Mega Mengorbankan Trah Soekarno hanya untuk Politik Praktis

Oleh : Indra Adil - Eksponen PKM IPB 77/78

"Aku Dikutuk Sebagai Bandit sekaligus Dipuja Sebagai Dewa" (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat). 

SOEKARNO dimakamkan tidak seperti yang diinginkannya : "Di antara bukit yang berombak, di bawah pohon rindang, di samping sebuah sungai dengan udara segar". Permintaan terakhirnya untuk dimakamkan di halaman rumahnya di Batutulis, Bogor, ditolak pemerintah Orde Baru. Kemungkinan sangat besar bahwa makam Bung Karno akan menjadi tempat ziarah populer yang sangat dekat dengan Jakarta, jelas menjadi alasan kuat bagi Soeharto untuk tidak mengizinkan permintaan terakhir Bung Karno. Akhirnya izin diberikan hanya untuk dimakamkan di Blitar, di samping makam ibu Bung Karno. Betapa gentarnya Orde Baru pada kharisma Soekarno, bahkan setelah mati sekalipun. 

Salah Paham Terhadap Soekarno 

Akan terlalu panjang bila kita mengupas Soekarno secara lengkap. Penulis hanya berpretensi memperkenalkan Soekarno sebagai Bapak Bangsa yang tak mungkin dibantah oleh siapa pun, betapa pun bencinya seseorang kepadanya. 

Soekarno adalah murid ideologis Tjokroaminoto, seorang yang sesungguhnya lebih besar dibanding siapa pun di negeri ini. Tjokroaminoto adalah Bapak Ideologis Soekarno, di samping Ahmad Hasan, pendiri Persatuan Islam (atau Persis) di Bandung. Ahmad Hasan adalah tokoh Islam Nasional yang paling intens berdialog dengan Soekarno tentang Islam. Korespondensi yang sungguh memikat di antara mereka saat Soekarno dibuang ke Ende, dicatat di dalam sejarah sebagai Surat-surat Islam Endeh: Dari Ir. Sukarno kepada Tuan A. Hassan Guru Persatuan Islam Bandung.

Dari korespondensi tersebut terdapat total 12 surat yang tercatat rapih sepanjang 21 halaman dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I halaman 325-344. Jadi di awal-awal kariernya, secara ideologis Soekarno adalah tokoh Islam.

Tjokroaminoto bukan saja Bapak Ideologis Soekarno, tetapi juga Bapak Ideologis tokoh-tokoh besar nasional lainnya seperti Kartosuwiryo dan Muso. Tetapi pada akhir karier masing-masing, mereka bertiga bersimpangan jalan, Soekarno mengambil Jalan Nasionalisme, Kartosuwiryo mengambil Jalan Islam Fundamentalis dan Muso mengambil Jalan Komunisme.

Dalam pertarungan Ideologis ketiga sahabat ini dimenangkan oleh Soekarno dalam bentuk fisik. Muso dihancurkan Soekarno saat Pemberontakan Pertama Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 di Madiun. Bahkan Muso ditembak mati Pasukan Soekarno-Hatta pada bulan Oktober 1948. Sementara Kartosuwiryo dengan DI/TII-nya (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang justru memulai pembangkangan terhadap Pemerintahan Soekarno Hatta di tahun 1949, baru mampu dihancurkan di tahun 1962 di Jawa Barat. Saat itu Hatta sudah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI. 

Tetapi Soekarno pada akhir-akhir karier politiknya disalahpahami sebagai Pembela Partai Komunis Indonesia yang pada tahun 1948 justru dihancurkannya. Soekarno sesungguhnya hanya ingin membela Idealismenya tentang Konsep Persatuan Indonesia yang digagasnya melalui NASAKOM, Nasionalis, Agama dan Komunis. Ia yang pernah merasakan pahitnya perpecahan dengan melakukan pembunuhan terhadap sahabat-sahabat terdekatnya sendiri, Muso dan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, sudah tidak lagi merasa nyaman dengan pertarungan terus menerus terhadap saudara sesama bangsa. Entah berapa kali ia menghadapi pemberontakan saudara-saudaranya sesama bangsa di samping yang dilakukan Muso dan Kartosuwiryo. Di antaranya Pemberontakan Daud Bereuh di Aceh, Simbolon dan Ahmad Husein (PRRI) di Sumatra Tengah, PERMESTA di Sulawesi Utara, RMS di Maluku, Andi Sele di Sulawesi Selatan dan lain-lain, belum lagi Pembangkangan Angkatan Darat kepadanya di tahun 1957 saat Meriam dan Senjata-senjata berat ditujukan ke Istana.  Karena itu semualah ia berpikir bahwa harus ada satu konsep kebersamaan di negeri ini. Itulah konsep NASAKOM, Persatuan Tiga Aliran ideologi terkuat di Indonesia. 

