Menggugat Mitos Penguasa Selalu Benar

Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH | Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM Institute)

Ada 4 (empat) syarat pembentukan sebuah negara menurut Hans Kelsen dalam bukunya “Teori Negara” yaitu ; Ada rakyat, wilayah, pemerintahan, dan hukum. Karena dalam pembentukan negara butuh kesepakatan, konsensus dan pengakuan baik dari dalam diri organisasi (struktur negara)nya, maupun dari pengakuan negara lain (dunia internasional). (Hans Kelsen. “Teori Negara”. Buku Kesatu. 1980).

Di era kontemporer saat ini sistem kekaisaran, imperium dan kekhalifahan tidak ada lagi. Dalam konsepsi “Nation State” (negara bangsa) yang “dimodernisasi kembali” dan diprakarsai oleh seorang tokoh Yahudi bernama Theodre Hezle, menyatakan bahwa masing-masing negara saat ini dibedakan berdasarkan bentuk pemerintahannya. Ada yang berbentuk Monarki Absolute (tunggal), Monarki Konstitusi, Republik, dan Protectorat Country.

Demikian juga dalam dalam rekruitman kepemimpinan nasional negaranya. Ada yang berdasarkan garis keturunan raja (Monarki Absolute) untuk kepala negaranya dan ada juga yang melalui pemilihan umum untuk negara yang menganut paham demokrasi. Baik itu untuk pemilihan kepala negaranya maupun kepala pemerintahannya. 

Pertanyaannya, kenapa setelah ribuan tahun dunia ini dipayungi oleh sistem pemerintahan berbentuk kekaisaran, raja, dan kekhalifahan, banyak berubah total menjadi bagian-bagian kecil negara berbasis kebangsaan?

Salah satu jawabannya itu adalah agar terjadi pembahagian kekuasaan dalam pengelolaan pemerintahan organisasi bernama negara. Dimana rakyat tidak saja hanya menjadi objek kekuasaan, tetapi juga mempunyai kedaulatan (khidmad) dalam memperoleh hak dan dan kewajibannya secara berkeadilan.

Karena di dalam sistem Monarki (di era sebelumnya) rakyat harus dan wajib tunduk kepada seorang Raja, dan sulit untuk mendapatkan hak-hak serta perlindungan dirinya ketika Sang Raja berkonspirasi (jahat) sekalipun.

Untuk itulah lahir konsepsi negara dengan sistem demokrasi sebagai salah satu alternatif dimana suara rakyat adalah suara Tuhan (Voc Populi Vox dei), dengan proses perekrutan kepemimpinan nasionalnya melalui pemilihan umum (suara pilihan rakyat).

Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa, konsepsi “nation state” ini adalah bentuk taktik strategi kelompok elit global yahudi dalam “mempreteli” konsepsi kekuasaan yang terintegrasi berbasis keagamaan seperti imperium, kekaisaran, dan ke khilafahan. Karena, elit global juga punya agenda untuk mendirikan konsepsi “The new world order” (sebuah tatanan baru dunia), yang tunduk dalam satu tatanan yang mereka buat, dan mengenyampingkan agama dari kekuasaan.

Konsepsi ini juga yang mempengaruhi terbentuknya negara kita Indonesia. Dimana dahulunya sebelum negara ini terbentuk, nusantara ini selama ribuan tahun lamanya juga hidup dalam suasana kerajaan-kerajaan. Yang diperintah oleh seorang Sulthan dan Raja. 

Jadi wajar, dalam perilaku sosial kadang kala baik rakyat dan pemimpinnya, secara genetis dan psikologis budaya masih bersifat feodalistik ala kerajaan. Padahal, negeri ini sudah 78 tahun berubah menjadi negara Republik.

Akar budaya feodalistik ini juga yang sesuai judul kita di atas, kadang kala dimanfaatkan oleh kelompok elit politik untuk memanipulasi kekuasaannya agar tetap terus eksis mendapatkan legitimasi untuk melakukan apa saja dengan instrumen kekuasaannya. Dengan mengatasnamakan “Pemerintahan yang sah”, namun bukan berarti pemerintahan yang benar?

