Mengulik Langkah Catur Politik Surya Paloh (Visioner, Smart, Trengginas dan Mematikan)

Oleh Ibok Chrian - Pengamat Politik Kampoeng

SEJAK tadi malam, hingga saat ini jagat maya perpolitikan Indonesia mengalami tremor. Berhembus kabar, bahwa "melalui" bang Bewok, Nasdem telah mengikat tunangan dengan PKB, dengan menyandingkan Anies - Muhaimin sebagai pasangan Capres dan Wapres untuk 2024. 

So, kabar ini memantik kegundahan dan kekecewaan. Tidak saja bagi Partai Demokrat berikut turunannya, yang sudah sejak lama bersiap-siap memasang janur kuning untuk AHY sebagai Cawapres Anies, tetapi juga di berbagai simpul relawan Anies dengan segala  atributnya, ikut dilanda "kebingungan". Jetlag persis seperti orang baru turun dari pesawat, pasca terbang berjam-jam. Terus, bagaimana kita menyikapinya  kabar tersebut ? Mari kita elaborasi dari berbagai sisi.

Tinjauan dari Sisi Partai Demokrat

Tidak dipungkiri, di antara sekian Cawapres yang beredar, AHY mendapat "tempat" di hati sebagian masyarakat dan relawan. Selain muda, cerdas, lugas dan memiliki amunisi dari sisa-sisa kejayaan Cikeas, sosok AHY yang ganteng, cling dan glowing, merupakan magnet bagi sebagian kaum hawa dan para millenial.

Namun, jika kita telisik lebih jauh, Partai Nasdem memainkan fatsun politik yang cenderung mengabaikan unsur egalitarian, yakni posisi dimana ketiga partai pendukung berada pada level yang "sama dan sebanding". 

Melakukan bargaining politic yang terlalu dalam, Partai Demokrat hingga saat ini ogah-ogahan memasang dan mempromosikan Anies sebagai Capres yang mereka dukung. Jika pun ada, itu pun hanya ada di beberapa tempat saja. Belum meng-Indonesia. 

Di sisi lain, partai dengan lambang Mercy  ini, bukan sekali dua melontarkan ancaman, bahwa "keberadaan"nya di Koalisi Perubahan sangat menentukan jaditidaknya Anies berlayar di 2024. 

Masih segar dalam ingatan, betapa beberapa saat yang lalu, si biru ini mencoba "menekan" Anies dan Partai Nasdem melalui pertemuan AHY - Puan di sebuah taman. Pressure ini tentu membuat Nasdem sedikit  bergidik. Betapa tidak. Jika ancaman ini benar-benar dilakukan, maka koalisi KPP otomatis akan layu sebelum berkembang. Tentu kita hanya dapat mengucapkan sayonara buat Anies dan para relawan. 

Lalu, jika pasangan Anies-Muhaimin benar-benar terwujud, bagaimana sikap Partai Demokrat bersama AHY menghadapi kenyataan ini? Jawabannya sederhana, tentu mereka menjadi salting dan bingung sendiri. Analisanya sebagai berikut:

1. Jika Partai Demokrat keluar dari KPP dan bergabung dengan koalisi PDIP + PPP, belumlah otomatis AHY menjadi Cawapres Ganjar Pranowo. Selain partai banteng tidak ingin sang Mercy menjadi besar melalui Jas coactail effect, keputusan siapa yang layak menjadi Cawapres Ganjar, masih menjadi hak prerogratif dan ditentukan langsung oleh sang "Induk Banteng" secara "feodal", dengan mengatasnamakan "pemegang wewenang amanah partai".

Keadaan ini diperkuat oleh sisa-sisa hubungan Mega - SBY yang belum begitu cair dan cenderung hambar hingga saat ini. Praktis, jika Ganjar menjadi pemenang, maka Partai Demokrat hanya mendapat jatah menteri yang jumlahnya pun belum tentu sebanyak jika dia tetap bergabung di KPP. 

2. Demikian pula halnya, jika partai dengan Centre of Cikeas ini hengkang dan bergabung dengan Prabowo. Sebagai pendatang baru yang tidak memiliki bargaining, tentu posisi AHY berikut PD-nya hanya dianggap sebagai "anak bawang" dan partai penggembira, jika tidak mau dianggap sebagai cheerleaders alias pemandu sorak. Apalagi secara kasat mata, Prabowo merasa lebih merasa nyaman bermesraan dengan dua sekondannya, yakni Golkar dan PAN, dibanding dengan partai Demokrat. 

3. Sebaliknya, jika tetap bertahan dengan koalisi yang ada, yakni KPP, tentu ibarat makan berulam jantung, perasaan sedih dan kecewa tentu mendera karena harapan yang "digadang-gadang" telah sirna. Namun di sisi lain, ada kemungkinan partai ini akan menikmati insentif jatah menteri yang lumayan banyak dan signifikan, mengingat jasanya yang ikut membesarkan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).