Akan tetapi konsep tinggal konsep, meski sudah disosialisasikan ke seluruh masyarakat Indonesia bahkan Internasional, syahwat Kekuasaan tetap menang melawan syahwat kebersahajaan. PKI untuk kedua kalinya melakukan kudeta berdarah di tahun 1965. Entah karena apa hipotesis yang dominan adalah karena ketakutan akan sakitnya Soekarno yang menurut mereka (atas informasi dokter-dokter Tiongkok yang khusus datang ke Indonesia untuk mengobatinya), Soekarno akan wafat dalam waktu dekat.

PKI dihantui ketegangannya dengan militer, menjadi khawatir bila Soekarno betul wafat, maka mereka merasa tidak akan ada yang melindungi mereka dari keganasan militer seperti peristiwa Pemberontakan Madiun tahun 1948. PKI dibantai habis saat itu justru atas perintah Soekarno-Hatta yang menyerukan, "Mau ikut Muso atau mau ikut Soekarno-Hatta?"

Oleh karenanya -menurut beberapa pengamat kali ini PKI mencoba MENDAHULUI dengan melakukan penculikan sekaligus pembunuhan terhadap 7 Jenderal dan 1 Perwira Pertama Militer Angkatan Darat. Kudeta berdarah ini kemudian dikenal sebagai Gestapu, Gerakan Tigapuluh September. Tetapi sekali lagi PKI gagal total dan bahkan mengalami kehancuran jauh lebih parah dibanding 1948.                                  

Begitulah sekilas pandang tentang Soekarno sebagai tokoh bangsa kontroversial sepanjang zaman. 

PDIP Saat Ini 

Secara sosiologis dan historis, PDIP memang bisa dinukilkan sebagai pewaris nasionalis Soekarno (Soekarnoisme), tetapi sungguh ceroboh seseorang yang berani mengatakan PDIP adalah Partai Nasionalis dalam pengertian ideologis. Meskipun Ketua Umumnya bahkan anak biologis Soekarno. Karena secara nyata lebih tepat PDIP itu disebut partai praktis, sama dan sebangun dengan partai-partai lain di negeri ini. Partai yang mengutamakan kepentingan pemimpin-pemimpinnya ketimbang mengutamakan kepentingan rakyat, bahkan juga tidak mengutamakan kepentingan anggotanya sekalipun. Memang begitulah suasana kepartaian saat ini. Organisasi-organisasi massa tradisional justru jauh lebih idealis ketimbang partai-partai yang ada saat ini.

Meskipun ada segelintir yang mulai juga mengikuti arus utama politik praktis, tetapi penyakit kronis ini lebih diderita oleh sebagian kecil pemimpin mereka, berbeda dengan partai yang menderita penyakit politik praktis secara organik, seluruh pemimpin bahkan sampai kepada pemimpin-emimpin di tingkat bawah turut terpapar. 

Nah adakah yang bisa diharapkan dari partai sejenis ini, khususnya PDIP? Keputusan hanya diambil oleh Ketua Umum seorang diri dan entah siapa pembisik paling dominan, kita tidak tahu. Kita tidak bisa membayangkan, seorang Puan Maharani, Puteri Mahkota PDIP sendiri, yang adalah Puteri Kandung Ketua Umum PDIP, tidak bisa mengetahui keputusan yang notabene paling menyangkut dirinya? Dia pasti merasa sangat terkena prank ibu kandungnya sendiri!

