Menguak "Aqidah" Politik

Oleh Irawan Santoso Shiddiq  -  Kolumnis

“Pra-modern, Raja adalah wakil Tuhan. Modern state, presiden dianggap wakil rakyat. Post modern, pemimpin adalah wakil oligarki.”  

King Louis XVI sesosok muda penuh makna. Dia raja Perancis terakhir. Nasibnya digantung di depan penjara Bastille. Perang aqidah membahana berabad-abad sebelumnya. Antara pengikut ‘kehendak Tuhan’ atau ‘kehendak manusia.’ Tahun 1789 itu, revolusi Perancis pecah di Paris. Pengikut ‘kehendak manusia’ memenangkan massa. Mereka melakukan revolusi besar. Robiespierre pemimpin kaum pengusung ‘kehendak manusia.’ Mereka meneriakkan slogan ‘Liberte, Egalite, Fraternite’ di mana-mana. Liberte, merdeka dari urusan ‘kehendak Tuhan.’ Egalite, bermakna keadilan hukum yang harus dibuat berlandas ‘kehendak manusia.’ Fraternite, persaudaraan sesame pengikut ‘kehendak manusia.’ Revolusi Perancis adalah perang antara dua pengikut aliran itu. Tapi kaum pengusung ‘kehendak manusia’ sebagai pemenang. 

Robiespierre tentu merujuk kitab sucinya, buku JJ Rousseau. Dia menafsirkan ‘kehendak manusia’ itu sebagai ‘kehendak rakyat.’ Manusia yang berhak menentukan siapa pemimpinnya. Bukan lagi berlandas ‘wakil Tuhan’ yang merujuk pada ‘kehendak Tuhan.’ Pra revolusi itu, Eropa dilanda dogma ‘Vox Rei Vox Dei.’ Suara Raja Suara Tuhan. Ini yang kemudian dikudeta menjadi ‘Vox Populi Vox Dei.” Suara rakyat, suara Tuhan. Dua adagium itu, pertarungan perihal aqidah. Antara pengikut jabariyya melawan qadariyya. Mereka perang betulan di Paris. Tapi Revolusi Perancis itu, pembantaian pengikut ‘kehendak Tuhan’ oleh kaum fanatik pada paham ‘kehendak manusia.’ 

Raja Louis XVI, simbolisasi pengikut ‘kehendak Tuhan.’ Begitu selepas digantung di depan Bastille, kepalanya dipenggal dan ditenteng sepanjang jalan Paris. Robiespierre berkata, “Inikah wakil Tuhan itu?” Pertanda Raja bukanlah ‘wakil Tuhan.’ Kalimat Robiespierre itu yang ditiru Kemal Attaturk seabad kemudian. Kala menggulingkan Daulah Utsmaniyya dan mengubah menjadi Republik Turki. Landasan semangatnya sama: pengusung ‘kehendak manusia.’ Selepas menggulingkan Sultan Abdul Hamid II sebagai Sultan Utsmaniyya, Attaturk berpidato keras, “Sekarang kehendak siapa yang berkuasa? Kehendak Tuhan atau kehendak saya?” Gemuruh kaum ‘young Turks’ menyambutnya. Mereka para modernis Islam. Kaum yang ingin duduk sejajar dengan kuffar. 

Perihal aqidah ini memang tak biasa. Revolusi Perancis jadi ajang persekusi dan eksekusi. Paris banjir darah. Hanya perbedaan tafsir perihal ‘kehendak.’ Pengusung revolusi, tentu pengikut ‘free will.’ Mereka menafsirkan ‘segala sesuatunya adalah materi.’ Ini bermula dari ajaran filsafat. Robiespierre hanya anak kandung dari ideologi ‘Robiespierre.’ Dan Robiespierre merupakan anak ideologis dari Jean Bodin. Dia pengusung ‘modern state’ bahwa manusia yang berhak menentukan pemimpinnya. Kekuasaan adalah buah dari ‘kehendak manusia.’ Bodin tentu berada dalam satu millah yang sama dengan Montesquei, Machiavelli, sampai Thomas Hobbes. Mereka inilah pengusung aliran ‘politique’ yang berkembang abad pertengahan di Eropa. 

Politiue (politik) ini yang bergema dalam sisi kekuasaan. Buah dari ajaran filsafat. Karena Rene Descartes telah mendeklarasikan ‘cogito ergo sum.’ Manusia sebagai subjek yang mengamati. Manusia bukan objek yang diamati. Jadi manusia sebagai penentu. Descartes berkata, “filsafat adalah ajang dimana manusia, Tuhan, alam semesta dan lainnya menjadi ajang penyelidikan manusia.’ Dari sinilah pemisahan antara akal dan wahyu. Karena Cartesian memberi tunjuk ajar, manusia sebagai sentral point atas segalanya. Mereka menafsirkan ‘idea’- Plato kebablasan. Idea itulah sumber utama untuk menentukan siapa yang berhak sebagai penguasa. 