Tinjauan Partai PKS

Diakui atau tidak, PKS adalah salah satu partai kader yang paling militan dan memiliki kesetiaan yang patut diacungi jempol. 

Teruji di berbagai medan perjuangan, membuat partai ini memiliki dignity dan harga diri yang mumpuni serta tidak mudah terombang-ambing. "Tawaran" datang silih berganti, namun hingga saat ini PKS tetap kekeuh dengan pendirian dan komitmen yang telah dipatri bersama Koalisi Perubahan. Terlihat dari press release yang dilakukan Muzammil Yusuf, salah seorang petinggi PKS utusan di Tim-8 Anies. Partai ini tidak baperan dan hati-hati dalam menyikapi sinyalemen  "Anies-Muhaimin".

Alih-alih melakukan protes, PKS malah mengingatkan anggota koalisi lainnya tentang kesepakatan awal, bahwa dalam pemilihan cawapres, Anies diberikan hak dan wewenang penuh, tanpa perlu dibangkangi. 

Pasca "terjatuh" di kasus pengadaan sapi dulu dan beberapa kasus petinggi yang ikut "membebani" marwah partai, ditambah stigma negatif yang dilekatkan "rezim" kepada partai ini, praktis tidak ada tokoh yang populer dan "layak jual" untuk ditawarkan ke masyarakat dalam kontestasi pilpres 2024.

Memang ada yang coba digadang-gadang dan disodorkan, yakni sang mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Ketua Dewan Syuro, Salim Segaf Al-Jufri. Namun tak bisa dipungkiri, tanggapan masyarakat dan dunia perpolitikan cenderung dingin dan tidak "dianggap". Makanya, PKS lebih fokus kepada "jumlah" jatah menteri yang akan diperolehnya, tatkala pilihan untuk meraih kemenangan dilakukan secara cermat dan tepat dengan bergabung mengusung Anies.

Keputusan PKS bergabung di KPP selain untuk menjaga kesolidan partai, pasca munculnya sempalan, Partai Gelora yang dimotori trio jangkar; Anis Matta, Fachri Hamzah dan Machfud Siddiq, juga untuk mengakomodir keinginan kader dan simpatisannya di akar rumput, yang menginginkan Anies sebagai capresnya. Untuk itulah, Koalisi Perubahan dan Persatuan  dipilih PKS sebagai tempat berlabuh. Siapa tahu, jika Anies menjadi Presiden, tentu akan banyak kader yang berpeluang untuk menjadi menteri karena PKS dianggap telah ikut andil dan berjasa serta berkeringat dalam mengantarkan Anies ke pucuk singgasana.

Jadi, sampai hari ini, PKS bisa dianggap tidak akan berpindah koalisi dan tetap bergabung di KPP. Karena lebih menguntungkan dibanding bergabung ke kubuh lainnya. Analisanya sebagai berikut:

1. PKS tidak mungkin bergabung dengan PDIP, karena selain berbeda dalam hal fatsun dan ideologi partai. Sejak awal PKS telah "dilecehkan" dan ditolak PDIP melalui ucapan jumawa Sekjennya yang mengatakan "... PDIP tidak akan mungkin bergabung dengan PKS"

Jadi, perbedaan visi, misi dan ideologi partai yang demikian tajam, tidak memungkinkan PKS bersatu dengan PDIP (Nasionalis Marhaenism Vs Nasionalis Religius). Selain itu, PKS adalah partai yang menjunjung tinggi prinsip kesamaan derajat (egalitarianism) dan tidak suka diatur-atur atau "membebek" seperti Partai PPP, yang saat ini serba salah karena laksana berada dalam kerangkeng.

2. Bergabung dengan koalisi yang dibangun Prabowo, Koalisi Indonesia Maju, yang terdiri dari Gerindra, PKB, Golkar dan PAN (tadinya Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, yakni Gerindra + PKB) lebih tidak memungkinkan, karena:

a. Perasaan kecewa PKS berikut kader dan simpatisan masih membekas hingga saat ini, pasca Prabowo yang tadinya berjanji akan timbul dan tenggelam bersama rakyat, lebih memilih bergabung dengan rezim untuk sebuah jabatan Menhankam. Kekecewaan ini menjadikan keluarga besar PKS untuk memilih  Anies sebagai tempat menggantungkan harapan.

b. Keberadaan sempalan PKS,  yakni Partai Gelora yang memutuskan bergabung dengan Prabowo, juga menjadi alasan kuat, mengapa PKS lebih adem tetap berada di Koalisi KPP, dibanding keinginan mengadu nasib  ke kubu sebelah. Untuk itulah, Nasdem merasa aman dengan keberadaan PKS di koalisi Perubahan.