Jadi siapakah sosok paling dekat dengan Megawati yang mampu mengubah niat yang sudah tertanam hampir satu dekade untuk menerbitkan Puan menjadi Capres dari PDIP? Yang sudah menanamkan investasi dana, waktu, tenaga, personil dan energi lain yang tak ternilai harganya selama 10 tahun, setidaknya di lingkungan PDIP tetapi dengan mudah dicampakkan begitu saja modal investasi tersebut?

Buat apa? Buat apa bersusah payah telah menaikkan posisi Puan Maharani ke Ketua DPR yang sejajar dengan Presiden RI hanya untuk dilepeh begitu saja? Bukankah Puan Maharani memiliki hak yang sama dengan Megawati terhadap status pewaris trah Soekarno? Apakah karena status seorang ibu, Megawati lalu bisa bertindak semaunya terhadap Putrinya? Semua pertanyaan ini PASTI BERKELINDAN DI BENAK PARA ANGGOTA PDIP DAN PENDUKUNGNYA. Begitupun di kalangan dunia Kangouw Perpolitikan Indonesia. Pasti juga banyak di kalangan PDIP sendiri terutama, yang kecewa kepada Megawati atas tindakan semena-mena terhadap Puan Maharani. Meskipun Puan adalah Puteri kandungnya sendiri. 

Penulis tergerak untuk membuat Dialog Imajiner atas peristiwa tersebut sebagai berikut : 

Kejadiannya sudah pasti di rumah pribadi mereka, beberapa jam setelah Megawati mengumumkan Capres dari PDIP adalah Ganjar Pranowo, Capres yang digadang-gadang taypan Tiongkok melalui proxy mereka Jokowi. 

Puan (sambil berlinang air mata) : "Ibu mohon dijelaskan dengan jernih kepadaku, apa alasannya Ibu memperlakukan aku seperti ini?" 

Megawati (terdiam beberapa saat) : "Apa kamu tidak mempercayai Ibu lagi?"

Puan : "Kenapa Ibu bertanya demikian?" 

Megawati : "Karena kamu bertanya seperti itu?" 

Puan : "Lalu harusnya seperti apa?"

Megawati terdiam, lama ia berpikir. Sesungguhnya ia juga heran, kenapa ia mengambil Keputusan yang pasti akan sangat melukai putri kesayangannya ini? 

Puan : "Tolong dijawab Ibu. Agar hati ini bisa menerima alasannya. Aku berhak mendapat jawaban itu?" 

Megawati : "Pokoknya niat Ibu baik untuk kita semua? Untuk partai dan untuk kelanjutan partai!" 

Puan : "Dengan mengorbankan Aku?" 

Mega kembali terdiam, ia sendiri heran atas sikapnya mencalonkan Ganjar Pranowo yang selama ini ia anggap mbalelo kepada dirinya dan juga terhadap partai. Ia memang sudah mempersiapkan Puan jauh hari untuk menjadi pewaris satu-satunya dari trah Soekarno yang akan mampu mempertahankan marwah trah Soekarno sepeninggalnya yang memang sudah lanjut umur ini.

Kini Puan tinggal selangkah lagi untuk mencapai posisi eksekutif tertinggi di negeri ini, dan bila ia berhasil, puaslah ia bila pun tidak sampai umur pada Pilpres setelah 2024. Tetapi elektabilitas Puan menurut survei jeblok. Sekali lagi ia dikalahkan oleh survei yang padahal belum tentu benar, bahkan hampir pasti salah, karena semua survei yang ada di negeri ini sejak era SBY adalah survei abal-abal. SBY adalah orang paling bertanggung jawab terhadap amburadulnya survei-survei elektabilitas apa pun di negeri ini. Seburuk-buruk Megawati, ia tetap juiur dalam melakukan Pemilu dan Pilpres di era pemerintahannya.