Dogma Gereja Roma, yang hidup abad pertengahan, memberi ajaran bahwa kekuasaan adalah wakil Tuhan. Roma sebagai entitas yang berhak menafsirkan kitab suci. Maka, Raja-Raja haruslah yang mendapat restu dan petunjuk dari Roma. Era itulah Gereja Roma menjadi pusat utama kekuasaan. Karena dalam dinamika itu Raja ditentukan. Sehingga adagium ‘the king can do no wrong’ membahana. Perintah Raja, dianggap perintah Tuhan. Tapi berabad-abad, banyak praktek kerajaan yang keluar dari rasionalitas. Disinilah pengusung filsafat masuk menusuk mulai mencari tanya. “Benarkah raja wakil Tuhan? Jika raja salah, apa itu merupakan kehendak Tuhan?” 

Serangan perihal aqidah dari John Calvin dan Luthern menjadi mencuat tajam. Otoritas Roma makin terdegradasi perlahan. Massacre de Paris, 1572, menjadi ajang pembantaian awal dua pengikut. Karena Roma memberikan titah tegas, pengikut Calvin, Huguenot, itu dicap sebagai bid’ah. Dan bid’ah dibolehkan dibunuh. King Charles IX, Raja Perancis, mengikut titah itu. Tapi peristiwa itu dijadikan ajang menyingkirkan pesainya. Karena ibunya King Charles, Chaterine de Medicie, terlalu dominan mengendalikan kerajaan. Disitulah bentuk kerajaan yang tak sehat. Karena Raja tak memimpin. 

 ‘Massacre de Paris’ itulah ajang pembunuhan besar-besaran atas nama aqidah. Dupplesis Mornay, penasehat kerajaan Perancis, mencatatkan dalam dramanya. Peristiwa kelam pembantaian perihal perbedaan cara pandang terhadap Tuhan. 

Pasca “Massacre de Paris’ itulah mencuat dua aliran pemikiran. Pengusung “politque” dan pengusung ‘monarchomach’. Ini dua aliran berbeda. Machiavelli dan turunannya tentu lebih memilih bahwa tafsir atas ‘kekuasaan’ harus diteorikan ulang. Tapi kaum Monarchomach tak begitu. Mereka tetap mengusung kekuasaan adalah ‘kehendak Tuhan.’ Tapi mereka anti monarkhi. Tak setuju dengan praktek kerajaan yang berlangsung di Eropa. Mereka juga menolak ‘the king can do no wrong.’ 

Bagaimana jika raja melakukan kesalahan? Kaum monarchomachen meniru praktek kekuasaan Romawi kuno. Kala Julius Caesar dianggap melakukan corrupt pada Republik Romawi. 29 Senator berkumpul dalam konspirasi. Mereka melakukan pembunuhan Caesar dalam Senat. Itulah jalan Monarchomach. Raja lalim, bisa dipenggal. Raja berbuat salah, bisa diganti. Tapi peranan Senat haruslah dominan. Masa Romawi. Senat bukan diisi sembarang orang. Bukan dilotere, bak era kini. Melainkan Senat haruslah cerdik pandai, alim ulama. Mereka penyambung lidah rakyat. Demokrasi modern, hanya bak “fiction telling” – seperti kata Ian Dallas --, ulama besar dari Eropa. Karena demokrasi modern, bukanlah demokrasi. 

Tapi aliran Monarchomach ini kala tenar dengan pengusung ‘politique.’ Teori Bodin, Hobbes, sampai Rousseaou lebih diminati. Karena persolan tafsir ‘kehendak siapa’ ini menjadi membuncah tajam. Serangan filsafat di Eropa, tak bisa dibendung kaum alim ulama Gereja Roma. Mereka sering menyikapinya bukan dengan ilmiah. Gelileo dihukum, Bruno dibakar sampai filosof dikejar-kejar, pertanda itulah akhir dari peradabannya. Era kini berbalik. Pengusung filsafat berubah menjadi anakis. 

Ini yang bisa dilihat pasca Revolusi Perancis. Pengikut ‘kehendak manusia’ berubah menjadi anakhisme. People power digunakan menggulingkan titah Kerajaan dan Gereja Roma. Tapi setelah itu, perubahan drastis terjadi. Jika sebelum Revolusi, Eropa terbagi dalam tiga kelas. Kelas pertama, kaum bangsawan dan agamawan. Kelas kedua, kaum borjuis, para baron. Kelas ketiga, kaum proletar. Rakyat. 

Pasca revolusi, kelas bangsawan dan agamawan disingkirkan. Kaum borjuis dan para baron mengambil alih. Mereka menjadi strata teratas. Dan kaum proletar, tetap pada kelasnya. Tak ada kelas kedua. 

