Long March Buruh dan Gerakan Massa
Gerakan Jumhur dkk dengan aksi sejuta buruh dan Long March tentunya akan mendorong adanya spirit kemanusiaan buruh untuk membangun solidaritas kemanusiaan.
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
JUMHUR Hidayat, Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dengan massa Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB), aliansi dari 40 serikat buruh, telah memasuki Jakarta pada hari ini, Rabu (10/8/2022).
Massa bergerak ditandai awalnya long march dari Gedung Sate, Kota Bandung, selama 5 hari dipimpin Sunarti, tokoh buruh perempuan dan Jumhur Hidayat ikut bergabung long march dari Kerawang. Tuntutan para kaum buruh adalah hapuskan UU Omnibuslaw selamanya.
UU ini adalah alat penindasan kaum oligarki kepada buruh. Demikian pula, UU Omnibuslaw ini melawan konstitusi UUD 1945. Hal ini telah saya bahas sebelumnya dalam tulisan “Pemberontakan Kaum Buruh”.
Gerakan massa buruh yang berpusat di Jakarta dan menyebar di berbagai daerah Indonesia, dengan Long March yang dipimpin Sunarti, Ketua Serikat Buruh SBSI92, dan Jumhur, mengandung makna penting dalam dua hal, pertama, long march itu adalah simbol dari sebuah penderitaan.
Sebuah perjuangan tidak mungkin mencapai makna yang dalam jika sang pemimpin tidak mengalami penderitaan. Hal ini dilakukan Nabi Muhammad kala Long March dari Madinah ke Mekkah saat melakukan aksi pembebasan/ perebutan Ka'bah, di masa lalu.
Hal ini dilakukan Mao Ze Dong juga ketika melakukan Long March sejauh 9000 km di China untuk pembebasan dari kaum Nasionalis Kuomintang dan juga Long March pejuang Siliwangi, dari Bandung ke Jogjakarta pada masa kemerdekaan Indonesia, serta Long March santri Ciamis ke Jakarta dalam aksi 212 tempo hari.
Pejuang dengan penderitaan dilakukan untuk menunjukkan spirit atau ruh perjuangan itu sendiri, supaya massa rakyat meyakini bahwa perjuangan ini tidak ada jalan kembali.
Makna kedua, perjuangan dengan massa rakyat yang besar menunjukkan adanya tuntutan pengembalian makna “mass society”, sebuah konsep di mana masyarakat dikembalikan dari alienasi (keterasingan), di mana kumpulan massa rakyat berbasis/bersifat individualistik/atomistik menjadi masyarakat yang berbasis komunalitas.
Merujuk pada Erick Fromm, cendikiawan Frankfurt, keterasingan manusia dalam masyarakat terjadi karena industrialisasi dan modernisasi yang begitu pesat. Keterasingan juga di bahas oleh Karl Marx, yang mengatakan bahwa manusia hanya menjadi robot robot atau instrumental dalam industri. Bahwa manusia telah kehilangan kemanusiaannya.
Menatap ke Depan
Krisis kemanusiaan dalam konteks Indonesia saat ini sudah demikian parah. Negara berkembang ke arah yang salah, di mana negara berfungsi untuk melayani kepentingan penguasa. Penguasa, khususnya aparat yang berkuasa, telah berkomplot untuk mengakumulasi kekuasaan, kekuatan dan kekayaan untuk kepentingan segelintir elit saja.
Contoh terakhir terkait pembunuhan Brigadir Joshua, yang melibatkan banyak jenderal, semakin meyakini kita bahwa hukum dan keadilan semakin kehilangan makna.
Pada sisi lain massa rakyat terjebak dalam pertarungan hidup hari demi hari. Kaum buruh selama pandemi telah kehilangan penghasilan dan pekerjaan yang layak.
Gaji tergerus inflasi, harga-harga kebutuhan pokok dan BBM meroket tinggi. Mereka harus mengeluarkan keringat lebih banyak lagi untuk bisa bertahan hidup.
Gerakan Jumhur dkk dengan aksi sejuta buruh dan Long March tentunya akan mendorong adanya spirit kemanusiaan buruh untuk membangun solidaritas kemanusiaan.
Disamping itu kaum buruh akan mampu membangun front besar rakyat vis a vis melawan arogansi segelintir elit.
HOS Tjokroaminoto, Sukarno dan Tan Malaka telah menggariskan perjuangan massa rakyat, di masa lalu, adalah sebuah keniscayaan. Maksudnya supaya negara dibangun untuk kepentingan rakyat semesta, bukan untuk segelintir penguasa dan cukong.
Saat ini Jumhur dkk kembali menghadirkan massa rakyat buruh untuk membangun “mass society”, sebuah masyarakat Indonesia yang sosialistik, yang saling mencintai dan berkeadilan sosial. (*)