Menakar Iman Demokrat
Peninjauan Kembali (PK) Moeldoko ke MA, itu lebih pada menjegal Anies agar tidak ikut kontestasi Pilpres 2024. Bukan dimaknai merampas Demokrat untuk dimiliki. Maka, iman Demokrat tengah diuji, dan itu akan terlihat dari sikap politiknya dalam hari-hari ke depan,
Oleh: Ady Amar - Kolumnis.
Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sedang di persimpangan jalan kegalauan. Suasana galau tampak makin menjadi-jadi setelah muncul pinangan AHY jadi cawapres, bahkan capres dari partai di luar Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Demokrat menjelma bagai gadis seksi yang diperebutkan. Tentu itu upaya menggembosi KPP, dan itu akan menggagalkan Anies Baswedan sebagai Capres pada Pilpres 2024.
Segala upaya memang tengah dilakukan untuk "mematikan" Anies, agar tidak melenggang lolos sebagai Capres. Tidak saja Demokrat, tapi godaan itu juga mengena pada partai anggota KPP lainnya, PKS. Konon lewat Sandiaga Uno upaya "membujuk" PKS dilakukan. Adalah orang dekat Anies, Sudirman Said yang membocorkan, bagaimana PKS "dirayu" dengan uang dan bahkan dijanjikan angka kemenangan pada Pemilu nanti di mana suara PKS akan ditambah. Itu sinyal, suara partai kawan akan aman setidaknya lolos parliament threshold. Semua bisa dibuat mudah, seperti membalik telapak tangan.
Sudirman Said memang tidak menyebut siapa nama pejabat pemerintahan yang "membujuk" PKS apalagi sampai menyebut nama Sandiaga Uno, yang Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tapi entah siapa yang lalu buat kesimpulan, bahwa itu menunjuk pada Sandiaga Uno. Dan apalagi muncul klarifikasi dari yang bersangkutan, bahwa ia cuma memberi pandangan yang lain pada PKS, bahwa dirinya menganut pola percepatan pembangunan yang sudah dilakukan Jokowi, dan bukan pembangunan dengan pola perubahan sebagaimana gagasan Anies Baswedan.
Pengakuan Sandi itu ditafsir sekadar pembelaan diri, bahwa apa yang dilakukannya adalah memberi spektum atau pandangan yang lain pada PKS, dan itu bukan intervensi pada keputusan yang sudah dibuat KPP. Bentuk klarifikasi Sandi itu dimaknai agar tidak muncul spekulasi liar. Tapi opini yang muncul lebih mempercayai apa yang disampaikan Sudirman Said, bahwa ada intervensi berupa bujukan pada PKS dari pejabat pemerintahan, yang lalu dikuatkan kemunculan Sandi memberi klarifikasi.
Sudirman Said pastilah tidak asal bicara. Dipastikan ia dapat bocoran itu dari elite PKS, yang tergabung dalam kelompok kecil, perwakilan 3 partai di KPP. Info itu dipastikan shahih. Sudirman Said perlu menyampaikan itu, agar publik luas tahu bahwa hantaman untuk "mematikan" Anies terus dilakukan dengan berbagai cara di luar kewajaran. Sampai saat ini bisa dikatakan iman PKS dalam menampik godaan atau ujian, sepertinya bisa dilewati dengan selamat.
Begitu pula ujian yang ditimpa Partai NasDem, inisiator utama dan pertama pencapresan Anies, mengalami hal yang lebih-lebih tidak mengenakkan. Tidak mempan didekati dengan ancaman, maka "dihajar" dengan salah satu menterinya dicokok, Menkominfo Johnny G. Plate, yang juga menjabat Sekjen NasDem. Kabar sayup-sayup pun muncul, bahwa 2 menteri NasDem yang tersisa--Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya--juga akan ditersangkakan dengan entah apa salah mereka. Sepertinya mudah dicarikan dalih mentersangkakan. Hukum tegak untuk yang dianggap lawan, tapi tidak berlaku untuk kawan. Pula bisnis Surya Paloh Ketua Umum NasDem sudah mulai diganggu dengan tidak sewajarnya. Iman NasDem terlalu kuat-kokoh, tak bisa dibujuk, perlu digebuk, sekalian diinjak dengan kerasnya.
Mari kita kembali ke Partai Demokrat.
