Mengapa Sistem Proporsional Tertutup Harus Ditolak?

Oleh: Radhar Tribaskoro - Anggota Presidium KAMI 

BEBERAPA hari lalu Prof. Dr. Denny Indrayana lagi-lagi membocorkan informasi politik ke publik. Menurut Denny, MK (Mahkamah Konstitusi) sudah memutuskan untuk memenangkan judicial review yang diajukan PDIP agar pemilu legislatif 2024 menerapkan kembali sistem proporsional tertutup.

Perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup harus ditolak karena akan memperkuat oligarki, menghancurkan daya saing partai politik yang ada, menurunkan kualitas pemilu, meningkatkan golput dan menggagalkan pemilu sehingga membuka peluang bagi perpanjangan masa jabatan Presiden Widodo.

Bagaimana penjelasannya?

Sistem proporsional tertutup, apa itu?

Sistem proporsional tertutup adalah sebuah sistem pemilihan di mana para pemilih tidak secara langsung memilih para kandidat, melainkan memilih partai politik mereka. Para kandidat dipilih berdasarkan posisi mereka dalam daftar kandidat yang telah ditetapkan sebelumnya oleh partai politik mereka. 

Sistem ini berlaku di era Orde Lama dan Orde Baru. Setelah reformasi sistem itu berubah menjadi sistem proporsional terbuka dimana selain memilih partai para pemilih juga diperbolehkan untuk secara langsung memilih kandidat. Para kandidat dipilih berdasarkan suara terbanyak di daerah pemilihan mereka.

Implikasi

Sistem proporsional tertutup mendorong para politisi untuk berkonsentrasi pada masa pra-kampanye, yaitu perebutan nomor urut. Nomor urut yang diperebutkan adalah nomor urut satu karena kebanyakan partai hanya bisa memenangkan satu kursi dari setiap daerah pemilihan. 

Hal ini secara langsung menimbulkan tiga implikasi. Pertama, oligarki partai semakin kuat kedudukannya. Semua politikus yang berniat menjadi caleg mesti mendapatkan dukungan mereka. Tentu saja dukungan itu tidak gratis, para oligarki akan mengendalikan partai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Secara nasional menguatnya kedudukan oligarki partai akan menjadikan kombinasi kekuasaan mereka dengan oligarki bisnis semakin sulit ditembus.  

Implikasi langsung kedua, kandidat nomor urut dua dan seterusnya cenderung pasif dalam kampanye. Akibatnya, beban kampanye di dapil hampir sepenuhnya mesti ditanggung oleh partai. Bagi partai-partai menengah bawah, beban ini sangat berat dipikul. Dengan kata lain daya saing partai politik menengah-bawah akan merosot drastis. 

Sementara itu bagi pemilih perubahan sistem itu memaksa mereka untuk memilih partai, bukan memilih kandidat lagi. Preferensi mereka menjadi semakin sempit dan hal itu mempengaruhi daya evaluasi pemilih atas kualitas kandidat. Hal itu pada gilirannya akan menurunkan kualitas pemilu. Selain itu, ketiga, besar kemungkinan pemilih tidak berminat berpartisipasi sehingga berdampak kepada meningkatnya golput (turn-out). 

Kesimpulan

Ketiga implikasi di atas, mudah diduga, akan menimbulkan tsunami di tubuh partai politik dan KPU. Para caleg yang sekarang sudah mendaftar di KPU akan bergolak. Mereka yang sebelumnya bersedia berada di nomor urut besar karena berharap memperoleh suara terbanyak melihat bahwa iktikad mereka itu akan sia-sia. Mereka akan menuntut perubahan nomor urut pemilih, dan lebih dari itu tidak akan sedikit yang akan memilih mengundurkan diri dari pileg. Kondisi itu memungkinkan partai-partai politik untuk membatalkan partisipasi mereka dalam pileg 2024.

Kegemparan di partai politik ini akan menyebabkan KPU memundurkan jadwal pemilu. Selain itu KPU juga harus melakukan penyesuaian yang tidak mudah. Misalnya, KPU berkewajiban melakukan pendidikan ulang terhadap staf KPU sampai ke tingkat TPS. Selain itu KPU juga mesti melakukan pendidikan pemilih agar perubahan tersebut tidak menimbulkan ekses negatif.

Gelombang tsunami di tubuh partai dan KPU bisa jadi menimbulkan ketak-stabilan politik dan keamanan. Atas dasar itu pihak berwenang akan mengumumkan tidak dapat menjamin keamanan pemilu. Itu alasan yang cukup baik bagi Presiden untuk menunda pemilu. Presiden kemudian akan mengumumkan keadaan darurat untuk mencegah terjadinya vakum kekuasaan. Dengan keadaan darurat itu Presiden menyatakan kembali ke UUD 1945 asli. Dengan konstitusi itu ia dapat berkuasa selama dia inginkan. DPR dan DPD akan mengamini saja, sebab perpanjangan jabatan presiden berarti memperpanjang jabatan mereka juga.

Sebuah kudeta konstitusi telah terjadi. Anda setuju? (*)

390

Related Post