Padahal, di dalam negara demokrasi itu, kedaulatan tertinggi itu berada di tangan rakyat. Owner dan komisaris dari negara ini adalah rakyat. Karena juga secara sejarah, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang diperjuangkan, dan didirikan sendiri oleh rakyatnya melalui perang dan senjata. Meskipun dengan mengorbankan harta dan nyawa dari pada pendahulu kita.

Indonesia sebagai negara yang telah menobatkan dirinya sebagai negara Demokrasi, seharusnya sudah jauh dari perilaku kuno pemerintahan yang anti kritik, anti perbedaan, diskriminatif, sifat otoritanisme yang selalu menggunakan tangan aparat keamanan untuk melindungi kepentingan penguasanya.

Bahkan, di dalam demokrasi itu, salah satu kemewahan rakyat itu adalah dapat mengkoreksi langsung pemimpinnya yang dianggap gagal dan tidak becus menjalankan amanah pemerintahannya. Dalam konteks Indonesia, semua itu sudah dilindungi dalam UUD 1945 pasal 28 dan UU HAM Tahun 1999.

Namun faktanya hari ini, apalagi semenjak era Joko Widodo ini jadi presiden periode kedua. Semua tatanan demokrasi itu dirusak dan dihancurkan dari segala lini. Tak ada lagi pembahagian kekuasaan (Trias Politika) di negara kita. Karena semuanya sudah “berselingkuh” dengan kekuasaan. Padahal, Trias Politika itu adalah instrumen utama dari pemerintahan negara demokrasi.

Demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia adalah demokrasi manipulatif. Demokrasi semu administratif prosedural saja. Memang ada Pemilu dan Pilpres, namun kualitas kejujurannya sangat jauh dari harapan. Karena penuh dengan hawa dan bau kecurangan dan kejahatan demokrasi.

Memang dalam tampilannya Joko Widodo ini begitu sangat sederhana, merakyat, ndeso dan penuh puja puji media. Namun faktanya, hampir semua kebijakan strategis yang diambil lebih banyak menguntungkan kelompok coorporate oligarkhi, elit politik kelompoknya. Lahirnya UU Minerba, UU Omnibus Law, dan UU tentang IKN adalah fakta konkritnya. 

Keberhasilan Joko Widodo tak lebih dari sikapnya yang mampu mengkonsolidasikan instrumen kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarganya. Bahkan PDIP yang menjadi partai politik pengusung utamanya pun saat ini “gigit jari” ditinggalkan. Maka jadilah hari ini, seorang Joko Widodo menjelma menjadi seorang Presiden dengan kekuasaan full power. Seolah tanpa batas. Sebuah basis kekuasaan yang di bangun atas dasar “populis otoritarianisme”. 

Namun di sinilah letak kekeliruan Joko Widodo dan juga “kenaifan” masyarakat Indonesia. Karena kita lupa bahwa, kekuasaan yang saat ini ada di tangan Joko Widodo itu adalah “pinjaman”, yang bersifat sementara sesuai dengan jangka waktu masa jabatannya. Oktober tahun depan, kekuasaan Joko Widodo harus segera di kembalikan kepada rakyat, dan pemenang Pilpres. Artinya, kekuasaan Joko Widodo tidak absolute seperti tahta kerajaan. Bahkan, kalau seorang Joko Widodo apabila melanggar konstitusi dan melakukan perbuatan tercela, maka kekuasaannya bisa ambil kembali. Sesuai dengan pasal 7 UUD 1945.

Kenapa semua itu bisa terjadi, salah satunya adalah karena secara genetis DNA, budaya kultural feodal masyarakat kita masih sangat tinggi. Budaya kultural era kerajaan Majapahit masih melekat dalam psikologi prilaku budayanya. Yaitu : Menganggap penguasa (raja/presiden) itu selalu benar, manusia setengah dewa, yang “pasti baik” dan wajib dita’ati. Atau dengan istilah sandiko Prabu. 

