Megawati Harus Turunkan Jokowi Jika Ingin Selamat
Kinilah saatnya Megawati bersama rakyat ikut menuntut Jokowi agar mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Jokowi sudah banyak melanggar konstitusi. Tarik “Surat Tugas” Jokowi yang ditunjuk sebagai Petugas Partai PDIP.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN)
RASANYA sulit sekali untuk minta Presiden Joko Widodo “turun tahta”, meski demo besar-besaran telah dilakukan oleh mahasiswa, buruh, emak-emak, dan elemen masyarakat lainnya.
Tidak kurang juga Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) telah pula memberi penilaian Kabinet Joko Widodo – Ma’ruf Amin: NASAKOM, “Nasib Satu Koma”. Ini karena indeks prestasinya “satu koma” saja.
Praktis tidak ada satu prestasi pun yang bisa dibanggakan dari slogan “kerja-kerja-kerja” itu. Jokowi – Ma’ruf lebih mengejar pembangunan infrastruktur ketimbang menyejahterakan rakyatnya.
Mahasiswa dan buruh pun akhirnya mengancam Jokowi bakal menurunkan massa yang lebih besar lagi. Apakah Jokowi masih bisa bertahan hingga pada 2024 nanti?
Jika melihat penilaian BEM UI kepada kabinet Jokowi-Ma'ruf tentu saja hal itu sulit dipertahankan. IP seluruh Menteri itu rata-rata “satu koma” sehingga disebut Nasakom.
IP terendah 1,O diberikan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang disebut sebagai “Malaikat Pelindung Institusi Bobrok” dan Ketua KPK Firli Bahuri “Si Pelanggar Kode Etik”.
IPK (Indeks Prestasi Kurang Ada) tertinggi adalah Nadiem Makarim 1,7 dan segera digelari “Menteri yang Salah Urus Pendidikan”. Di tengahnya itu ada “Penjahat Pengkhianat Demokrasi” yaitu Luhut Binsar Panjaitan (1,3) dan Bahlil Lahadalia (1,4).
Sementara Sri Mulyani, Arifin Tasrif, dan Suharso Monoarfa dilabeli sebagai “Tukang Bakar Duit Rakyat”. Sebelumnya, BEM UI malah pernah memberi predikat kepada Presiden Jokowi sebagai “The King of Lip Service”. Rasanya bosan sekali jika harus menulis ulang daftar janji-janji Jokowi.
Yang jelas, rakyat sudah bosan dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat. Jokowi lebih mengutamakan kelangsungan ekonomi para oligarki dengan berbagai fasilitas kebijakan yang menguntungkan mereka ketimbang urusan “perut rakyat”.
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Baru bernama Nusantara salah satunya. Presiden Jokowi sampai harus “membebaskan pajak” selama 30 tahun kepada mereka, sementara rakyat dicekik dengan beragam pajak dan kenaikan harga BBM yang berdampak pada kenaikan harga sembako, barang, dan jasa.
Memang, Indonesia diketahui masuk dalam daftar 10 negara dengan ekonomi terbesar dunia versi Dana Moneter Internasional (IMF). Bahkan, Indonesia itu berada di posisi ke-7, di atas Inggris dan Perancis.
Daftar ekonomi terbesar dunia mengacu pada tingkat Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mengacu Purchasing Power Parity (PPP). Indonesia mencatatkan PDB sebesar USD 4,02 triliun pada 2022.
Angka ini tertuang dalam laporan World Economic Outlook IMF edisi Oktober 2022. PPP sendiri merupakan salah satu ukuran perbandingan nilai mata uang yang ditentukan oleh daya beli uang tersebut terhadap barang dan jasa di tiap-tiap negara.
Posisi paling atas ditempati oleh China dengan besaran PDB USD 30 triliun, diikuti Amerika Serikat dengan PDB USD 25 triliun, dan India dengan USD 11,6 triliun. Berikutnya Jepang tercatat memiliki PDB USD 6,1 triliun, Jerman mencatatkan PDB USD 5,3 triliun, dan Rusia USD 4,6 triliun.
Sementara, Brazil, Inggris, dan Perancis berada di bawah Indonesia. Secara berurutan mencatatkan PDB sebesar USD 3,78 triliun, USD 3,77 triliun, dan USD 3,68 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus melesat sampai akhir tahun 2022 ini. Dia juga membuat skenario terkait tantangan yang akan dihadapi pada 2023 nanti.
Adapun optimisme tersebut muncul karena Indonesia konsisten mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen selama tiga kuartal beruntun sejak Triwulan IV 2021. Dan, itu masih akan terus berlanjut sampai tiga bulan terakhir pada 2022 ini.
Namun, menurut DR. Fadhil Hasan, PhD, kalau hanya diukur GDP based PPP, kita ukuran raksasa (10 besar), tapi kan kita juga masuk 100 negara termiskin di dunia. “Dengan ukuran kemiskinan Bank Dunia itu, sekitar 150 juta masuk kategori miskin. Kita raksasa yang miskin,” tegasnya.
Dan, tak berlebihan kalau ada yang menilai, misalnya, menilai Sri Mulyani itu bakar duit negara karena kita lihat sekarang kemarin ada data terbaru angka hutang kita sampai sekarang ini sudah tembus sampai 7.420 triliun.
