Memahami Jebakan Subsidi Kendaraan Listrik dalam Keuangan Negara
Oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute
SUBSIDI kendaraan listrik menjadi topik kebijakan publik yang menarik akhir-akhir ini.
Kontroversi tersebut berasal dari Pidato Anies Baswedan pada 7 Mei 2023 di depan Relawan Amanat Indonesia di Istora Senayan.
Anies Baswedan menyoroti bagaimana seharusnya kekuasaan harus tetap berada di tangan rakyat.
Kemudian Anies Baswedan menyoroti subsidi kendaraan listrik yang terkesan ada kelompok ekonomi yang menunggani proyek kendaraan listrik akhir-akhir ini dan subsidi rakyat digunakan untuk mendukung proyek tersebut. Ini Anies Baswedan tidak setuju.
Subsidi adalah alat distribusi kekayaan, bukan akumulasi kekayaan.
Anies menyampaikan pandangannya soal magnitude subsidi listrik yang menggunakan uang publik.
Kritikan Anies Baswedan diberikan batas yang jelas yaitu soal layakkah dalam kebijakan publik, subsidi diberikan kepada the Have dan mencabut subsidi untuk the Have Not.
Dalam perspektif kebijakan publik dan keuangan negara yang terbatas seharusnya pemberian subsidi diberikan kepada sesuatu yang lebih tepat guna dan dapat membantu rakyat yang paling marjinal.
Anies sangat paham kondisi keuangan negara dimana karena terbatas jumlahnya maka subsidi menggunakan keuangan negara harus diberikan melalui sektor-sektor yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat banyak.
Bukan memberikan subsidi kepada mereka yang mampu dan melupakan kelompok miskin.
Anies memiliki keinginan agar negara dijalankan untuk melindungi semua dan memberikan distribusi kekayaan yang adil kepada mereka yang tidak mampu.
Anies memberikan ilustrasi yang tepat dengan membandingkan subsidi untuk mobil di kota besar diprioritaskan namun masih banyak warga negara yang belum punya listrik seperti di Pulau Selaru, Maluku Tenggara Barat.
Pandangan seperti ini lebih tepat dan lebih bijak dalam pandangan kebijakan publik.
Di mana perspektif kebijakan publik adalah subsidi merupakan alat distribusi kekayaan, bukan akumulasi kekayaan bagi orang kaya dan orang kota.
Rekomendasi: Menggiatkan kendaraan listrik untuk massal bukan mengambil aubsidi hak orang lemah.
Bagaimana pandangan kebijakan publik untuk menghindari jebakan subsidi listrik dalam keuangan negara?
Perhari ini Mei 2023, utang negara mencapai lebih dari Rp7,734 triliun atau setara 526 miiar USD.
Jumlah utang tersebut, pemerintah harus membayar rerata Rp400 triliun untuk pokok utang dan Rp386 triliun untuk bunga berjalan.
Totalnya hampir Rp800 triliun untuk membayar pokok dan bunga. Sementara itu APBN berjumlah Rp3.061 triliun.
Proporsi pembayaran utang dan bunga atau debt service ratio (DSR) pada tahun 2023 meningkat di kisaran 25% hingga 30% tepatnya 26,6%.
Memberikan subsidi kepada individu kendaraan listrik akan mempersulit keuangan negara dalam memberikan layanan publik lainnya.
Solusi agar publik menggunakan kendaraan listrik tanpa harus subsidi yang menggerus APBN adalah melalui memberikan insentif non-monetary.
Insentif non-monetary mobil listrik dapat berupa memberikan kebebasan tilang elektronik dan pembatasan ganjil genap yang sebenarnya sudah dilakukan Anies Baswedan di Jakarta.
Anies Baswedan juga menerapkan insentif non subsidi listrik melalui menghapus pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor berbasis listrik baik roda dua maupun roda empat dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 3 tahun 2020 tentang Insentif Pajak Bea Balik Nama Kendaraan atas Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk transportasi jalan.
Dirinya juga memiliki perhatian besar terhadap penggunaan kendaraan listrik, khususnya untuk transportasi umum. Pada awal 2022, Anies meluncurkan 30 bus listrik yang kemudian beroperasi di Jakarta. Jumlah 30 armada bus listrik di Jakarta, termasuk jumlah terbanyak yang ada di Indonesia.
Apa yang sudah dilakukan Anies Baswedan tidak cukup dalam level kota jakarta saja, namun perlu diperbesar dalam ruang lingkup nasional NKRI.
Dengan begitu, Indonesia dapat keluar dari jebakan subsidi mobil listrik yang membebani keuangan negara di masa depan. Semoga (*)