Robiespierre tak menyadari itu. Dikiranya ‘kehendak manusia’ akan menyelesaikan masalah. Pasca dia memenggal kepala Louis XVI, dikiranya dia adalah Pemimpin Republik Perancis. Beberapa tahun dia bertatha, dia dikudeta. Napoleon didapuk menjadi Kaisar baru. Siapa mengkudeta Robiespierre? Mereka-lah kelompok kelas baru: kaum borjuis dan baron. Mereka yang kemudian mengambil alih kekuasaan secara de facto. Para borjuis, berkumpul menentukan Napoleon sebagai Kaisar. Mereka kemudian memberi Napoleon pinjaman uang berbunga sebesar 75 Juta Franc. Itu dianggap utang nasional. Tapi para borjuis itu menuntut hak untuk mengatur ekonomi Perancis baru. Mereka membentuk ‘Bank de France.’ Inilah bank nasional Perancis. Napoleon wajib membayar utang berbunga setiap tahun. Dia Kaisar, tapi tak berkuasa atas keuangan Perancis. 

Stendhal, pakar sejarah Inggris berkata, “Penguasa adalah dia yang mengendalikan harta.” Tragedi Napoleon menjadi bukti, dia sebagai Kaisar hanya boneka. Terbukti, beberapa tahun kemudian dia dibuang ke Pulau Elba. Napoleon merana. Nasibnya tak berbeda jauh dengan Robiespierre. Kaisar berganti, Presiden berganti, tapi kekuasaan tetap dipegang kaum borjuis tadi. Merekalah oligarki. 

Kekuaan para oligarki ini rampak pasca Perang Dunia II. Mereka mengumpulkan seluruh pemimpin-pemimpin negara. Tak ada namanya negara adidaya. Bretton Wood, 1944, jadi bukti siapa yang bisa memerintah negara-negara. Mereka berkata, “Mulai sekarang kami menerbitkan uang tak ada lagi back up emas.” Itu pertanda kekuasaan oligarkhi tak bisa dibantah. Tak ada satu head of state-pun bisa membantah. “Siapa saja boleh jadi presiden, asal kami yang mencetak uangnya,” kata Rotschild. 

Tentu perpanjangan tangan kaum oligarkhi tadi adalah system rule. Mereka membuat system yang harus dipatuhi. Di situlah mereka berlindung pada positivism. Ini aliran hukum untuk menterjemahkan “kehendak manusia.” Dan mereka memanfaatkan ‘kehendak manusia’ dalam politik. Karena dengan begitu, mereka bisa menentukan sesiapa presiden yang dikehendaki. 

Demokrasi modern, mereka berperan bak ‘ahlul halli wal aqdi.’ Yang menentukan sesiapa pemimpin di sebuah negara. Di sinilah esoterisme terjadi. Tentu ini buah adagium ‘segala sesuatunya adalah materi.’ Karena percaya pada doktrin itu, seolah manusia memiliki ‘kehendak bebas.’ Termasuk ‘kehendak bebas’ dalam memilih pemimpin. Dari ‘kehendak bebas’ itulah oligarki telah mengunci dalam sistem-nya. 

Tentu jalan keluar dari ‘lubang biyawak’ ini bukan mengikutinya. Melainkan keluar dari lubang. Islam memiliki pranata lengkap perihalnya. Bagaimana memilih pemimpin, ditentukan kaum alim ulama. Ahlul Halli wal aqdi. Wali Songo mempraktekkannya dalam menentukan Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Utsmaniyya menjalankannya berabad-abad. Para ulama berada digaris depan pemerintahan. Pemimpin bukan dilotere, yang pemenangkan telah dikantongi oligarkhi sejak mula. Sementara massa, hanya disibukkan urusan simbolisasi dan psy war, yang seolah itulah dinamika. Padahal, tak bisa seorang calon tanpa peranan oligarkhi. Karena demokrasi modern berubah menjadi industry. Perlu modal dan kapital. Ini tentu bukan lagi layak disebut demokrasi. Merujuk siklus Polybios, sejarawan i. 

Romawi dulu pernah berada dalam fase okhlokrasi. Kala Kaisar dikendalikan sepenuhnya oleh Legiun. Sekelompok militer. Kini, pemimpin dikendalikan kaum elit oligarkhi bankir. Tapi, pasca fase okhlokrasi, maka akan kembali ke monarkhi. Tentu bukan monarki yang “the king can do no wrong.” Melainkan bak Madinah Al Munawarah. Pemimpin yang merujuk pada ‘Kehendak Tuhan.’ Tentu berada dalam jamaah yang tak mengusung aliran ‘qadariyya.’ Inilah jalan keluar dari lubang biawak. Karena perihal kepemimpinan, di situ pula urusan Tauhidullah. (*)

1284

Related Post