Membonceng Iklan di Azan Maghrib
Oleh Yarifai Mappeaty - Pengamat Sosial Politik
GANJAR Pranowo kembali membuat publik heboh, lantaran berkampanye di RCTI melalui kumandang azan maghrib. Bacapres PDIP itu dinilai telah mempolitisasi agama. Netizen di jagat maya pun mencibir. Misalnya, “Agama dibawa untuk kepentingan politik praktis, gak punya gagasan lain, yah?” tulis sebuah akun.
Pun, Ade Armando tak mau ketinggalan untuk ikut nyinyir dan menyebutnya kampanye rendah. Padahal, Ade selama ini dikenal sebagai die heart Ganjar. Tapi itu dulu, saat PSI masih mesra dengan PDIP. Sekarang, telah berpindah ke Prabowo yang juga suka dinyinyirinya, dulu.
Lantas, Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, pun berusaha menepis. Tayangan iklan Ganjar membonceng di azan magrib, menurutnya, bukan politik identitas, melainkan wujud religiositas seorang Ganjar. Pernyataan Hasto itu tampak berlepotan sehingga mengundang tawa. Soalnya, religiositas kok diiklankan. Kira-kira begitu di benak publik.
Tetapi tak perlu mencibir Hasto yang tak paham dengan religiositas dalam perspektif islam itu. Anggap saja asal tepis karena terpojok, sekadar untuk berkilah. Coba pikir, bagaimana mungkin seorang non-muslim dapat lebih berhak menjustifikasi religiositas seorang muslim? Menjadi seorang muslim saja belum tentu paham religiositas islam.
Lagi pula, religiositas seorang muslim tidak dilihat pada atribut yang melekat. Misalnya, anak kyai, mantu kyai, dan atau bergelar haji. Sungguh ukurannya bukan itu. Bahkan seseorang yang jidatnya hitam sekalipun, belum tentu religious. Namun, yang berhak disebut religious, adalah mereka yang benar-benar mengamalkan nilai dan ajaran islam secara kaffah.
Selain itu, dalam islam, religiositas tidak untuk dipemerkan, apa lagi diiklankan. Sebab ketika dipamerkan, namanya bukan lagi religious, tapi riya’. Seorang muslim yang benar-benar religious, cenderung sembunyikan amalan baik yang diperbuatnya. Biar hanya dirinya dan Allah yang tahu.
Oleh karena itu, apapun dalihnya, tayangan iklan Ganjar yang membonceng di azan magrib, tetap saja merupakan bentuk praktik politik identitas. Hanya penulis sendiri tak mempersoalkannya. Malah melihatnya lebih sebagai sebuah kreatifitas yang memanfaatkan potensi Ganjar Pranowo sebagai seorang muslim.
Mengapa memang politik identitas selalu diributkan? Sementara demokrasi sendiri memberinya ruang. Kendati kualitasnya disebut rendah, memilih karena faktor identitas, mustahil bisa dihilangkan, karena pada dasarnya merupakan potensi alamiah yang bersifat laten.
Kita hanya bisa membuatnya menjadi faktor tak dominan, dengan cara membuatnya seperti macan tidur, tak mengusiknya, sembari melakukan edukasi secara terus-menerus. Tidak sebaliknya. Sebab jika terus mengusiknya, ia akan terus terjaga dan makin liar. Jika itu terjadi, maka kita akan makin sulit mendapatkan pemimpin yang berkualitas melalui proses demokrasi.
Tetapi masalahnya kita kadang suka lebai. Ketika politik identitas itu tak menguntungkan, digonggongi sekeras-kerasnya. Giliran menguntungkan, diam-diam memanfaatkannya, lalu berkilah seadanya tatkala ada pihak yang mempersoalkannya. Tidak fair, bukan?
Supaya fair, penulis lantas membayangkan sebuah kontes bercorak islami, mumpung semua Bacapres-nya muslim. Misalnya, kontes berwudhu. Ummat Islam sebagai pemilih terbesar akan menilai siapa Bacapres yang berwudhunya benar. Pada kontestasi ini, penulis hendak mengingatkan Mas Ganjar, agar lengan bajunya digulung hingga siku, biar tidak basah.
Terlepas dari semua itu, timbul satu pertanyaan yang cukup mengusik. Mengapa kubu Ganjar tiba-tiba terpikir untuk memanfaatkan tayangan azan magrib? Padahal, bukankah mereka selama ini yang paling terdepan menyuarakan anti politik identitas?
Jangan-jangan kepepet. Elektoral Ganjar masih bermasalah, tidak seperti yang dipropagandakan oleh nyaris semua Lembaga survei. Begitu menyadari elektabilitasnya tertinggal dan sulit terangkat, maka pilihan yang tersedia hanya bagaimana meraup suara ummat islam. Apa boleh buat jikalau harus melanggar hal yang ditabukannya sendiri.
Tayangan iklan Ganjar Pranowo membonceng di azan magrib, sekaligus menegaskan bahwa tidak benar PDIP tidak membutuhkan suara ummat islam (ym).
Makassar, 12 September 2023.