Riak-riak kecil muncul di internal Demokrat. Suara-suara bersilangan bersahutan saling bertubrukan, seperti diskenariokan demikian. Satu elitenya memaksa Anies untuk segera mengumumkan Cawapresnya, seperti nada mengancam dengan memberi deadline, setidaknya Juni ini sudah diumumkan. Nada menekan itu terasa, seolah jika Anies tidak mengumumkan Cawapresnya, implisit Demokrat akan "melirik" ke lain hati. Setidaknya itu disuarakan Andi Arief, yang selalu muncul sebagai die hard partai, bahkan acap tampil dengan peran antagonis.
Andi Arief yang ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat menyatakan akan mengevaluasi dukungan atas Anies Baswedan. Menurutnya, itu karena elektabilitas Anies yang cenderung terus menurun. Menurutnya, itu disebabkan Anies tidak secepatnya mengumumkan Cawapresnya. Memakai kecenderungan elektabilitas Anies menurun versi lembaga survei, itu sih mengada-ada. Semua pastilah faham, bagaimana lembaga survei itu bekerja, dan dibayar untuk kepentingan kandidat tertentu. Karenanya, tidak inheren dengan realita pilihan rakyat. Membiarkan Andi Arief ngoceh sekenanya, itu sikap tidak bijak dalam membangun soliditas koalisi.
Semua serasa terjadi setelah Rakernas PDIP III, 6-8 Juni 2023, yang memasukkan AHY sebagai salah satu kandidat Cawapres untuk Ganjar Pranowo. Maka suasana kebatinan Demokrat seperti menemukan momentum "menekan" Anies, bahwa AHY di koalisi lain sudah disediakan karpet merah untuk dipijaknya. Seolah menjadi aneh jika di KPP, AHY dilihat tidak sebagaimana yang diharapkan.
Seriuskah rayuan PDIP yang akan memberikan kursi Cawapres-nya pada AHY, itu sih upaya main-main, jika menilik hubungan PDIP dan Demokrat, lebih spesifik lagi hubungan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, yang sampai sekarang tak ubahnya air dan minyak. Memasukkan nama AHY itu sekadar menggoda saja. Sebab rekomendasi Cawapres di Rakernas PDIP, itu muncul beberapa nama yang memang sudah akrab disandingkan dengan Ganjar. Di antaranya, Erick Thohir. Godaan PDIP itu sampai perlu dibocorkan Puan Maharani, itu untuk menguji AHY, lebih jauh lagi menguji "iman" Demokrat. Sambil menakar kesolidan KPP.
Suara Andi Arief bukan suara resmi Partai Demokrat, tapi membiarkan suaranya bising di ruang publik, itu hal tidak seharusnya. Meski suara elite lain di Demokrat seperti mengoreksi apa yang disampaikan Andi Arief, bahwa Demokrat akan tetap bersama KPP. Bahkan AHY mengatakan, bahwa Demokrat sudah menandatangani Nota Kesepakatan mengusung Anies Baswedan sebagai Capres. Artinya, itu mustahil dilanggarnya.
Tarik-menarik Cawapres di KPP tentu membebani Anies Baswedan untuk memutuskan siapa yang layak mendampinginya. Tentu tidak sekadar elektabilitas Cawapres hasil rilis lembaga survei, tapi lebih memilih kandidat yang real dapat menambah suara signifikan untuk pemenangan Pilpres 2024.
Jika tampak bahwa Demokrat terkesan semacam memaksakan kehendak, agar AHY yang lolos sebagai Cawapres yang mendampingi Anies, itu tidak sebenarnya benar. Tapi perlu diingat bahwa penentuan Cawapres itu wilayah Anies untuk memutuskan siapa yang tepat mendampinginya. Sedang partai yang tergabung dalam koalisi cukup memberikan saran dan usulan siapa yang layak dipilih, yang itu dapat menyumbang perolehan suara untuk pemenangan dalam Pilpres.
Menggoda Demokrat sepertinya memang sedang diupayakan. Bahkan Puan Maharani sampai-sampai akan menemui AHY di markasnya. Pastilah ingin membujuknya untuk meninggalkan KPP, dan bergabung dengan koalisi PDIP. Tidak menutup kemungkinan di balik itu semua akan muncul tawaran yang bisa melepaskan Demokrat dari "begal" Moeldoko. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, tidak ada yang tidak mungkin, semua bisa diatur. Peninjauan Kembali (PK) Moeldoko ke MA, itu lebih pada menjegal Anies agar tidak ikut kontestasi Pilpres 2024. Bukan dimaknai merampas Demokrat untuk dimiliki. Maka, iman Demokrat tengah diuji, dan itu akan terlihat dari sikap politiknya dalam hari-hari ke depan.**