebagai wakil presiden, tetapi manipulasi hukum dari konstitusi ini patut disayangkan. "Ini bertentangan atau berlawanan dengan hukum sehingga harus diusut tuntas," katanya.
Ia mengatakan, MK tidak berwenang untuk menambah atau mengurangi batasan usia, karena yang berhak menambah norma itu adalah DPR. "Berarti MK sudah merampas wewenang dari DPR, artinya sudah melanggar konstitusi," jelas Anthony.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu menduga, apa yang terjadi di MK itu merupakan upaya untuk kepentingan Presiden Joko Widodo yang sebentar lagi masa jabatannya akan berakhir.
"Apa yang terjadi kelihatannya ini adalah karena Pak Jokowi sudah dalam posisi yang terpojok dan sepertinya segala cara itu dihalalkan. Oleh karena itu Pak Jokowi ingin berkuasa terus atau setidak-tidaknya masih berada di pusat kekuasaan," tuturnya.
Terkait hal tersebut, Anthony mengingatkan beberapa tahun lalu sudah ada upaya dengan munculnya wacana Jokowi akan diperpanjang jabatannya, kemudian juga upaya memperpanjang periode jabatan. Lalu juga mempromosikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, namun kemudian Ganjar diambil Megawati.
Upaya melanggengkan kekuasaan tersebut, kata Anthony, dikarenakan Jokowi dihadapkan sejumlah permasalahan. Mulai dari kasus ijazah palsu, kasus Freeport, Kereta Cepat dan kasus-kasus lainnya.
"Permasalahan-permasalahan ini yang harus diamankan, maka mau tidak mau mereka harus berkuasa lagi dan menghalalkan segala cara, tetapi pada akhirnya semakin memperdalam kesalahan-kesalahan itu sendiri. Dan kasus Mahkamah Konstitusi ini sangat brutal dan harus diusut tuntas karena ini sudah mempermainkan konstitusi," tandasnya.
Narasumber berikutnya Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Ia menegaskan putusan MK Nomor 90 (”Putusan 90”) terkait konstitusionalitas syarat umur capres-cawapres, yang mengabulkan sebagian permohonan, dan membuka peluang kepala daerah yang pernah/sedang menjabat untuk menjadi kontestan dalam pemilihan presiden adalah tidak sah.
"Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya tidak sah," tegas Denny.
Ia mengatakan, argumentasi hukum yang mendasari putusan "Perkara 90" tidak sah, salah satunya karena hakim, dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman, tidak mundur dalam penanganan perkara di mana sang hakim mempunyai benturan kepentingan.
Benturan kepentingan yang dimaksud, kata Denny, ialah Anwar Usman merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka yang belakangan digadang-gadang akan menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto.
Denny menjelaskan, Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengatur, "seorang hakim... wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa."
"Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah putusan dinyatakan tidak sah," tegas Denny.
Kembali ia menegaskan bahwa Putusan 90 tersebut sarat dengan cacat konstitusional dan tidak sah. "Karena itu saya merekomendasikan, yang pertama Putusan 90 yang tidak sah sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan Bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029," jelasnya.
Denny mengatakan bahwa siapapun yang menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024 —bukan hanya terkait Gibran Rakabuming Raka— dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan beresiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024.
"Bahkan, kalaupun berhasil terpilih, beresiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan tidak sah," ujarnya.
Sementara itu, kepada MK, dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, Denny menyarankan sebaiknya memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan MK.
Anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara yang menjadi narasumber selanjutnya mengatakan bahwa putusan MK ini merupakan salah satu upaya rezim oligarkis untuk mempertahankan kekuasaan.
"Putusan MK ini merupakan salah satu upaya rezim oligarkis yang penguasanya adalah Jokowi sebagai presiden dan sejumlah menteri, salah satunya itu Luhut Panjaitan dan sejumlah menteri lain untuk tetap mempertahankan dominasi dan kekuasaan," ujar Marwan.
Menurutnya, apa yang dilakukan MK merupakan pelanggaran tingkat tinggi dan sangat fatal karena menyangkut pelanggaran terhadap hal yang sangat strategis yaitu konstitusi.
Marwan juga mengingatkan agar publik tidak terkecoh untuk menganggap pelanggaran fatal tersebut hanya fokus pada masalah conflict of interest karena hubungan keluarga Anwar Usman dan Jokowi. Tetapi juga pada berbagai pelanggaran konstitusi dan berbagai UU secara sistemik yang melibatkan tiga lembaga kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Marwan mengingatkan, pengkhianatan konstitusi bukan hanyak dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman, tetapi juga oleh empat hakim MK, yakni Daniel Yusmic, MG Hamzah, Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
"Tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga melanggar amanat reformasi dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, kemudian juga melanggar prinsip-prinsip pembagian kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif," ungkap Marwan.
Meski demikian, ia pesimis pelanggaran fatal tersebut bisa diproses secara hukum. "Maka diskusi ini kenapa ada judul Revolusi di Depan Mata, karena tampaknya tidak akan ada proses hukum yang akan diterapkan untuk menghentikan pelanggaran konstitusi dan demokrasi ini. Padahal mestinya DPR, MPR dan MK segera memulai proses pemakzulan sesuai amanat Pasal 7A UUD 1945. Maka rakyat dihimbau untuk bergabung melakukan perlawanan, salah satunya melalui gerakan revolusi", kata Marwan. (*)