Ditambah lagi pengaruh spritualitas keagamaan yang mayoritas Islam, dimana di dalam ajaran Islam juga ditekankan adanya ke ta’atan terhadap pemimpin (ummaroh) dan imam. Atau dengan istilah “sami’na wa atokna”.

Apalagi mesti kita akui bersama, kepiawaian seorang Joko Widodo memainkan pencitraan media, dengan konsepsi logical fallacy. Sehingga, masih banyak masyarakat dan elit pemimpin begitu “tunduk” dan malah takut pada sosok Joko Widodo.

Sedangkan keta’atan, ketunduk-an yang di maksud dalam Islam itu adalah, selagi seorang pemimpin itu tidak melakukan ke ingkaran dan melakukan kerusakan akidah secara terang/terangan. Ada batas dan nilai yang mengaturnya.

Padahal juga, di dalam dunia politik bernegara. Mitos penguasa selalu benar itu sungguh sangat “naif” sekali. Karena, kepemimpinan di dalam negara demokrasi itu diperoleh melalui prosedur politik. Yang di dalamnya penuh dengan trik intrik manipulatif, yang tidak peduli nilai, norma dan moralitas. 

Pemimpin dalam negara demokrasi, sejatinya antitesa dari potensi konspirasi negara monarki. Namun jangan salah, meskipun sudah menjadi negara demokrasi, potensi konspirasi yang dilakukan oleh sekelompok oligarkhi juga bisa terjadi. Toh di dalam dunia pencitraan, semuanya bisa disulap. Melalui ilmu logical fallacy, kebenaran objective bisa dikalahkan oleh prasangka keyakinan subjective. Orang baik bisa disulap menjadi orang jahat, dan orang jahat bisa disulap jadi orang baik bak malaikat.

Hal ini yang mesti disadari masyarakat Indonesia adalah masyarakat harus kritis, logis, realitis dalam melihat fenomena yang terjadi di tubuh pemerintahan. Khususnya pada aparatur negara, TNI/POLRI, dan pegawai BUMN. Pahami hal ini dengan baik dan benar. Karena saat ini kita sudah menjadi negara moderen bukan era kolonialisasi dan kerajaan lagi. Yang harus menjilat-jilat pada atasan asal dapat jabatan, namun rela mengenyampingkan integritas dan harga diri kepada kekuasaan sesa’at.

Akhirnya rakyatlah yang kembali bisa mengawasi langsung, mempelototi setiap gerik pemerintahan ketika fungsi-fungsi trias politika dilumpuhkan. Rakyat sebagai kekuatan “civil society” harus mempunyai keberanian, literasi, ghiroh, dan kesadaran kolektif untuk mengkoreksi penguasa hari ini. Penguasa yang setiap lima tahun di pergilirkan melalui Pemilu.

Sebagai negara demokrasi, kepentingan rakyat harus di atas segalanya. Pemerintah adalah pelayan rakyat. Penguasa hari ini seperti Joko Widodo juga akan berakhir masa jabatannya. Tak ada yang abadi. Matahari pun akan tenggelam menuju malam.

Itulah indahnya demokrasi, karena ada selalu jangka waktu pergantian kekuasaan. Agar, ketika ada penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya maka tidak akan bisa bertahan lama. Rakyat bisa menggantinya baik dalam pilihan atau, melakukan perlawanan bahkan pembangkangan kalau penguasa hari ini melanggar konstitusi. 

Di dalam negara demokrasi (negara moderen) ini, kuncinya ada pada kekuatan civil society. Kalau rakyatnya sendiri rapuh, berpecah belah, maka anasir anasir jahat elit koorporasi (oligarkhi) pasti akan memanfaatkan momentum ini untuk terus menancapkan hegemoni kekuasaanya melalui proxy-proxy nya yang sudah dibentuk.

Artinya, mitos seolah penguasa itu selalu benar, harus ditinggalkan. Karena itu adalah cara berpikir “jadul” dan feodalistik. Itu sama saja kita mundur jauh kebelakang. Karena yang benar itu adalah, terikat dengan nilai (Value) bukan dengan figur sosok maupun jabatan. InsyaAllah. (*)

480

Related Post