Mana Lebih Urgen: Narkoba Atau Radikalisme?
By Asyari Usman
Jakarta, FNN - Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata sekitar 4,200,000 (4.2 juta) pemakai narkoba di Indonesia. Jumlah desa dan kelurahan tercatat 83,447. Jadi, rata-rata desa dan kelurahan memiliki 50 orang pemakai narkoba. Ini angka rata-rata. Kalau diasumsikan pemakai narkoba itu lebih banyak di kawasan perkotaan (urban), boleh jadi di setiap kelurahan di kota-kota besar ada 80-an pemakai narkoba.
Kalau 50 orang pemakai narkoba per desa/kelurahan itu melakukan rekrutmen, bisa dibayangkan masa depan bangsa ini. Jika 50 orang pemakai itu berhasil menambah anggota 25 orang per tahun, berarti dalam lima tahun akan bertambah 125 orang pemakai baru. Karena itu, pada 2025 nanti Indonesia memiliki “pasukan narkoba aktif” sebanyak 50+125x83,447=14,603,225. Kita sederhanakan saja menjadi 14 juta orang. Angka ini tidak memperhitungkan kalau para pemakai baru melakukan rekrutmen. Jika pemakai baru juga aktif mencari teman baru, silakan para pakar matematika membuatkan tabulasinya.
Baik. Kita ambil sajalah angka 14 juta sebagai proyeksi jumlah pemakai narkoba pada 2025. Kira-kira, serepot apa bangsa ini nanti? Di desa atau kelurahan Anda nantinya akan ada 175 orang pemakai narkoba. Ada 175 sel aktif narkoba di sekitar Anda. Kalau 10 persen saja diantara mereka kita sebut “pemakai radikal”, berarti ada 17 orang yang siap menjadi “bom bunuh diri” yang akan meneror tiap desa dan kelurahan.
Ada lagi angka yang sangat mencemaskan dari Komisi Perlindingan Anak Indonesia (KPAI). Di awal Maret 2018, Komisi mengatakan dari 87 juta anak di bawah 18 tahun, hampir 6 juta diantaranya masuk kategori pencandu narkoba.
Selain angka pemakai dan proyeksi rekrutmen ini, kita lihat sepintas kerugian lain akibat penggunaan narkoba. BNN mengatakan, sekitar 40 orang menemui ajal setiap hari karena benda yang berbahaya ini. Potensi kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 75 triliun rupiah per tahun.
Sebelum dilanjutkan, kita memohon kepada Allah SWT agar proyeksi ini tidak menjadi kenyataan. Amin, Allahumma amin.
Nah, dari angka-angka yang sangat menyeramkan ini, menurut Anda mana lebih urgen masalah narkoba dibandingkan isu radikalisme? Sebagai ilustrasi saja, radikalisme yang sangat ditakuti oleh para penguasa, terutama Menag Fachrul Razi, itu baru sebatas pemakaian cadar dan celana cingkrang. Kalau pun lebih dari ini, radikalisme di kalangan umat Islam baru sebatas aktivitas amar-ma’ruf nahi mungkar oleh FPI atau cita-cita khilafah di kalangan “ormas ompong” HTI.
Atau, radikalisme itu baru sebatas kepatuhan kaum perempuan muslim untuk menutup aurat mereka. Di kampus-kampus atau di tempat kerja. Atau, radikalisme itu baru sebatas ghirah untuk ikut Reuni 212.
Dan tidak semua umat Islam punya ghirah yang tinggi untuk bersyariat. Masih ada puluhan juta yang tak mau tahu soal halal-haram. Ada jutaan lagi umat Islam garis bengkok yang siap membakar bendera Tauhid. Masih banyak yang siap bekerja sama dengan Israel atau China komunis, dlsb. Dan mereka ini siap pula berhadapan dengan kaum yang dilabel-label radikal itu.
Jadi, masalah radikalisme yang menghantui para penguasa saat ini masih belumlah mencemaskan. Tidak semengerikan 6 juta anak-anak di bawah 18 tahun yang saat ini kecanduan narkoba. Belumlah tertandingi angka kematian akibat narkoba yang mencapai 40 orang tiap hari.
Dampak cadar, cingkrang, janggut, atau pakaian muslimah lainnya, belumlah bisa menandingi kerugian ekonomi sebesar 75 triliun per tahun terkait peredaran narkoba. Kalau radikalisme itu kalian anggap sebagai gangguan, masih belumlah menyamai jumlah 50 orang pencandu narkoba per desa atau kelurahan di Indonesia.
Karen itu, cobalah Anda para penguasa merenungkan mana yang lebih urgen masalah narkoba dibandingkan isu radikalisme?
Mana yang lebih berbahaya: ratusan ton sabu dan 13 juta butir ekstasi yang tak tertangkap oleh aparat atau Reuni 212, cadar, celana cingkrang, janggut, jilbab, dll?[]
30 November 2019
Penulia wartawan senior.