Membawa Lari PDIP dari Sukarnoisme
Oleh: Fathorrahman Fadli - Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)
TEPAT 1 Syawal 1444 versi Lebaran Muhammadiyah, Megawati Sukarnoputri mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon Presiden Indonesia dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, begitu Megawati meluncurkan Ganjar Pranowo, di samping ada sekelompok elit PDIP yang senang, juga ada banyak rasa kecewa yang menyergap.
"Lha, kok Ganjar, apa prestasi Ganjar selama ini", "Lha, kok Ganjar, dia kan penyuka film bokep", "Lha, kok Ganjar, dia khan terlibat isu korupsi e-KTP", dan berbagai komentar miring lainnya.
Menjelang tahun politik, isu-isu tak sedap senantiasa seperti itu seringkali keluar. Sebab data digital senantiasa menyimpannya dengan sangat rapi.
Berbagai kasus yang menimpa seseorang apalagi dia seorang tokoh politik, pastilah akan dijadikan peluru dalam perang merebut kekuasaan.
Apalagi sudah menjadi fakta, yang bukan fakta pun sengaja dibuat untuk menjatuhkan seseorang. Saran saya, itu mesti kita baca sebagai bagian dari dinamika politik yang susah sekali dihilangkan.
Satu-satunya cara yang terbaik adalah menunggu fakta baru guna menjawab berbagai tudingan yang disarungkan pada sang lawan. Itu saja!
Isu tak sedap serupa juga disarungkan pada Anies Baswedan ketika Surya Paloh Ketua Umum Partai Nasdem mengumumkannya sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2024 mendatang.
Anies dituding akan membawa Indonesia seperti Suriah, akan membentuk negara khilafah, Anies boneka Amerika, Anies itu Orang Arab, Anies pendukung politik identitas, Anies akan memecah belah bangsa dan lain-lainnya.
Satu lagi kandidat Presiden adalah Prabowo. Namun Prabowo belum banyak yang menyerang secara masif. Kalau ada yang akan menyerang, banyak isu juga yang mereka persiapkan untuk Prabowo mulai status Jomblo karena lama tak beristri lagi, korupsi anak buahnya di seputar bisnis udang benur, bisnis senjata, gagalnya proyek Food Estate, hingga yang lain; bisa saja diciptakan. Semua itu akan menjadi sampah politik pada waktunya.
Membawa Lari PDIP
Namun bagaimana ceritanya soal Membawa Lari PDIP itu sendiri. Istilah “membawa lari” ini dikenalkan oleh pengamat militer Salim Said.
Istilah itu —dulu, dia populerkan saat menulis kasus Anas Urbaningrum yang berhasil memenangkan pertarungan Kongres Partai Demokrat di Bandung melawan Andi Mallarangeng yang dijagokan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Peristiwa itu dinilai Salim Said sebagai potensi untuk membawa lari Partai Demokrat dari tangan SBY.
Saat itu SBY memang tidak memberi azimat Anas Urbaningrum sebagai Petugas Partai sebagaimana Megawati memberi gelar itu pada Joko Widodo. Di sinilah letak kecerdasan politik Megawati dibanding SBY.
Istilah “membawa lari” itu tentu saja bersifat political warning call. Tampaknya SBY paham sekali soal itu, lalu dia membuat gerakan untuk memutus mata rantai kekuasaan baru Partai Demokrat dari tangan Anas Urbaningrum kembali ke SBY.
Kalau di kalangan Kubu Politik Anas, SBY dinilai telah membegal kekuasaan Anas yang telah memenangkan Kongres secara sah. Dan, Anas pun bernasib sial, ia harus nyantri di Pondok Pesantren Sukamiskin Bandung selama 10 tahunan. Kini, ia kembali bernafas lega sambil memulihkan stamina perjuangan untuk Indonesia yang lebih baik.
Nah, lain halnya dengan Megawati yang secara terbuka menyebut Joko Widodo sebagai Petugas Partai. Sebagai kosa kata politik sesungguhnya Istilah Petugas Partai itu cukup menggelikan jika disarungkan pada kadernya yang berhasil menjadi seorang Presiden.
Saya meyakini dengan sepenuh jiwa bahwa Jokowi sebagai Presiden yang nyata-nyata diusung PDIP marah besar dengan istilah petugas partai tersebut. Mengapa? Sebab istilah tersebut bersifat peyoratif.
Namun apa boleh buat, istilah Petugas Partai itu memang sebuah fakta politik, dan secara substansial istilah itu juga tidak salah, meski sangat peyoratif.
Misalnya kalimat, "Jokowi bukan siapa-siapa tanpa PDIP," ujar Megawati sebagaimana sering ia ungkapkan secara terbuka dalam berbagai acara PDIP. Itu azimat politik Megawati dalam mengendalikan Presiden Jokowi.
Azimat politik tidak sepenuhnya efektif, karena Jokowi dalam hal-hal tertentu terlihat tidak tunduk pada Jokowi. Dalam soal proyek-proyek pembangunan, Jokowi lebih banyak mengikuti saran-saran dari Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Namun ketika berkaitan dengan tiket kepartaian, Azimat Petugas Partai itu berlaku efektif dan sepenuhnya bisa dikendalikan oleh Megawati. Faktanya, deklarasi Ganjar sebagai Capres PDIP itu, Megawati mampu membawa Jokowi, meski dengan pesta yang sangat minimalis.
Potensi Jokowi untuk membawa Lari PDIP itu banyak sekali tanda-tandanya. Sejak awal, sesungguhnya Megawati terlibat semacam Power Struggle dengan Jokowi.
Megawati sejatinya memendam rasa kecewa karena dirinya terpaksa mundur sebagai calon Presiden PDIP ketika Jokowi dipaksa oleh politisi senior PDIP sebagai penggantinya.
Rasa-rasanya saat ini Puan Maharani juga memiliki perasaan politik yang sama dengan ibunya itu. Namun Puan juga sedang belajar memendam kesabaran revolusioner pasca Lebaran tersebut demi kepentingan PDIP secara keseluruhan.
Dalam situasi yang seperti itu, lagi-lagi yang untung adalah para konglomerat China yang selama ini menjadi penyokong utama pembiayaan politik dan logistik PDIP.
Di sini Megawati selalu membangun keseimbangan politik. Bahkan muncul isu bahwa Ganjar Pranowo adalah "Dadu Politik Negosiasi" antara Megawati dengan para konglomerat tersebut. Megawati sadar betul bahwa, politik tanpa logistik akan anarkis. Di sini dia terpaksa berdamai dengan keadaan.
Megawati sadar bahwa Puan Maharani belum waktunya ditampilkan sebagai calon presiden dari PDIP. Jika pola ini dibiarkan, maka ada beberapa keuntungan sekaligus kerugian dalam kasus ini. Pertama, jika Megawati yang lahir 23 Januari 1947 (usia sekarang 76 tahun), maka pada 6 tahun mendatang Megawati akan berusia 82 tahun.
Padahal 6 tahun mendatang itu adalah pesta politik Pemilu 2029. Kondisi fisik dan mental Megawati sudah barang tentu akan sangat menurun. Usia tidak bisa dilawan, sedang takdir usia manusia tidak ada yang tahu.
Di sinilah peluang bagi penerima mandat PDIP potensial akan membawa lari PDIP dari trah Sukarno yang mempesona dunia itu.
Di sini pula kekuasaan Megawati akan rapuh, sedang kekuasaan Puan Maharani belumlah matang. Dan di titik ini pulalah Megawati mesti berfikir lebih strategis demi memelihara Sukarnoisme untuk Indonesia yang lebih beradab. (*)