Kini, di Era Jokowi "The Lips Service President", lembaga sjrvei menjadi lembaga kesanan yang sama sekali tidak bisa dipercaya produknya. Lembaga brengsek yang mengikuti kebrengsekan Rezim yang menaunginya. Megawati sama sekali tak tahu bahwa Tingginya Elektabilitas Ganjar dan Rendahnya Elektabilitas Puan bisa dipesan hanya dengan mengeluarkan dana beberapa Milyar. Semua ini demi untuk membuat PDIP (Mega) terpaksa mencalonkan Ganjar menjadi Capres PDIP. Persis seperti yang pernah dilakukan Para Taypan bersangkutan terhadap Jokowi satu dekade yang lalu. Kenapa Ganjar? Karena Ganjar adalah Calon Proxy Pengganti Jokowi yang paling menguntungkan bagi Taypan-Taypan Tionghoa. Intelejensia pas-pasan kalau tidak bisa dikatakan rendah, Intelektual tak tergambarkan sama sekali dari penampilan sosoknya sebagaimana juga Jokowi, mudah disuap seperti pernah dilakukannya saat ia menjadi Anggota DPR dan memiliki Rasa Rendah Diri yang cukup kuat yang tergambarkan dari sikap sombong yang dibuat-buat. Persis Jokowi saat pertama Masuk Jakarta. Para Taypan sudah hafal luar kepala tentang ilmu ini, ilmu pemeliharaan Tukang Pukul yang tahunya cuma memukul. 

Megawati : "Ya gak begitu dong. Kamu percaya saja pada Ibu." 

Puan : "Percaya...??? Setelah Ibu Ngeprank aku habis-habisan seperti ini?" 

Megawati : "Puan!" Emosi Megawati mulai terpancing dan menguasai dirinya tanpa Reserve. 

Puan : "Ya...!!! Ibu mau bilang apa? Mau bilang Aku harus berkorban untuk hal yang lebih besar bagi Negara? Mau bilang bahwa Partai lebih penting dari diri Aku? Bilang saja! Aku kan anak kandung Ibu yang memang berkewajiban mengikuti orang tua. Begitu menurut agama dan budaya Jawa kita!" 

Puan merajuk. Tetapi kali ini dengan gestur tubuh dan nada suara menantang. Megawati terkesima. Ia terdiam, tak menduga putri kesayangannya akan bicara setegas dan sekeras itu kepadanya. 

Megawati : "Bukan begitu sayang..." 

Puan : "Atau Ibu mau bilang Elektabilitasku rendah dan tak mungkin kita menang dalam Pemilu maupun Pilpres bila menampilkanku?" 

Megawati kembali terdiam. Tidak mungkin ia akan bilang iya. Karena hanya akan menambah kemarahan Puteri Tercintanya saja. Tetapi diamnya Megawati dianggap Puan sebagai terpojoknya Ibunya atas berondongan kata-katanya. 

Puan : "Bukankah Ibu sendiri yang bilang cukup satu kali kita dikadali Para Taypan itu dan Jokowi. Cukup kita satu kali dibohongi oleh Survei-Survei Pesanan Abal-Abal itu. Kenapa sekarang Ibu menelan ludah Ibu sendiri?" 

Megawati masih diam. Ia tidak mau jawaban yang ia berikan nanti akan menambah kemarahan dan kesedihan Puteri Tercintanya. Puan semakin berani, mungkin lebih tepat semakin emosi melihat Ibunya tak mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya. Ia anggap Ibunya merasa bersalah.

Puan : "Ingatkah Ibu ketika Ayah bertanya kepada Ibu sepuluh tahun lalu, kenapa mau mengorbankan Posisi Ibu untuk Capres kepada Jokowi? Ibu cuma menjawab itu Hak Ibu. Ayah mengalah. Tetapi kini Ibu Ambil begitu saja Hak Aku sebagai Capres dan Ibu kembali percaya kepada mereka dengan kebohongan-kebohongan mereka dan janji-janji mereka akan tetap Menentukan Aku sebagai Ketua Umum PDIP Mendatang. Memangnya yang Menentukan Ketua Umum PDIP itu siapa? Jokowi...?" 

Megawati akhirnya tak tahan juga mendengar semua komplain Putri Kesayangannya itu. Rambutnya tegak berdiri, sehingga menampilkan bentuk yang unik, laksana Kribo... gitu...

Megawati : "Puan...!!! Cukup kamu bicara, sekarang Ibu mau istirahat. Kamu boleh pulang...!" 

Puan pun pulang dengan tegas dan mengatakan : "Baik... aku pulang dan jangan panggil-panggil aku lagi. Aku mengundurkan diri dari Dunia Politik yang penuh kebusukan ini!" 

Megawati kembali terkesima, tetapi tak bisa berbuat apa-apa... 

Bekasi, Kamis 11 Mei 2023.

673

Related Post