Dengan begitu, kalau rasio pembayaran pokok dan hutangnya kita sekarang sudah tembus sampai Rp 1.000 triliun. Padahal, pendapatan kita kisaran Rp 2.000-an triliun saja, sementara APBN kita Rp 3.000 sekian.
Jadi, sekarang ini kira-kira pendapatan kita itu, untuk membayar bunga dan pokok hutang saja sudah lebih dari 40% dari pendapatan kita. Dan, hampir dipastikan bahwa kita ini hanya bisa membayar pokok dan bunga hutang itu dengan hutang baru.
Siapapun yang terpilih jadi Presiden berikutnya, itu justru yang diingatkan oleh BEM. Jadi, BEM juga mengingatkan beban yang akan ditanggung oleh presiden baru, bukan hanya mengingatkan Sri Mulyani, Jokowi, dan yang lainnya.
Menurut pengamat politik Rocky Gerung, karena ini perjanjian yang ada MoU dan akan dinyatakan sebagai liabilitinya adalah negara, yang akan dijadikan tanggungan adalah aset negara. Investor melihat Indonesia masih bisa digaruk sumber dayanya. Jadi, sekali lagi, ini hutang yang akan dibebankan pada 4 hari pertama presiden baru 2024 itu.
Jika terjadi di luar 2024, lebih mudah untuk negosiasi dengan internasional bahwa ini ada force majeure. Dan itu artinya rakyat tidak menghendaki galang- gulung hutang yang dibuat oleh Presiden Jokowi.
Tapi, itu juga sulit karena orang tetap mau melihat pergantian kekuasaan ini berjalan mulus. Artinya, tak ada semacam people power atau revolusi rakyat. Dengan kata lain, Presiden Jokowi akan menyelesaikan tugasnya pada 2024.
Justru kalau mulus maka bebannya menjadi berat buat presiden berikutnya, kecuali ada eskip yang mengatakan, presiden di depan tidak boleh diikat oleh presiden yang sekarang.
Sebenarnya jika melihat kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia terkini, sudah sepatutnya Presiden Jokowi “lempar handuk” saja. Mundur dari kursi Presiden RI, diikuti oleh Wapres Ma’ruf Amin. Tidak ada kebaikan sama sekali jika Jokowi-Ma’ruf meneruskan hingga akhir masa jabatannya 2024.
Adanya “konflik” kepentingan di internal PDIP hingga muncul isu Jokowi akan kudeta Megawati untuk menggantikan posisinya sebagai Ketum DPP PDIP bisa jadi momentum Megawati mendesak agar Jokowi mundur dari jabatannya.
Bahwa kudeta atas kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang oleh Muhaimin Iskandar merebut PKB dan kudeta atas Amien Rais di PAN bisa saja menjadi inspirasi bagi Jokowi guna merebut PDIP dari trah Soekarno dengan bantuan Ganjar Pranowo dan “pengkhianat” di PDIP sendiri.
Fakta tersebut tampak dari bagaimana Presiden Jokowi mendukung Gubernur Jawa Tengah itu maju sebagai Bakal Calon Presiden 2024. Padahal, Megawati belum memutuskan siapa yang akan diusung PDIP nanti. Yang jelas, putrinya yang Ketua DPR Puan Maharani itu juga berambisi maju Pilpres 2024.
Pertanyaannya, jika berbagai survei menyebut elektabilitas Ganjar Pranowo itu tertinggi dibandingkan Anis Baswedan dan Prabowo Subianto, tetapi mengapa Megawati tak langsung menugaskannya, seperti saat mengusung Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019?
Perlu dicatat, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Tengah sebagai daerah yang dipimpin Ganjar Pranowo masuk dalam daerah termiskin di Indonesia.
Menurut Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, itulah yang menjadi pertimbangan dan membuat PDIP tak juga kunjung mendukung Ganjar.
“Sebagai gubernur yang miskin prestasi karena Jawa Tengah menurut data BPS adalah Provinsi termiskin di Jawa tentu membuat Megawati dan PDIP berpikir ulang untuk memberikan tiket partainya kepada Ganjar Pranowo,” kata Achmad, Selasa (25/10/22).
Dia juga menyoroti pendukung Ganjar di luar PDIP yang terlihat menekan PDIP dan Megawati untuk segera mengusung Ganjar. Antara lain, dengan mendesak KPK untuk memeriksa Puan karena diduga terlibat E-KTP.
“Megawati dan PDIP tentunya akan mengevaluasi kembali bagaimana (dulu) dukungan terhadap Jokowi sebagai presiden RI baik pada periode pertama maupun kedua. Bagaimana tekanan terhadap PDIP dari eksternal dapat dirasakan sangat kuat saat itu,” jelas dia.
Kinilah saatnya Megawati bersama rakyat ikut menuntut Jokowi agar mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Jokowi sudah banyak melanggar konstitusi. Tarik “Surat Tugas” Jokowi yang ditunjuk sebagai Petugas Partai PDIP.
Bukankah Megawati sudah punya pengalaman melengserkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari singgasana Presiden? Gabung bersama mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya untuk melengserkan Jokowi.
Megawati akan dikenang oleh rakyat sebagai “Nasionalis Sejati” seperti Bung Karno jika berhasil selamatkan NKRI. (*)