Permasalahan besar akan muncul, tatkala Demokrat benar-benar hengkang dan memilih bergabung dengan koalisi lainnya. Tentu KPP yang hanya berisi Nasdem dan PKS tidak akan mampu memenuhi syarat minimal 20% Electoral thresold (ET) untuk mengusung Anies di 2024. Makanya dibutuhkan 1 partai lagi yang mampu memenuhi syarat tsb, sehingga Anies bebas melenggang ke kontestasi 2024.

Tinjauan Partai PKB

Berkaitan dengan pemenuhan ET 20% untuk syarat mengusung Capres, pertanyaan untuk Nasdem dan PKS adalah... "Siapa dan Partai apa yang cocok dan akan menjadi Dewi Fortuna bagi pencalonan Anies ?"

Pertanyaan itu terjawab, tatkala Surya Paloh sang "Maestro Futuristik" yang jago dalam melihat peluang dan momentum, mampu "membaca dan menangkap" kesedihan dan kekecewaan PKB atas "Kawin 3" yang dilakukan Partai Gerindra, pasca menjadi "istri sirri" hampir setahun, dengan iming-iming bahagia yang berakhir prank. 

Lalu, pertanyaan lanjutan, mengapa harus PKB plus Muhaimin? 

Analisanya adalah sebagai berikut:

1. PKB memiliki jumlah kursi yang signifikan untuk memenuhi ET bagi pencalonan Anies, jika Demokrat benar-benar nekad hengkang dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan  (KPP). Sehingga dengan bergabungnya PKB, maka Anies tetap berada di posisi aman untuk pencalonan di 2024. (Hal ini sangat tidak diinginkan rezim, buzzer dan para cebonger, yang siang malam "berdoa" agar Anies gagal dalam pencapresannya).

2. Secara kultural, PKB memiliki kader dan konstituen yang cukup solid dengan ceruk massa berada dilingkungan pesantren (nahdliyin), khususnya di sepanjang pantura dan tapal kuda Jawa Timur, dimana Anies masih perlu penguatan suara.

3. Meskipun tidak seluruhnya, jama'ah nahdliyin berikut para kyai dan santrinya "melabuhkan" harapan dan suara NU melalui partai PKB sebagai saluran politiknya. Namun, PKB tetap memperoleh insentif electoral. Keuntungan ini diperoleh PKB, karena sampai saat ini hanya PKB lah satu-satunya saluran politik yang tampak dan cocok bagi warga NU, khususnya Jawa Timur, pasca PPP bergabung dengan PDIP.

4. Muhaimin adalah politikus muda yang berasal dari trah pesantren yang terkenal. Selain masih kerabat dengan Gus Dur, kedua orang tuanya adalah tokoh yang disegani dikalangan Nahdliiyin. Selain itu dia relatif kenyang dengan asam garam perpolitikan Indonesia. Baik sebagai Senato di Senayan untuk beberapa periode, menjadi Menteri, sampai menjadi Ketua Partai PKB untuk waktu yang relatif panjang pasca menang "berseteru" dengan klan Gus Dur.  

5. Surya Paloh merasa perlu bergerak cepat dan tepat dalam melihat timing dan momentum serta membaca peluang untuk mengantisipasi "rayuan" PDIP bagi Muhaimin plus PKB nya, dengan "janji" sebagai wakil Ganjar. 

Langkah kuda yang dimainkan Surya Paloh ini membuat rezim berikut kroninya terperangah dan tidak menyangka. Betapa niat mereka untuk memupuskan harapan perubahan yang dimotori Anies, mampu dipatahkan dan dihancurkan Bang Brewok, melalui langkah kuda yang zigzag dan membingungkan, di percaturan politik Indonesia. Bravo buat Bang Bewok.

Memang, di sisi lain, Muhaimin memiliki pula potensi  kekhawatiran, menyangkut "Kardus Gate" yang masih membelitnya, yang hingga hari ini kasus tersebut masih menggantung dan sewaktu-waktu bisa dimainkan rezim untuk menghadang pencalonan Anies. Khususnya, di tikungan akhir pencalonan Capres Cawapres.

Apabila posisi Muhaimin tetap "aman" sampai deadline masa pencalonan di bulan Oktober 2023, maka Anies berikut partai pengusungnya, kader, relawan dan simpatisan akan dapat tidur nyenyak, berusaha dan berdoa untuk kemenangan Anies.

Jika tidak, maka selama itu pula  adrenalin berikut sport jantung akan terus dialami dalam menyongsong kontestasi Pemilu 2024.

Mari kita ikuti gempa politik berikutnya, untuk menge-test "kesehatan" jantung melalui ritme adrenalin sembari memperkuat komitmen untuk perubahan.

Wallahu'alam bissawab

Salam Perubahan. (*)

370

Related Post